Mayor Jenderal Anumerta Donald Issac Panjaitan atau DI Panjaitan adalah seorang pahlawan revolusi Indonesia yang begitu terkenal. Selama hidupnya, DI Panjaitan dikenal sebagai sosok pemberani dalam mempertahankan tanah air Indonesia. Hal ini yang kemudian membuatnya begitu disegani dan dihormati.
Tepat hari ini, 9 Juni pada 1925 silam, DI Panjaitan dilahirkan. DI Panjaitan memulai kariernya sebagai militer saat mengikuti pendidikan Giyugun di Bukittinggi, Sumatera Barat. Setelah lulus dari Giyugun, ia ditugaskan di Pekanbaru sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.
Dalam catatan sejarah, DI Panjaitan ditembak oleh Prajurit Tjakrabirawa di rumahnya, di Jalan Sultan Hasanudin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 1 Oktober 1965. Meski telah tiada, tetapi sosoknya akan terus dikenang oleh bangsa Indonesia.
Perjalanan Karier
DI Panjaitan adalah sosok pahlawan revolusi Indonesia yang pernah mengenyam bangku SD hingga kuliah di Associated Command and General Staff Collage, Amerika Serikat. Selama di Indonesia, Panjaitan sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau. Selain itu, ia juga membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kini berubah menjadi TNI.
Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, DI Panjaitan diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan yang kemudian dipindah ke Palembang menjadi Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.
Sepulang menuntut ilmu di Amerika Serikat, Panjaitan membongkar sebuah rahasia PKI yang akan mengirimkan senjata dari Republik Rakyat China. Konon, senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan. Bahan-bahan tersebut akan digunakan untuk melancarkan aksi pemberontakan.
Aksi yang dilakukan oleh Panjaitan tersebut didengar oleh pihak PKI. Tak pelak, hal ini membuat pihak PKI marah dan melancarkan serangan pada tanggal 1 Oktober 1965.
Wafatnya DI Panjaitan
Tanggal 30 September sampai awal 1 Oktober 1965, menjadi salah satu hari paling kelam bagi bangsa Indonesia. Peristiwa yang sering disebut G30S/PKI atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) terjadi ketika sejumlah perwira militer Indonesia dibunuh dalam suatu usaha kudeta.
Hingga kini, penyebab dan latar belakang terjadinya peristiwa G30S/PKI masih menjadi perdebatan. Namun yang jelas, peristiwa pemberontakan tersebut menewaskan enam jenderal dan satu letnan TNI AD, salah satunya DI Panjaitan. Mereka ditemukan pada 3 Oktober 1965 di sebuah lubang berdiameter 75 sentimeter dan kedalaman 12 meter di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Ketujuh jenazah tersebut ditemukan pada 4 Oktober 1965 dengan posisi kepala berada di bawah dan saling bertumpuk. Selain Mayjen (Anumerta) DI Pandjaitan, ada enam tentara lainnya yang terbunuh, antara lain Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani, Letjen (Anumerta) Suprapto, Meyjen (Anumerta) MT Haryono, dan Letjen (Anumerta) Siswondo Parman. Lal, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomihardjo, serta Letnan Satu Corps Zeni (Anumerta) Pierre Andreas Tandean.
Pahlawan Revolusi
Setelah berhasil membunuh enam jenderal dan satu perwira pertama, pasukan Letkol Untung keesokan paginya berhasil mengambil alih Radio Republik Indonesia (RRI) dan menyebarkan propagandanya. Namun, perampasan itu hanya terjadi kurang dari satu hari, lantaran Kostrad mampu merebut kembali RRI.
Di bawah perintah Meyjen Soeharto, pemberontakan tersebut berhasil diredam. Di mana sisa-sisa pemberontak diburu ke seluruh penjuru, termasuk Aidit yang diduga dalang dari peristiwa G30S.
Berkat segala perannya dan karena gugur di medan perang, akhirnya DI Panjaitan beserta keenam orang lainnya diberi kehormatan dengan menyandang gelar sebagai Pahlawan Revolusi. Kemudian pemerintah Orde Baru menetapkan 30 September sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September. Sedangkan, 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. ***