Sabtu, Agustus 9, 2025

Sejarah dan Urgensi Sidang Isbat Menetapkan Awal Ramadhan 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah

Oleh Prof. Dr. H. Asasriwafni MH Ketua Koordnator Badan Hisab Rukyat Propinsi Sumbar

Bismillahirrahmanirrahim semenjak 1946 tahun pertama berdirinya Kementerian Agama telah diterbitkan regulasi tentang kewenangan menetapkan hari raya yang terkait dangan peribadatan sebagai hari libur. Regulasi dimaksud adalah penerapan Pemerintah Tahun 1946 Nomor 2/Um.

Menurut konsiserans penetapan Pemerintah tersebut perlu diadakan aturan tentang hari raya setelah mendengar Badan Pekerja Komite Nasional Pusat untuk seterusnya tiap-tiap tahun-tahun hari raya tersebut ditetapkan oleh Menteri Agama.

Penerapan Pemerintah Nomor 2/Um ditetapkan di Yogyakarta pada 18 Juni 1946 oleh Presiden Soekarno dan Menteri Agama H. Rasjidi serta diumumkan oleh Sekretaris Negara A.G Pringgo Digdo. Penetapan Pemerintah dalam kontek masa itu menyebut hari raya terdiri dari hari raya umum, hari raya Islam, hari raya Kristen dan Tionghoa.

Sejak dekade tahun 1950, sebahagian sumber menyebut tahun 1962, pertama kali diadakan sidang isbat dalam rangka penetapan 1 Ramadhan dan Idul Fitri. Sidang isbat diisi dengan paparan ulama/ahli pendapat organisasi Islam sebelum pengambilan putusan tentang awal Ramadhan dan Idul Fitri yang diumumkan kepada masyarakat. Adapun sidang isbat awal Ramadhan diadakan setiap tanggal 29 Syakban. Pengumuman Menteri Agama tentang 1 Ramadhan dan Idul Fitri adalah momen yang ditunggu-tunggu masyarakat di seluruh tanah air. Dalam buku agenda Departemen Agama 1950-1952 diterbitkan oleh bagian publikasi dan reaksi jawatan penerangan jalan percerakan Negara Jakarta Bab Keputusan Menteri Agama.

Terutama permulaan puasa Ramadhan, selain memperhitungkan peredaran bulan, juga berdasarkan rukyah maka oleh karena itu penetapan 1 Ramadhan dan Idul Fitri pada pokoknya harus menunggu Rukyatul hilal yang kelak akan diumumkan pada waktunya. Di masa Menteri Agama K.H. Syifyddin Zuhri, terbit keputusan Menteri Agama  Nomor 47 Tahun 1963 tentang perincian organisasi dan tata kerja Departemen Agama, sebagai penyempurnaan regulasi. Sebelumnya, pada pasal 26, Keputusan Menteri Agama Nomor 47 Tahun 1963 diuraikan 47 tugas Departemen Agama di antaranya ialah  menetapkan tanggal tanggal hari raya yang ditetapkan sebagai hari libur. Mekanisme penetapan awal Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, kemudian dilembagakan menjadi isbat di Kementerian Agama.

Salah satu langkah monumental Kementerian Agama tahun 1970-an membentuk Badan Hisab Rukyat atau BHR. BHR dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1972 dan pertama kali diketuai Saadydin Jambek, seorang fajar ilmu Falak Muhammadiyah. Kenggotaan BHR terdiri para ulama/ahli yang berkompeten dari berbagai unsur organisasi terkait .

Menteri Agama 1971-1978 Prof. HA. Mujti Ali sewaktu melantik anggota BHR Agus 1972, menyampaikan 3 hal berkenaan dg peran dan tugas BHR, sbb:

Pertama, menentukan hari hari besar Islam dan hari libur nasional yang berlaku seluruh Indonesia, kedua menyatukan penentuan awal bulan Islam yang berkaitan dengan ibadah umat Islam seperti 1 Ramadhan 1 Syawal dan 1 Dzulhijjah, ketiga menjaga persatuan umat Islam, mengatasi pertentangan dan perbedaan dalam pandangan ahli hisab dan rukyah dan meminimalisir adanya perbedaan dalam partisipasi untuk membangun bangsa dan negara.

BHR yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam sejak dekade terakhir dirobah menjadi Tim Hisab dan Rukyah dan belakangan Tim Univikaei kalender Hijriyah kedepan sejalan dengan peningkatan kinerja Kejenterian Agama mungkin perlu dirumuskan kembali pelembagaan  Tim Hisab dan Rukyah. Dalam kontek ini negara tidak mencampuri subtansi ibadah, tetapi negara menyediakan pekatan dan pedoman bagi kelancaran pelajaran ibadah sepanjang dibutuhkan. Peran Pemerintah melalui Kementerian Agama adalah memfasilitasi kepastian peksanaan ibadah yang membutuhkan keterlibatan negara sejalan dengan amanat konstitusi pasal 29.

Sejauh ini terdapat beberapa perobahan organisasi dan tata kerja Kenenterian Agama Nomor 72 Tahun 2022 PMA, Nomor 42 Tahun 2016 dan PMA Nomor 10 Tahun 2010, serta PMA Nomor 3 Tahun 2006. Kewenangan Menteri Agama untuk menetapkan tanggal 2 hari raya ataupun awal puasa melalui sidang isbat belakangan tidak dinormajan secara eksplisit. Dalam hubungan ini UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal 52 A menegaskan bahwa Pengadilan Agama memberi isbat kesaksian rukyah hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Menutut penjelasan pasal 52 A UU tsb selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan penetapan arah isbat terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal bukan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu shalat.

Penentuan awal bulan qamaruah yang lazim dilakukan secara kita menggunakan kriteria wujudul hilal dan imkanurrukyah  yang kini ketinggian hilal yang diakui. Umat Islam di Indonesian memulai ibadah puasa Ramadhan dan Idul Fitri mengikuti 2 metode yaitu hisab atau metode euktat pemantauan bulan. Kedua metode itu telah melembaga di masyarakat dan dan saling berdampingan. Penetapan 1 Ramadhan 1 Syawal dan 1 Zulhijjah sejatinya berada diranah dialektika sains bukan masalah Saidah dan hukum ibadah.

Masaalah hisab dan rukyah di Indonesia sering menjadi persoalan nasional khusus di kalangan umat Islam dalam kaitan dengan masaalah ibadah dan hari hari besar Islam Hisab rukyah bukan saja berhubungan dengan masalah ibadah dan hari hari besar saja namun kajiannya lebih luas seperti penyusunan kalender, perkiraan terjadi gerhana dsb.

MUI melalui Keputusan Fatwa Nomor 2 Tahun 2004 tentang penerapan awal Ramadan Syawal Zulhijjah menetapkan pertama penetapan awal ramadhan Syawal dan Zulhijjah dilakukan metode rukyat dan hisab oleh Pemerintah RI cq Menteri Agama  berlaku secara nasional. Kedua seluruh umat Islam di Indonesia wajib mentaati ketetapan Pemerintah RI tentang penerapan awal ramadhan Syawal dan Zulhijjah. Ketiga dalam menetapkan awal ramadhan Syawal dan Zulhijjah Menteri Agama wajib berkonsultasi dengan MUI dan ornas-ormas Islam dan instansi terkait. Keempat hasil rukyat dari daerah yang memungkinkan hilal dirujyat walaupun di luar Indonesia yang mathlaqnya sama dengan Indonesia dapat dijadikan pedoman oleh Menteri Agama RI.

Pertemuan MABIMS atau Menteri Agama Brunai Darussalam Malaysia Singapura tahun 2016 menghasiljan butir-butir kesepakatan kerwtaria baru tinggi bulan 3 derajat dan ekingadi bulan atau jarak bulan matahari 6,4 derajat.

Keretaria MABIMS mulai digunakan oleh Kementerian Agama dalam sidang isbat pebetapan 1 Ramadhan 1443 H/2022 M sebelumnya koma beberapa tahun berturut-turut, tidak terdapat potensi perbedaan perhitungan hisab dan hasil rukyat dalam penerapan 1 Ramadhan 1Syawal dan 1 Zulhijjah tidak terjadi perbedaan dapat dilaksanakan serentak baik hisab dan rukyah karena faktor alam yang mempersatukan Kementerian Agama bersama MUI dan ormas Islam pernah membahas penyatuan kalender Hijriyah atau kalender Islam global sejumlah fajar yang dihadirkan berasal dari perwakilan Mahkamah Agung RI Pengadilan Tinggi Agama, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG Lembaga Penerbangan Antriksa Nasional atau Lapan, Badang Informasi Geospasial  atau BIG NU Muhammadiyah Perti Alwasliyah dan Persis. Juga hadir ahli hisab Rukyah perorangan dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi. Langkah strategis dan transformatif Kementerian Agama untuk mematangkan Univikaei kalender Islam perlu dilanjutkan. Penyatuan kalender Islam memerlukan cara pandang baru dan pemanfaatan sains secara optimal. Jika ada cara untuk mempersatukan umat dalam memulai ibadah puasa Ramadhan dan Idul Fitri juga Idul Adha akan lebih baik. Kalau terjadi perbedaan pendapat tentang penerapan 1 Ramadhan 1Syawal 1 Zulhijjah kita pedomani Sabda Nabi Iktilafu umnati Rahmat perbedaan pendapat itu dijadikan Rahmat kita tidak menginginkan terulang kajadian 2 tahun yang lalu ada yang membawa ke ranah pidana dan ada pula yang mengatakan sidang isbat dituadkan saja. Nauzubillah min dzalik.

Penulis Guru Besar UIN IB Padang/Ketua Dewan Pertimbangan MUI Sumbar/Anggota Wantim MUI Pusat/Penasehat ICMI Sumbar/A’wan PB NU

Related Articles

Latest Articles