Seperti diketahui, Soeharto merupakan salah satu tokoh penting dalam perjalanan sejarah kepemimpinan negara Indonesia. Dalam hal ini, Soeharto tidak lain merupakan mantan Presiden kedua Republik Indonesia, yang menjabat selama 30 tahun. Dengan masa jabatan itu, Soeharto menjadi Presiden terlama yang memimpin Indonesia.
Selama kepemimpinannya, memang terdapat banyak pencapaian yang didapat Indonesia. Mulai dari pengelolaan utang luar negeri yang baik, sistem ketahanan pangan yang kuat, hingga swasembada pangan yang pernah dialami Indonesia pada masa Orde Baru. Di samping itu, kepemimpinan Soeharto juga tidak luput dari berbagai macam kontroversi, hingga memicu konflik Mei 1998 yang menyebabkan Soeharto turun dari jabatan.
Meskipun begitu, Soeharto merupakan tokoh yang menarik untuk dibahas dalam sejarah Indonesia. Salah satunya biografi Soeharto, termasuk peristiwa 8 Juni yang merupakan tanggal kelahiran Presiden kedua Indonesia ini. Soeharto merupakan anak dari pasangan Sukirah dan Kertosudiro yang lahir di di Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
Diketahui, Soeharto tidak lahir dalam keluarga berada dan malah mempunyai masalah ekonomi, sehingga di umurnya yang masih 40 hari, Soeharto diserahkan pada kakak perempuan Kertosudiro. Di masa kecil, Soeharto juga mengalami berbagai peristiwa sulit.
Kelahiran Soeharto
Membahas kisah Presiden Soeharto tentu harus menilik latar belakang masa kecilnya yang dimulai dari peristiwa 8 Juni. Pada 8 Juni 1921, Soeharto lahir di Dusun Kemusuk, Desak Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, Yogyakarta. Ia merupakan anak dari pasangan Sukirah dan Kertosudiro.
Diketahui, keluarga Soeharto merupakan keluarga yang kurang beruntung secara ekonomi. Saat menghadapi masalah ekonomi yang sulit, Soeharto sempat dititipkan pada kakak perempuan Kertosudiro pada umurnya yang baru 40 hari. Semasa kecil, tempat tinggal Soeharto juga berpindah-pindah di tempat saudaranya.
Soeharto sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR) selama 4 tahun, kemudian Ayahnya memasukkan Soeharto ke sekolah lanjutan rendah di Wonogiri. Saat usianya 14 tahun, Soeharto pernah tinggal bersama teman Ayahnya, Hardjowijono yang merupakan pensiunan pegawai Kereta Api.
Hardjowijono merupakan seorang pengikut Kiai terkemuka di Wonogiri, yaitu Kiai Darjatmo. Sering diajak pergi bersama, Soeharto pun kerap membantu Kiai Darjatmo membuat resep obat tradisional. Namun tidak lama, Soeharto kembali ke kampungnya daerah Kemusuk dan melanjutkan sekolah menengah pertama di SMP Muhammadiyah.
Tidak berhenti di situ, kisah lahirnya Presiden Soeharto pada peristiwa 8 Juni masih berlanjut. Saat itu, Soeharto ingin melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, namun ternyata karena kondisi ekonomi yang sulit membuatnya mengurungkan niat. Setelah itu, Soeharto kecil memutuskan untuk mencari pekerjaan namun tidak mudah dan berkali-kali gagal. Kemudian, ia kembali pada bibinya yang berada di Wuryantoro, Wonogiri.
Setelah mencari-cari pekerjaan, akhirnya Soeharto diterima di sebagai pembantu klerek di sebuah Bank Desa. Sayangnya tidak bertahan lama, ia minta berhenti dari pekerjaan tersebut. Kemudian pada tahun 1942, Soeharto membaca informasi mengenai penerimaan Koninklijk Nederlands Indisce Leger (KNIL), tentara kerajaan Belanda. Ia tertarik dan mendaftarkan diri.
Nasib ternyata membawanya masuk menjadi anggota tentara Indonesia pada saat itu. Sempat bertugas selama 7 hari dengan pangkat sersan saat Belanda menyerah pada Jepang. Selesai bertugas, Sersan Soeharto pulang ke kampung halamannya di Kemusuk, dan pada saat itulah karier militernya dimulai.
Dilantik Sebagai Presiden
Perjalanan hidup Soeharto yang dimulai dari peristiwa 8 Juni yang merupakan hari kelahirannya, terus berlanjut. Selama meniti kariernya di dunia militer, ia pun terus berkembang dan menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat. Hingga pda 12 Maret 1967, dengan jabatannya tersebut Soeharto diangkat menjadi Presiden kedua RI untuk menggantikan Soekarno.
Pelantikan Soeharto sebagai Presiden ini, diketahui berdasarkan mandat Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Hal ini berawal dari Gerakan G 30 S PKI, di mana pada 1 Oktober 1965 dini hari, 6 jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh, yang disebut-sebut sebagai upaya kudeta yang dilakukan para pengawal istana (Tjakrabirawa), yang dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin Letkol Untung.
Karena saat itu Letjen Ahmad Yani tidak diketahui keberadaannya, yang ternyata menjadi satu di antara jenderal yang jadi korban, Mayor Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat, kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Pada situasi genting September 1965 muncul isu bahwa beberapa petinggi Angkatan Darat tidak puas terhadap Soekarno dan berniat menggulingkan. Dalam hal ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa, untuk menangkap dan mengadili pihak yang ingin menggulingkannya. Namun hal yang tak terduga terjadi. Justru beberapa oknum tersulut emosi dan membunuh beberapa tokoh penting seperti Letjen Ahmad Yani, DI Panjaitan, dan Tirtodarmo Haryono yang merupakan 3 dari 6 jenderal yang menjadi korban G 30 S PKI.
Keberadaan Surat Sebelas Maret pun masih menjadi perdebatan dan konflik di kalangan petinggi. Berbagai desakan pun muncul, sehingga Soekarno memutuskan untuk menandatangani surat kewenangan untuk kepemimpinan Soeharto pada tahun 1966. Kemudian, Soeharto dilantik sebagai Presiden pada 12 Maret 1967, setelah pertanggungjawaban Presiden Soekarno ditolak oleh MPRS. ***