Kelima sila yang ada dalam Pancasila, sesungguhnya sangat bisa dan mudah dipahami dan mudah dimengerti, karena dalam kelima sila itu bahasanya sangat lugas, tidak rumit, tidak bertele-tele, tidak ada majas, tidak memakai metafora-metafora dan tidak konotatif. Sehingga kita semua bisa paham, bisa mengerti dan kita semua bisa menafsirkan itu semua, kita semua bisa memaknai itu semua.
PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) milik Megawati Soekarnoputri berkehendak teguh memperjuangkan HIP (Haluan Ideologi Pancasila) menjadi undang-undang, di mana HIP sebagai representasi absolut (“pokoknya harus kembali kepada”) pemikiran Soekarno, sekalipun mulai bertiup badai nasional penolakan RUU HIP, tetapi PDIP tetap berkehendak meloloskan dan memperjuangkannya dengan sekeras-kerasnya kepala menjadi batu, yang kemudian mencoba menyamarkannya menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila), tetapi kemudian Istana mengusulkan menjadi RUU BPIP. Akankah badai nasional itu bisa dihempaskan jika kampus (para mahasiswa) telah turun ke jalan atau kembali turun ke jalan menghentikan rezim kekuasaan yang akan mengulang sejarah kelam Orla (Orde Lama dengan Soekarnonya) dan Orba (Orde Baru dengan Soehartonya). Sejarah dan waktulah yang akan bicara.
Orla-Soekarno
Tafsir terhadap lima sila dari Pancasila oleh Soekarno atas dasar kehendak dan selera politiknya, sehingga ke-5 sila tersebut menjadi Trisila dan atau menjadi Ekasila (Gotong Royong), yang kemudian menjadi indoktrinasi dengan Manipol (Manifesto Politik) Usdek (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Manipol Usdek tersebut merupakan GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) di masa Orla. Dalam hal Ekonomi Terpimpin, Soekarno mengadop dan atau mentrasfer pemikiran utopis Karl Marx dalam Manifesto Komunis dan Das Kapital, yang oleh Soekarno disebut sosio demokrasi atau ekonomi politik.
Manipol Usdek dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban Presiden Soekarno atas Dekrit yang dikeluarkannya pada 5 Juli 1959. Manipol Usdek sebagai konsep pemikiran Soekarno disampaikan dalam pidato upacara 17 Agustus 1959 dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Atas pidato Presiden Soekarno tersebut, DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara) pada tahun 1960 mengusulkan supaya Manipol Usdek dijadikan ketetapan MPRS sebagai GBHN dan lahirlah TAP MPRS No. I/MPRS/1960. Pada Kongres Pemuda 1960, Presiden Soekarno menjelaskan isi dan konsep Manipol Usdeknya.
DPA(S), lembaga yang menjalankan indoktrinasi Manipol Usdek, materinya disisipkan kekurikulum sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Indoktrinasi tersebut tidak saja diberikan kepada kepada pegawai negeri (sipil), tapi juga swasta dan lainnya, dan bahkan menghujam ke dunia intelektualan akademik dan kepengarangaan (seniman dan budayawan) baik langsung maupun tak langsung melalui organ sayap kekuasaan seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan lainnya, kesemua lini kehidupan.
Pancasila menjadi tafsir tunggal atas kehendak dan selera kekuasaan atas siapa yang berkuasa, itulah yang menuai badai nasional jatuhnya rezim kekuasaan Orla dengan Soekarnonya. Siapa yang tidak sejalan dan berbeda pendapat dengan tafsir tunggal kekuasaan, dianggap menentang revolusi dan menentang Pancasila, dan tidak Pancasilais yang akibatnya bisa dibrangus, dicopot jabatannya dan bahkan bisa dilenyapkan atau paling tidak, dipenjarakan.
Dipicu dengan kekejaman PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan berbagai organnya, angin kampus (perguruan tinggi) bertiup kencang laksana badai dan air bah, mahasiswa dan semua elemen mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya sambung menyambung menjadi satu dan berjejer dari Sabang hingga Meuroke, turun ke jalan menyelamatkan bangsa dan negara. Soeharto dengan talenta intilejen (yang cerdas) dengan Orbanya membaca situasi dan kondisi itu, lantas Soeharto dengan Orbanya (militer) mengambil alih kekuasaan untuk menyelamatkan bangsa dan negara dengan Surat Perintah 11 Maretnya (Super Semar). Sejarah mencatat dan waktu yang bicara.
Ke-5 sila yang ada dalam Pancasila tidak bisa diklaim sebagai idea atau gagasan pemikiran original Soekarno semata. Di negara manapun yang beradab demokrasi, apa yang terdapat dalam ke-5 sila dalam Pancasila tersebut hidup di negara manapun juga, sekalipun dengan model, gaya dan tampilan yang berbeda dengan ciri khas dan warnanya masing-masing setiap negara. Dalam catatan sejarah, yang dimaksudkan dengan ke-5 sila atau Pancasila tersebut juga pernah diungkapkan oleh beberapa tokoh, seperti Mohamad Yamin (Pidato, 29 Mei 1945), Soepomo (Pidato, 31 Mei 1945) dan Soekarno (Pidato, 1 Juni 1945). Dalam BPUPKI (Badan penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) terdiri dari 62 tokoh, seperti Maria Ullfah (lulusan Hukum dari Leiden University, mengajar di Persyarikatan Muhammadiyah), Siti Sukaptinah (dari Taman Siswa, aktif di Joung Islamienten Bond Dames Afdelling), Ki Bagoes Hadikusumo (Ketua PP Muhammdiyah), KH Hasyim Asyari dan KH Abdul Wahid Hasyim (Tokoh NU), Hatta, Agus Salim, Abdul Kahar Muzakkir. Pada 22 Juni 1945 Tim Sembilan menghasilkan Jakarta Charter, merumuskan dasar negara Pancasila, dan ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara dalam pembukaan UUD 1945. Kabinet 4 kaki jatuh bangun pada masa demokrasi parlementer Soekarno, dan rapat badan konstituante belum sepakat tentang dasar negara. Keluarkanlah dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dalam dekrit itu Piagam Jakarta dimasukkan sebagai konsideran dalam Dekrit 5 Juli 1959. Soekarno kemudian rangkap jabatan sebagai Presiden dan Perdana Menteri.
Orba-Soeharto
Seperti halnya Soekarno dengan Orlanya, ternyata kemudian kekuasaan membawa Soeharto dengan Orbanya menjadi setali tiga uang, opium kekuasaan menjadikan Soeharto sebagai penafsir tunggal juga atas ke-5 sila dari Pancasila tersebut. GBHN Soekarno dengan Manipol Usdeknya, Pancasila dikatakannya sebagai ideologi negara yang bersifat resmi dan tunggal, sedangkan GBHN Soeharto dengan P-4nya (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang terdiri 36 butir sebagai tafsir absolut atas ke-5 sila dari Pancasila tersebut, di mana Pancasila juga dikatakan sebagai ideologi negara, dan final.
Hal yang serupa, Soekarno dengan DPA(S) dan dengan TAP MPRS No. I/MPRS/1960, Soeharto dengan BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan Keppres No. 10/1979. BP-7 merupakan badan khusus yang dibentuk dan bertugas melaksanakan konsep P-4 yang dikenal dengan Ekaprasetya Pancakarsa. P-4 sendiri lahir dengan Ketetapan MPR No. II/MPR/1978. Indoktrinasi P-4 sebagai tafsir tunggal ke-5 sila dalam Pancasila tersebut juga masuk kesemua lini, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, organisasi kemasyarakatan dan sosial politik. Beda cara, beda wajah dan beda pula pendekatannya, sekalipun pada nukleusnya dua sisi mata uang (coin), serupa dengan Orla. Yang berbeda pendapat dengan tafsir tunggal dengan kekuasaan akan rentan dan beresiko dibredel, dicopot, dijebloskan dan bahkan dilenyapkan dengan berbagai dalil. Padahal, itu semua hanya alibi dan kambing, serupa dengan Orla.
Orba pada tahun 1974 ditiup badai kampus yang dikenal dengan peristiwa Malari, tetapi angin kampus bisa dipadamkan. Badai kecil terus menerpa, karena kampus terus bertiup dan berhembus di mana-mana. Penghujung tahun 1979, Soeharto dengan Orbanya menduduki kampus. ITB (Institut Teknologi Bandung) mungkin paling parah dan banyak jatuh korban, ada yang mati mengenaskan, patah tulang dan luka-luka di bawah Orba dengan sepatu larsnya.
Pada perjalan sejarah angin kampus, kemudian disulut dengan krisis ekonomi (1997/1998), angin kampus kembali bertiup kencang, para mahasiswa dan elemen-elemen mahasiswa bersama komponen masyarakat lainnya yang setia menjaga kenyerian sejarah kelam kembali turun ke jalan. Kekuasaan rezim Orba kemudian lengser pada 21 Mei 1998. Sejarah kembali mencatat dan waktu pula yang bicara; kita selalu melupakan melawan lupa. Opium kekuasaan membawanya ke dalam kegelapan sejarah, sekalipun bisa bertahan 32 tahun.
Menunggu Godot
Reformasi bukan sekonyong-konyong datang dari langit, meski itu kabar dari langit. Reformasi merupakan buah kenyerian sejarah yang dalam “Waiting for Godot” Samule Beckett. Godot adalah sebuah harapan yang akan datang, yang lebih dari seperempat abad menunggunya. Sekalipun, selalu menjadi tanda tanya, apakah Godot akan datang dalam penantian kenyerian sejarah? Karena tidak sedikit darah yang tumpah dan yang lenyap (meninggal), dan tak terhitung pula korban luka, harta benda, penjarahan dan bahkan pemerkosaan dalam puncak menunggu Godot datang.
21 Mei 1998, kita semua mengelu-elukan Godot datang, Godot datang. Di mana-mana terjadi eforia Godot, karena rezim penguasa Soeharto telah tumbang. BJ Habibie (Wakil Presiden Soeharto) tetap dipelihara dalam panggung transisi politik hingga 1999 menggelar Pemilu (7 Juli 1999) yang ke-12 selama republik negeri ini berdiri, 48 Parpol (partai politik) ambil bagian dalam kontestasi politik lolos ke Parlemen (Senayan: 462 kursi anggota DPR) dan PDIP sebagai pemenang Pemilu dengan jumlah 153 kursi di Senayan. Mei berdarah dan Pemilu 1999 pun berdarah-darah di banyak daerah.
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) menobatkan Gus Dur (Abdurrahman) menjadi Presiden dan Megawati Soekarnopotri sebagai Wakil Presiden. Gus Dur bukan dari Parpol pemenang Pemilu tapi dari jalur poros tengah untuk jalan tengah membekukan gejolak politik. Gus Dur yang nyeleh; begitu saja kok repot ternyata bikin repot negeri ini, lantas dimakdzulkan setelah selang beberapa waktu mengeluarkan Dekrit Presiden pada 23 Juli 2001, di mana perjalanan sejarah kepresidenan Gus Dur baru seumur jagung. Megawati-Hamzah Haz naik panggung menjadi Presiden dan Wakil Presiden, kemudian Pilpres digelar secara langsung pada 5 Juli 2004. SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) menjadi Presiden (2 periode; SBY-Jusuf Kalla – SBY-Budiyono) dan hingga Joko Widodo menjadi Presiden (2 periode hingga sekarang) pada Pilpres 2014 dan 2019.
Benarkah Godot telah datang? Tak bisa begitu saja jawabannya secara kasuistik semata. Memang menarik menunggu Godot, karena Godot adalah spirit menunggu suatu harapan akan tiba; “demokrasi dengan kelima silanya” yang sering kita katakan dengan Demokrasi Pancasila yang dilaksanakan dengan murni, konsekuen dan konsisten yang tidak tertawan oleh tafsir kepentingan kekuasaan politik kehendak berkuasa, sehingga bisa menjadi negara kesejahteraan (pinjam istilah Adam Smith), dan mau mendengarkan kenyerian intelektual akademik (masyarakat kritis) akan nasib bangsa dan negara.
PDIP-Megawati
BPIP (Badan Pembinaan Idiologi Pancsila) dengan Perpres (Peraturan Presiden) No. 7 Tahun 2018 (Ketua Dewan Pengarah Megawati Soekarnoputri) dengan tupoksinya adalah menanamkan ideologi dan nilai-nilai Pancasila, dan seperti yang dikatakan Presiden Jokowi: “Setiap anak bangsa bisa memahami dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” (Ketua MPR Bamsoet, DetikNews, 8/7/2020), perlu dibuatkan undang-undang. Argumentasinya adalah untuk memperkuat BPIP perlu ada payung hukum. RUU HIP adalah untuk memperkuat kelembagaan BPIP.
Pembahasan RUU HIP dianggap ubah Pancasila adalah pembodohan, ada kampanye hitam yang menyebut upaya pembuatan sebuah RUU HIP untuk mengganti Pancasila sebagai ideologi bangsa. PDIP mencermati secara seksama berbagai bentuk kampanye hitam yang sarat dengan irasionalitas dan pembodohan. Pancasila itu final. Karena itulah ketika ada yang menuduh dengan membahas RUU, lalu dianggap mengubah ideologi dan falsafah dasar, sama saja dengan pembodohan nalar publik (Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Liputan6.Com, 9/7/2020).
Benar apa yang dikatakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, pembahasan RUU HIP dianggap ubah Pancasila adalah pembodohan, pembodohan nalar publik, sehingga pernyataan Sekjen PDIP terafirmasi sendiri keniscayaannya atas kebenaran melakukan pembodohan, dalam hal ini, pembodohan nalar publik. Argumentasinya yang tak bisa terbantahkan adalah dalam RUU HIP tersebut memuat pasal 7 dengan Trisilanya dan Ekasilanya-Gotong Royong, yang dipertegas dengan menstabilo sosio-nasionalisme, sosia-demokrasi, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. dalam sosio-demokrasi (mengembalikan pemikiran Soekarno) menstabilo demokrasi terpimpin dan ekonomi politik yang keduanya merupakan pemikiran original Karl Marx dalam konsep Manifesto Komunis-Das Kapital.
Pada tataran implementasi dari demokrasi terpimpin akan menjadi kekuasaan yang terpusat dan tunggal di bawah kehendak kekuasaan Presiden sebagai kepala negara yang sama halnya dalam negara yang berideologi Komunis (Kiri-Sosialis) dan Fasis (Otoritarianisme). Negara harus tunduk dan berlutut pada kekuasaan Presiden. Padahal dalam Demokrasi (Trias Politika) dan Pancasila, Presidenlah yang harus tunduk pada negara. Jadi benar adanya, bukan pembodohan, tetapi kebodohan atau kedunguan jiwa (pinjam istilah Ibu Sina dalam As-Syifa dan kedunguan akal sehat (pinjam istilah Rocky Gerung) negeri ini jika RUU HIP dianggap menjaga keajegan ke-5 sila dari Pancasila itu sendiri dan atau sebagai upaya memperkuat dan menyelamatkan Demokrasi Pancasila itu sendiri.
Bukan pembodohan tetapi yang benar adalah kebodohan, karena menyingkirkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, sehingga ideologi komunis bukan anak haram bagi ke-5 sila dari Pancasila dan demokrasi (Demokrasi Pancasila) tersebut, termasuk ideologi khilafah. Padahal, kedua ideologi tersebut meng-anak-haram-kan atau men-thogut-kan Demokrasi (Trias Politika) dan Pancasila (Demokrasi Pancasila). Bukan pula pembodohan tapi kebodohan pula karena pasal 43 bisa menjadi tafsir absolut dan tafsir tunggal oleh rezim penguasa (Presiden) atas demokrasi dan ke-5 sila dalam Pancasila tersebut, di mana sejarah kelam telah mencatatnya; Soekarno dengan Manipol Usdek dan PKI-nya, dan Soeharto dengan Golkarnya dan dengan BP-7 dan dengan 36 butir P-4nya. Lantas, Jokowi dengan PDIP-nya akan menggunakan wajah dan baju baru apa untuk tafsir atas ke-5 sila tersebut? Tentu, sejarah yang akan mencatatnya dan waktu yang akan bicara, apakah sebagai Godot ataukah sebagai Brutus kedatangannya yang akan membawa Demokrasi dan Pancasila (Demokrasi Pancasila) kepada negeri yang bernama Republik Indonesia?
Bukan pembodohan, tetapi nalar publik bisa melakukan pembacaan tekstual dan substasial dari RUU HIP yang kemudian akan diubah menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila), tetapi kemudian menjadi RUU BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) usulan dari Pemerintah (Istana) yang kemudian diterima Senayan untuk dilakukan pembahasan, karena adanya gelombang badai nasional. RUU HIP-RUU PIP dan menjadi RUU BPIP atas usulan Pemerintah hari ini, Kamis, 16/7/2020 yang disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD mewakili utusan Istana. Nalar publik (intelektual akademik dan akademisi yang akademik) itu mempunyai logika dan akal waras dalam nalar. Nalar publik bukan yang direpresentasikan oleh vampir-vampir intelektual dan vampir-vampir akademisi dan atau oleh para pemikir-pemikir salon yang karena kepandaiannya yang cerdik.
RUU BPIP
RUU BPIP, jika memang Pemerintah beralasan untuk payung hukum penguatan atas keberadaan BPIP, sehingga harus dibuatkan undang-undang, karena merasa gamang hanya dengan diterbitkannya Perpres (Peraturan Presiden) No. 7 Tahun 2018, seharusnya Pemerintah mengambil sikap RUU BPIP tersebut dipublish terlebih dahulu, karena perubahan nama tersebut di tengah badai nasional atas reaksi penolakan terhadap RUU HIP dari konsep dan pemikiran PDIP dalam upaya kepala batu untuk mengaktualisasikan kembali (kekeliruan) pemikiran masa silam Soekarno yang kemudian disepakati menjadi inisiatif Senayan untuk dibahas dalam upaya untuk diundangkan.
Jika dalam RUU BPIP pun dicantumkan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderannya, tetapi pasal 7 dan 43 tetap masih menyelinap, maka RUU BPIP tetap akan menuai badai nasional, karena bisa menjadi bencana bagi bangsa dan negara (NKRI). Jika kemudian dalam RUU BPIP meniadakan pasal 7 dan atau membiaskannya, tetapi pasal 43 (1): Presiden merupakan pemegang kekuasan dalam pembinaan haluan ideologi Pancasila, masih tetap meng-ada menjadi persoalan yang dilematis, kontroversial yang kontra produktif bagi bangsa, karena akan menjadi debatable politik yang mempolitiki, yang akhirnya menjadi kecemasan publik dan bisa menuai gelombang badai kembali. Malu meniru tetapi meracik ulang sejarah yang sama. Padahal, BP-7 dengan P-4nya kita olok-olok bersama keberadaannya.
Lantas, jika begitu, apa bedanya dengan Orla yang kita maki-maki, dengan Orba yang kita kutuk-kutuk dan dengan Orre (Orde Reformasi) di genggaman Jokowi dengan PDIP-nya? Jika kita melakukan pembacaannya bahwa Presiden (Jokowi) adalah petugas partai dari PDIP seperti yang dikatakan Megawati, maka tak ragu lagi, kita harus tetap setia “Menunggu Godot”. Kita tetap harus setia menjaga kenyerian sejarah kelam bagi bangsa dan negara, sehingga Godot bisa menjadi spirit dalam penantian akan sebuah harapan yang akan datang di kemudian hari. Sejarahlah yang akan mencatat dan waktulah yang akan bicara, sekalipun sejarah bisa dimenangkan oleh kekuasaan, tetapi kebenaran sejarah tidak bisa ditentukan oleh kekuasaan, melainkan oleh kebenaran sejarah yang mensejarah itu sendiri.
Tuntutan nalar publik untuk membubarkan PDIP menjadi konsekuensi logis, karena PDIP sebagai inisiator dan konseptor atas RUU HIP yang secara substansial ingin mengembalikan pemikiran Soekarno dan PDIP dengan kepala batunya ngotot memperjuangkannya untuk dijadikan undang-undang. PKI waktu itu sebagai penyokong setia opium kekuasaan Soekarno oleh nalar publik dituntut harus dibubarkan sekalipun telah dijamin oleh konstitusi waktu itu. Begitu juga dengan halnya sekarang yang menimpa PDIP yang berapologi bahwa PDIP Parpol legal yang dijamin undang-undang. Begitu juga waktu itu, Masyumi Parpol yang legal dan dibubarkan oleh kekuasaan, padahal kedaulatan adalah di tangan rakyat, seharusnya nalar publik yang menuntut pembubaran tersebut.
Dalam opium kekuasaan, Pancasila akan terus dijadikan kambing hitam dan akan terus dikambinghitamkan. Lantas lantang berteriak: Pancasila telah jauh dari kehidupan berbangsa dan bernegara, maka harus membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. BPIP harus diperkuat dengan undang-undang.***
*)Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. HP/WA: 0819 3116 4563. e-mail: jurnalepkspd@gmail.com