Keputusan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memecat mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto dari keanggotaannya di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menimbulkan banyak kontroversi.
Menanggapi kasus ini, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin Menkes Budi mengatakan, pihaknya akan membantu mediasi antara IDI dengan anggota-anggota IDI yang telah diberhentikan.
“Kemenkes akan memulai dan membantu proses mediasi antara IDI dan anggotanya agar komunikasi berjalan baik, sehingga situasi yang terbangun akan focus,” kata Menkes Budi dalam keterangan persnya, Senin (28/3/2022) lalu.
Bahkan, anggota Komisi IX DPR Fraksi NasDem, Irma Chaniago mengusulkan agar IDI dibubarkan saja.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly juga mengecam keputusan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memecat Terawan Agus Putranto. Menurut Yasonna, Terawan telah berjasa menyembuhkan sejumlah kerabatnya lewat metode digital substraction angiography (DSA) atau cuci otak.
Bahkan, Yasonna ingin merevisi UU Kedokteran dan UU Praktik Kedokteran usai IDI memecat Terawan. Dia menilai tak seharusnya Terawan dipecat karena menerapkan metode tersebut. Yasonna ingin keberadaan IDI dievaluasi lewat revisi undang-undang.
“Posisi IDI harus dievaluasi. Kita harus membuat undang-undang yang menegaskan izin praktek dokter adalah domain Pemerintah,” tegasnya.
Lalu, bagaimana kah sejarah terbentuknya IDI?
Dilansir dari situs resminya, IDI terbentuk pada tahun 1950 tepatnya usai muktamar pertama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang digelar di Deca Park yang kemudian menjadi gedung pertemuan Kotapraja Jakarta.
Dalam muktamar tersebut, hadir sebanyak 181 dokter yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) dari Jakarta dan luar Jakarta. Hasil muktamar IDI terpilih Sarwono Prawirohardjo menjadi Ketua Umum IDI pertama.
Kata ‘Ikatan’ dalam IDI sendiri merupakan usulan dari Dr. R. Soeharto yang merupakan Ketua Tim Dokter Presiden Soekarno dan juga Dewan Pimpinan Pusat IDI pada masa itu.
Kantor Pusat IDI yang berlokasi di Jalan Sam Ratulangi, semula milik warga negara Belanda yang kemudian dibeli oleh Bendahara IDI Tan Eng Tie seharga Rp300.000 pada masa itu.
Berjalannya waktu, kiprah IDI diakui oleh dunia dengan diterimanya sebagai anggota World Medical Association (WMA) yang menghimpun semua organisasi kedokteran di dunia pada tahun 1953.
Pada tahun yang sama, IDI memprakarsai berdirinya Confederation of Medical Associationin Asia and Oceania (CMMAO) dan sejak itu, IDI aktif menjadi anggota organisasi tersebut.
Pada tahun 1969, IDI menyelenggarakan Musyawarah Kerja Sosial Kedokteran Indonesia. Dalam musyawarah ini, IDI berhasil menyusun dan mensahkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).
Selain memprakarsai berdirinya CMMAO, IDI juga memprakarsai berdirinya Medical Association of ASEAN (MASEAN) pada tahun 1980 dan sejak itu menjadi anggota aktif organisasi tersebut.
Sebagai pemrakarsa CMMAO, Indonesia dipercaya sebagai tuan rumah CMMAO pada tahun 1989 dan menetapkan dr. Azrul Azwar yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum IDI menjadi Presiden CMMAO.
Dr. Azrul Azwar juga terpilih sebagai Presiden WMA pada tahun 1996 saat World Medical Assembly ke-48 di Cape Town, Afrika Selatan.
Hingga kini, IDI memiliki puluhan ribu anggota yang tersebar luas di seluruh Indonesia dan didominasi oleh dokter perempuan sebanyak 58 persen dari jumlah dokter yang ada. ***