Surabaya, Demokratis
Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menegaskan, masa depan Indonesia akan sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa dalam menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.
Dalam pidato puncak Dies Natalis ke-65 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) di Surabaya, SBY menyampaikan tiga pokok pikiran utama tentang arah pembangunan ekonomi nasional yang harus ditempuh Indonesia di tengah dinamika global yang semakin kompleks.
Menurut SBY, tantangan global tidak dapat dihindari, tetapi bisa diatasi jika ada kemauan politik dan kepemimpinan yang kuat. “Kalau bicara dunia, kita ada di dalamnya. Kalau bicara kepentingan global, itu juga kepentingan kita,” ujarnya, Selasa (11/11/2025). Ia juga menekankan pentingnya peran aktif Indonesia dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan dunia.
Ia menyebut, pertumbuhan ekonomi nasional menjadi fondasi utama untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Target pertumbuhan minimal 6% dinilai realistis dan penting untuk menjaga daya beli masyarakat, menciptakan lapangan kerja, serta mengurangi kemiskinan.
“Tanpa pertumbuhan ekonomi, pengangguran akan tetap tinggi, daya beli masyarakat rendah, dan kemiskinan tidak akan berkurang,” tegas SBY. Ia menambahkan, pada masa pemerintahannya, Indonesia pernah mencapai pertumbuhan hingga 6,5% sebelum krisis global 2008 menekan angka tersebut menjadi 4,6%.
Namun, ia menekankan pertumbuhan ekonomi tidak boleh hanya mengejar angka, tetapi juga harus berkeadilan dan inklusif. Sistem ekonomi terbuka dan kapitalistik memang meningkatkan efisiensi, namun tidak selalu sensitif terhadap kemiskinan dan ketimpangan sosial. Karena itu, peran pemerintah tetap dibutuhkan untuk memastikan keadilan sosial dan pemerataan manfaat pembangunan.
“Pasar tidak selalu mampu menjawab persoalan ketimpangan. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang proporsional dan positif,” kata SBY sambil mengkritisi pandangan klasik Adam Smith tentang invisible hand yang dianggap tak selalu efektif dalam konteks sosial modern.
Pokok pikiran kedua yang disorot SBY adalah pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang ramah lingkungan. Ia menilai, kebijakan hijau (green policy) dan inovasi teknologi penting untuk menuju target net zero emission Indonesia dan dunia. Namun, ia mengingatkan teknologi saja tidak cukup tanpa perubahan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari.
“Teknologi penting, tetapi tanpa perubahan gaya hidup, tidak akan cukup untuk menyelamatkan bumi dari krisis iklim,” ujar SBY sambil mengenang pengalamannya berbicara di World Economic Forum Davos pada 2011 bersama sejumlah pemimpin dunia dan tokoh teknologi seperti Bill Gates.
Pokok pikiran ketiga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor yakni antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat sipil, dalam membangun ekonomi nasional. Pemerintah berperan dalam kebijakan dan regulasi, sektor swasta melalui investasi dan penciptaan lapangan kerja, sementara akademisi dan ilmuwan berperan dalam riset dan inovasi.
“Semua pemangku kepentingan harus berada dalam satu perahu, bergerak bersama menuju tujuan yang sama,” ujarnya. SBY juga menilai, pembangunan nasional akan efektif jika terdapat sinkronisasi antara pembangunan sektoral dan pembangunan regional.
“Kalau keduanya seperti sayap Garuda mengepak bersama dan kuat, pasti terbangnya tinggi dan cepat,” katanya.
SBY optimistis Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara maju dalam abad ini, asalkan memiliki tekad kuat dan manajemen pembangunan yang solid. Ia mencontohkan Korea Selatan dan Jepang sebagai bangsa yang berhasil karena disiplin, determinasi, dan sinergi nasional yang kuat.
“Indonesia harus punya semangat yang sama. Indonesia bisa menjadi bangsa kuat dan maju di abad ini,” pungkasnya. (EKB)
