Menjadi Alat Melawan Kolonialisme
Meski pernah menggunakan istilah Indonesia dalam pengertian geografi dan budaya, Prof Dr GA Wilken lebih suka memakai istilah Kepulauan Hindia. Hal itu diungkapkan RE Elson. Kebiasaan guru besar Universitas Leiden ini lantas diikuti para ilmuwan dari generasi sebaya dan setelahnya, semisal H Kern, GK Niemann, dan CM Pleyte. Orientalis terkemuka, Christiaan Snouck Hurgronje, juga memakai istilah Indonesia, kendati dia lebih menyukai istilah Inlander (pribumi).
“Indonesian adalah kata sifat yang digunakan untuk mewakili sifat-sifat tersebut (ciri etnis, dsb –Red), sementara Indonesians adalah orang-orang dengan ciri-ciri umum seperti itu (yang terkadang dianggap mencakup penghuni Madagaskar hingga Formosa [Taiwan]), dan Indonesia adalah tempat(-tempat) yang mereka huni,” demikian tulis RE Elson.
Para ilmuwan sejak Adolf Bastian hingga H Kern, menurut Elson, kerap memakai istilah Indonesia, tetapi bukan dalam pengertian politis.
Orang-orang Pribumi terpelajar-lah yang menjadikan istilah Indonesia tak hanya sebagai identitas, tetapi juga alat perjuangan melawan kolonialisme.
Hatta mengungkapkan, dalam arti politik, nama Indonesia sejak tahun 1922 secara konsekuen dipakai oleh Perhimpunan Indonesia. Organisasi itu dibentuk pada 1908 di Belanda dengan nama Indische Vereeniging atas prakarsa Soetan Kasajangan Soripada dan RM Noto Soeroto dengan tujuan rekreasi atau klub belajar.
Barulah ketika dua tokoh nasional, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) bergabung pada 1913, para anggota Indische Vereeniging mulai aktif mendiskusikan tentang masa depan Indonesia. Sejak saat itu, Indische Vereeniging aktif di ranah politik. Kemudian, pada September 1922, namanya menjadi Indonesische Vereeniging. Tiga tahun kemudian, nama itu meninggalkan bahasa Belanda sama sekali sehingga menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).