Karawang, Demokratis
Persoalan masalah tanah yang diakui oleh warga Poponcol Kelurahan Karawang Barat, hingga kini masih tahap mediasi antara warga dengan PT. Astakona.
Warga masyarakat bersikukuh bahwa lahan yang diperkirakan seluas 5 hektar itu adalah miliknya, karena puluhan tahun lalu tanah itu sudah dikuasai oleh para orang tua mereka.
Namun timbul persoalan antara warga dengan PT. Astakona, ketika warga masyarakat mengajukan permohonan pembuatan sertifikat ke Kantor Pertanahan Karawang melalui program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL), namun pihak BPN tidak dapat menerbitkan sertifikatnya, karena pihak PT. Astakona juga mengklaim bahwa tanah itu adalah miliknya, sehingga PT. Astakona melarang BPN untuk menerbitkan sertifikatnya.
Akibat penyetopan penerbitan sertifikat tanah yang berlokasi di daerah Poponcol tersebut, warga melakukan aksi protes. Warga mendatangi Kantor Pertanahan setempat untuk melakukan audiensi yang didampingi oleh kuasa hukumnya, Egen, belum lama ini yang dihadiri kurang lebih 15 orang perwakilan warga Poponcol.
Kemudian setelah audiensi dilaksanakan di BPN, hasilnya supaya dilakukan mediasi antara warga dengan PT. Astakona. Dengan kesepakatan dan musyawarah, bahwa tanah itu dilakukan pendataan ulang, dan pendataan batas tanah tersebut. “Artinya batas-batas tanah itu harus dijelaskan, batas bagian barat siapa, timur, selatan dan utara tanah siapa?” kata sumber Demokratis.
Rosim selaku Koordinator Kelompok Subtansi Pemeliharaan Hak Tanah Ruang dan Pembinaan PPAT (KKSPHTR dan PPPAT) Kantor BPN Karawang, Rabu (13/11/2024), saat diminta komentarnya terkait tanah yang jadi persoalan yang berlokasi di Poponcol Karawang Barat antara warga dengan PT. Astakona, ia mengatakan kini prosesnya masih berjalan. Dan kedua Rosim mengatakan, pihak PT. Astakona belum mengakui tanah itu miliknya.
“Namun sayangnya kenapa tidak sedari dulu warga dilarang mendirikan rumah di daerah itu, tapi setelah ada program PTSL, ada larangan dari PT. Astakona,” kata Rosim dengan tegas.
Rosim mengungkapkan hasil dari mediasi antara warga dengan PT. Astakona sudah dilakukan, hasil mediasi itu disepakati supaya dilakukan pendataan ulang, terutama pendataan batas tanah dan pengukuran ulang.
Menurut Rosim, jika mengajukan dokumen tanah dari BPN syaratnya harus jelas batas-batas tanah tersebut.
Nanti setelah ada hasil pengukuran bahwa tanah warga tidak tumpang tindih dengan PT. Astakona. Artinya kata Rosim, BPN tidak berani mengeluarkan produk sertifikat PTSL. “Namun jika sudah clear, clean, BPN baru mengeluarkan sertifikat,” pungkasnya.
Sementara itu, Rosim, yang juga Ketua Tim 2 PTSL di Kelurahan Kaeawang Kulon itu, dengan tegas mengatakan bahwa warga tidak punya surat-surat tanah itu, namun karena para orangtuanya sejak lama tinggal di lokasi itu, maka diakui tanah itu miliknya.
Juga masih kata Rosim, Camat Karawang Baeat, sudah mengirim surat ke BPN supaya membuka warkah tanah itu, tapi jika warkah dibuka tak boleh dilihat orang lain karena warkah adalah rahasia negara.
“Yang bisa lihat warga tanah itu adalah pihak aparat penegak hukum (APH),” ujar Rosim kepada Demokratis. (Juanda Sipahutar)