Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sejarah Hari Raya Galungan dan Kuningan

Galungan dan Kuningan identik dengan masyarakat Bali. Sebab keduanya adalah hari raya umat Hindu yang merupakan agama mayoritas di pulau Dewata. Ketika perayaan hari raya tersebut, hampir setiap pelosok pulau Bali dipenuhi hiasan janur yang dipasang di sebatang bambu. Oleh masyarakat Bali, hiasan tersebut disebut Penjor.

Saking meriahnya perayaan Galungan dan Kuningan, dua hari raya tersebut juga menjadi daya tarik bagi wisatawan dalam dan kuar negeri. Namun apakah makna di balik perayaan Galungan dan Kuningan?

 

Makna Hari Raya Galungan

Dalam laman bulelengkab.go.id disebutkan, kata Galungan berasal dari kata Jawa kuno, yang berarti bertarung. Di Bali, kata ini juga biasa disebut “dungulan” yang memiliki arti menang. Pertanyaannya, menang melawan apa?

Laman forumstudimajapahit.com menulis, Hari Raya Galungan memiliki makna kemenangan kebaikan melawan keburukan. Di mana kebaikan disebut Dharma dan keburukan disebut Adharma. Karena itu pada hari raya ini, umat Hindu di Bali merayakan dan bersyukur ke hadapan Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.

 

Sejarah Galungan

Tida ada catatan pasti kapan pertama kali Hari Raya Galungan dilaksanakan. Namun, mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI, Drs. I Gusti Agung Gede Putra memperkirakan, hari raya ini sudah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia, setelah itu baru popular di masyarakat Hindu Bali.

Namun sejarah lainnya tercantum dalam lontar Purana Bali Dwipa. Ini adalah semacam Pustaka suci atau kitab pedoman yang disimpan oleh umat Hindu. Di sana disebutkan Hari Raya Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, tahun 882 masehi atau tahun Saka 804.

Terlepas sejarah mana yang lebih valid, Hari Raya Galungan telah menjadi salah satu hari raya suci Umat Hindu di Bali.

 

Makna Hari Raya Kuningan

Laman wikipedia.org menulis, Hari Raya Kuningan dirayakan setelah Hari raya Galungan, tepatnya 10 hari setelah hari raya tersebut. Hari raya ini dirayakan oleh umat Hindu Dharma di Bali. Kata Kuningan itu sendiri bermakna “Kauningan”, yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan berintrospeksi, agar terhindar dari mara bahaya.

Hari Raya Kuningan juga bisa bermakna hari resepsi bagi hari Galungan yang dirayakan 10 hari sebelumnya. Pada Hari Raya Kuningan, kemenangan Dharma (kebaikan) melawan keburukan (Adharma) menjadi spirit atau semangat yang harus diserap dan dilaksanakan oleh umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.

Sebab dalam kepercayaan masyarakat Hindu, Dharma (kebaikan) tidak hanya diwacanakan, tapi dilaksanakan, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Sarasamuccaya (Sloka 43).

Pada perayaan Hari Raya Kuningan, umat Hindu kerap menggunakan banten atau sesajen. Laman buleleng.desa.id menyebut, bentuk dan jenis sesajen di tiap desa belum tentu sama. Ini karena sesajen memang banyak jenisnya. Tapi umumnya sesajen yang dipakai berisi simbol tamiang atau endongan.

Tamiang melambangkan perlndungan dan perputaran roda alam, sementara endongan bermakna perbekalan. Bekal yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan yang berupakan bekal utama alam mengarungi kehidupan.

 

Tradisi unik

Ada sejumlah tradisi unik yang dilakukan umat Hindu Bali setiap Hari Raya Kuningan. Laman wikipedia.org menulis, salah satu tradisi unik tersebut ada di Kota Tabanan, Bali.

Di sana, seusai melakukan persembahyangan, warga melakukan tradisi Mesyurak, atau bersorak. Dalam tradisi ini, setiap keluarga yang berkecukupan membagikan uang kepada warga. Namun uniknya uang tersebut dibagikan dengan cara disebar ke udara.

Tradisi ini mengundang antusiasme warga, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun dan menjadi simbol persembahan kepada leluhur. Umat Hindu yakin, dengan membagi-bagikan uang berarti mereka telah membekali leluhur mereka yang sudah meninggal dunia. ***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles