Indramayu, Demokratis
Buruh atau pekerja adalah tulang punggung dari suatu negara. Semua barang-barang yang dipergunakan merupakan hasil kerja dari buruh. Mesin-mesin tidak akan menghasilkan benda atau barang jika tidak ada campur tangan dari kaum buruh. Ekonomi Negara Indonesia sangat ditopang oleh kerja keras dari kaum buruh.
Namun kehidupan kaum buruh tidak sebanding dengan apa yang telah dikerjakan. Cita-cita untuk hidup sejahtera hanya menjadi impian yang sampai saat ini belum terwujud. Hingga berbagai macam kebijakan pemerintah belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan kaum buruh.
Salah satu contoh, misalnya, saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Jutaan buruh terkena dampak dari situasi pandemi tersebut. Baik berupa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dirumahkan tanpa upah, kerja dengan upah yang hanya dibayarkan 50 persen, PHK tanpa pesangon serta berbagai macam penderitaan lainnya yang dialami kaum buruh.
Sangat tidak elok, pemerintah belum menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan kaum buruh dan rakyat menengah ke bawah (proletar), sehingga kondisi tersebut juga berimbas pada sejumlah para pekerja yang terdapat di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Banyak perusahaan yang meliburkan dan atau merumahkan buruhnya tanpa gaji. Tidak sedikit juga yang terkena dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Persoalan buruh yang menderita di tengah pandemi semakin diperburuk dengan rencana pemerintah untuk membahas Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka).
Yang seharusnya pemerintah dan juga DPR fokus pada penanganan pandemi, namun justru membahas satu aturan yang merugikan seluruh buruh dan seluruh rakyat miskin lainnya.
Omnibus Law terkait Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, sejatinya hanya akan melindungi para investor, melanggengkan watak represifitas negara, memangkas hak atas pekerjaan dan merampas hak-hak dasar buruh.
Wacana penghapusan uang pesangon, perluasan penerapan tenaga alih daya (outsourcing), ancaman pasal pidana akan berubah menjadi denda dan sanksi administrasi, kemudian perubahan sistem pengupahan yang berbasiskan hitungan jam akan menceburkan kelas buruh dan rakyat Indonesia pada kondisi hidup yang lebih buruk dari sebelumnya.
Krisis ekonomi global meminta kaum pekerja berkorban melampaui ambang batas kemanusiaannya. Perumusan Omnibus Law sangat terang-terangan menyalahi prinsip keterbukaan dan partisipasi.
Proses perumusan Omnibus Law bukan saja terkesan dilakukan secara singkat, tapi juga tertutup dan tanpa sedikitpun upaya mendengarkan pendapat publik atau sebagian Rakyat Indonesia yang berstatus sebagai buruh.
Satgas Omnibus Law didominasi oleh aktor-aktor yang anti terhadap kesejahteraan dan demokrasi rakyat. Sebanyak 127 anggota Satgas Omnibus Law didominasi oleh para pengusaha, dengan tambahan perwakilan pemerintah dan kalangan intelektual.
Sebagai korban dari kebijakan pemerintah, maka sepatutnya gerakan buruh dan rakyat lainnya mengambil sikap dan posisi tegas.
Dalam hal ini, Serikat Buruh Keramik Indonesia (SBKI) Cabang Indramayu, sebagai dari bagian gerakan buruh dan rakyat menyatakan sikap dalam menyikapi semua rencana pemerintah Presiden Joko Widodo dan para anggota legislatif terkait Omnibus Law dan RUU Cipta Kerja.
Dalam aksi yang dilakukan oleh SBKI di gedung DPRD Kabupaten Indramayu (24/08), menuntut kepada pemerintah di antaranya: menolak keras Omnibus Law RUU Cipta Cerja, menuntut dibayarkannya upah sebesar 50 persen untuk buruh yang telah dirumahkan, kemudian memberikan perlindungan bagi kaum buruh yang ada di Kabupaten Indramayu yang terkena dampak Covid-19.
Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Indramayu, Liana Listiya Dewi mengungkapkan bahwa pihaknya tetap mendukung apa yang menjadi keperluan masyarakat. Sebaliknya, pihak PT juga membutuhkan tenaga buruh. Artinya simbiosis mutualisme masih tetap dibutuhkan. Ia berharap terkait persoalan di atas tidak mesti harus dibawa ke ranah pengadilan. Pihak DPRD akan mencari jalan keluar yang terbaik.
“Kami tetap menampung aspirasi masyarakat. Dan tidak perlu juga persoalan tersebut dibawa ke pengadilan. Dan kami akan berusaha mencari win win solusi. Dan dari hasil audensi ini, berharap per tanggal 1 September 2020 dipastikan semua buruh akan bekerja kembali. Untuk keputusan, diterima dan tidaknya akan jatuh pada tanggal 30 Agustus,” ujarnya.
Khaerul Ketua SBKI Indramayu mengatakan bahwa dari aksi yang dilakukan tersebut belum menuai hasil yang signifikan. Ia beserta rekan-rekannya yang mengikuti jalannya aksi sangat kecewa terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu, yang tidak hadir atas persoalan yang tengah dirasakan oleh sejumlah kaum buruh Indramayu.
“Kami sangat tidak puas atas mediasi di DPRD karena pihak Plt Bupati tidak hadir, kemudian kami pun kecewa bahwa pihak perusahaan lagi-lagi tidak bisa mengambil keputusan atas mediasi tersebut, dan nanti dari pihak DPRD akan membuat resume atas audiensi tersebut,” tutup Khaerul kepada Demokratis. (RT)