Konfrontasi Indonesia-Malaysia adalah sebuah peristiwa perang yang disebabkan persengketaan wilayah dan penolakan penggabungan wilayah Sabah, Brunei, dan Sarawak yang terjadi antara Federasi Malaysia dan Indonesia pada tahun 1962 hingga 1966.
Perang ini diawali dari keinginan Federasi Malaya, atau lebih dikenali sebagai Persekutuan Tanah Melayu, yang ingin menggabungkan Brunei, Sabah dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia. Namun, keinginan pihak Malaysia ini diketahui tidak sesuai dengan Persetujuan Manila.
Oleh karenanya, keinginan Federasi Malaysia tersebut ditentang oleh Presiden Soekarno, yang menganggap pembentukan Federasi Malaysia, yang sekarang dikenal sebagai Malaysia, sebagai “boneka Inggris” merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.
Sebagai bagian dari penarikan dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya yang berada di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia. Namun, rencana ini ditentang oleh Presiden Sukarno yang berpendapat bahwa konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga dapat mengancam kemerdekaan Indonesia.
Akibat dari penentangan ini, demonstrasi anti-Indonesia pun muncul di Kuala Lumpur dan berlangsung pada 17 September 1963. Para demonstran yang marah terhadap Presiden Sukarno karena melancarkan konfrontasi terhadap Malaysia dan juga karena serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia terhadap Malaysia. Hal ini mengikuti dengan pengumuman Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia pada 20 Januari 1963.
Sukarno pun murka dan mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesia, di mana para demonstran menginjak-injak lambang negara Indonesia, dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang sampai saat ini dikenal dengan nama Ganyang Malaysia.
Kemudian Sukarno memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia dengan pidato berapi-api yang sangat bersejarah berikut:
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu djuga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang adjar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan, kita hadjar tjetjunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat djangan sampai tanah dan udara kita diindjak-indjak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku bakal berangkat ke medan djuang sebagai patriot Bangsa, sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang enggan diindjak-indjak harga dirinja
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini kita akan membalas perlakuan ini dan kita tundjukkan bahwa kita masih memiliki gigi dan tulang jang kuat dan kita djuga masih memiliki martabat
Yoo…ayoo… kita… Ganjang…
Ganjang… Malaysia
Ganjang… Malaysia
Bulatkan tekad
Semangat kita badja
Peluru kita banjak
Njawa kita banjak
Bila perlu satu-satu!
Pecahnya Peperangan
Pada 27 Juli 1964, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-“ganyang Malaysia”. Pada 16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh gerilyawan Indonesia. Ketegangan berkembang di kedua belah pihak.
Dua hari kemudian para perusuh membakar kedutaan Britania di Jakarta. Ratusan perusuh merebut kedutaan Singapura di Jakarta, dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen dari Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Perbatasan di Kalimantan pun tak lepas dari peperangan.
Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah pasukan Inggris dan Australia, terutama pasukan khusus Special Air Service (SAS). Tercatat pasukan tewas di pihak Indonesia sekitar 2000 pasukan dan dari pihak Inggris/Australia (SAS) sekitar 200 pasukan setelah bertempur di belantara Kalimantan.
Pada 17 Agustus, pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di perbatasan Johor-Malaka dan membunuh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan Selandia Baru dan menumpas juga Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Semporna. Serangan dan pengepungan terus dilakukan hingga 8 September namun gagal. Peristiwa ini dikenal dengan “Pengepungan 68 Hari” oleh warga Malaysia.
Menjelang akhir 1965, Jenderal Soeharto saat itu memegang kekuasaan di Indonesia setelah adanya Gerakan 30 September yang terkenal. Karena adanya konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk meneruskan perang dengan Malaysia berkurang, dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966, Kerajaan Malaysia dan pemerintah Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik dan normalisasi hubungan antara kedua negara melalui konferensi di Bangkok, meski diwarnai dengan keberatan Sukarno. ***