Remy menyebut, baju logro bahan sutra putih yang biasanya disebut Shi-Jui kerap dipakai orang Cina yang dipanggil “engkoh-engkoh”, yakni sebutan lumrah untuk pria Cina berumur lebih tua. Seiring waktu, ejaan baju “engkoh-engkoh” mengalami pembaruan ejaan Indonesia yang lebih sederhana menjadi “koko”.
Sampai abad ke-20 masyarakat Tionghoa masih menggunakan pakaian Tui-Khim bersamaan celana longgar untuk kegiatan sehari-hari. Namun pamornya meredup sejak dibolehkannya orang Tionghoa mengenakan pakaian-pakaian bergaya Belanda atau Eropa, seperti kemeja, pantalon, jas buka dan tutup. Apalagi sejak adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang menjadi perhimpunan Tionghoa modern pertama di Hindia Belanda pada tahun 1900-an. Kemudian turut dipengaruhi runtuhnya Dinasti Cheng (Mancu) pada 1911, dan setelah adanya upaya persamaaan hak berpakaian orang Cina dengan warga Eropa.
Baju koko kemudian menjadi pakaian yang identik dengan umat islam, di antaranya jilbab, baju koko, hingga penggunaan ucapan assalamu’alaikum. Berangkat dari sini sampai kini pemakaian baju koko semakin lumrah di tengah masyarakat Indonesia sebagai pakaian identik umat islam. Tak hanya dijadikan baju kebesaran di hari lebaran, baju koko juga sering digunakan pria muslim saat ke masjid dan acara-acara keislaman. ***