Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sejarah Lahirnya Bank Indonesia

Bank Indonesia merupakan bank sentral independen yang bebas dari campur tangan pemerintah dan atau pihak-pihak lain. Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999, Bank Indonesia telah disahkan pada tanggal 17 Mei 1999.

Kalau selama ini kita mengenal Bank Indonesia, atau yang lebih familiar dengan istilah BI, hanya melalui berita, surat kabar, ataupun sebatas dari pendengaran sepintas, maka dalam artikel ini akan mencoba menyajikan informasi tentang sejarah dari Bank Indonesia.

Diharapkan dengan mengetahui sejarah, kita lebih akrab dengan lembaga independen di Indonesia ini yang fungsi pokoknya adalah sebagai pemelihara nilai rupiah agar tetap stabil.

Sebenarny , jika ingin mengenal lebih jauh mengenai Bank Indonesia, warga Indonesia dapat berkunjung ke Museum beralamat tepatnya di Jalan Pintu Besar Utara Nomor 3 Jakarta Barat.

Pemilihan lokasi ini sangat strategis karena gedung ini dulunya merupakan lokasi De Javasche Bank yang menjadi awal terbentuknya dari Bank Indonesia itu sendiri. Lokasi tersebut adalah bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah dan sekarang dimanfaatkan sebagai Museum Bank Indonesia.

Museum Bank Indonesia memiliki fasilitas-fasilitas yang diberikan untuk menggali informasi lebih lengkap tentang sejarah, fungsi, maupun tugas Bank Indonesia. Ini sangat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin memperluas cakrawala mereka ataupun siapa saja yang ingin melakukan penelitian terkait dengan sejarah Bank Indonesia. Lalu bagaimana sejarah lahirnya Bank Indonesia ini?

Dikutip dari halaman bi.go.id, sejarah singkat dari Bank Indonesia atau lebih dikenal dengan sebutan BI di antaranya sebagai berikut.

Pada abad ke 16, kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara dengan misi mencari rempah-rempah.

Di Nusantara sendiri telah berdiri kerajaan-kerajaan yang telah memiliki mata uangnya sendiri. Selain itu, beredar pula mata uang asing seperti Picis dari Tiongkok yang mendominasi peredaran uang pada masa itu.

Seetelah itu, pada tahun 1602, adanya pembentukan maskapai dagang yaitu Vereenigde Oost-Indische Compagnie yang dikenal dengan nama VOC (Persekutuan Dagang Hindia Timur). Pada waktu yang bersamaan, mata uang Real Spanyol masuk ke Nusantara. VOC sendiri memiliki tujuan untuk membuka perdagangan di Nusantara sekaligus menghancurkan dominasi Portugis namun upaya tersebut tenyata gagal.

Pada tahun 1762, bank pertama di Nusantara yang berdiri untuk menunjang kegiatan perdagangan pada waktu itu adalah Bank van Courant. Bank ini memiliki tugas untuk memberikan pinjaman dengan jaminan emas, perak, perhiasan, dan barang-barang berharga lainnya.

Pada tahun 1752, Bank van Courant disempurnakan menjadi De Bank van Courant en Bank van Leening. Bank ini bertugas memberikan pinjaman kepada pegawai VOC agar mereka dapat menempatkan dan memutarkan uang mereka pada lembaga ini. Hal ini dilakukan dengan iming-iming imbalan bunga.

Namun, Bank van Courant en Bank van Leening ditutup pada tahun 1818 karena krisis keuangan. Berselang 10 tahun dari penutupan Bank van Courant en Bank van Leening. Tepatnya pada tahun 828, pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. Sebagai bank sirkulasi, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Secara keseluruhan, DJB telah melalukan tujuh kali masa perpanjangan octrooi. De Javasche Bank merupakan bank sirkulasi pertama di Asia.

Lokasi kantornya yang pertama berada di Batavia atau Jakarta. Selanjutnya, De Javasche Bank mendirikan cabang di Semarang (1829) dan Surabaya (1829), serta dilanjutkan cabang-cabang di Padang (1864), Makassar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867) dan Pasuruan (1867).

Fungsi utama dari De Javasche Bank adalah berupaya untuk mencetak mengedarkan uang di wilayah Hindia Belanda. Jenis mata uang yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank adalah gulden Belanda. Selain itu, bank yang berdiri dengan badan hukum Nammlooze Vennotschap atau PT ini juga memiliki peran dalam menjaga sirkulasi mata uang gulden. Apalagi, saat itu aktivitas perdagangan internasional sudah cukup tinggi.

Pada tahun 1870-an, pemerintah waktu itu mengeluarkan Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) yang memperbolehkan pihak swasta menanamkan modalnya pada sektor bisnis di Hindia Belanda. Hal ini mendorong kebangkitan sektor perkebunan di Hindia Belanda sehingga menjadi produsen penting komoditas-komoditas perdagangan internasional di dunia.

Akibat eksploitasi ekonomi besar-besaran oleh Belanda selama penerapan Sistem Tanam Paksa, muncul gerakan yang disebut sebagai politik balas budi atau yang lebih dikenal dengan Politik Etis pada tahun 1901.

Pada bidang perbankan, pada awal abad ke-20 banyak bermunculan bank-bank perkreditan yang bertujuan untuk mendorong perkembangan perekonomian rakyat.

Rentang tahun 1870-1942, De Javasche Bank membuka 15 kantor cabang di kota-kota yang dianggap strategis di Hindia Belanda, yaitu: Yogyakarta (1879), Pontianak (1906), Bengkalis (1907), Medan (1907), Banjarmasin (1907), Tanjungbalai (1908), Tanjungpura (1908), Bandung (1909), Palembang (1909), Manado (1910), Malang (1916), Kutaraja (1918), Kediri (1923), Pematang Siantar (1923), Madiun (1928).

Tahun 1942, pada masa pemerintahan Militer Jepang, DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi di Indonesia kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).

Pada tahun 1828, Pemerintah Kerajaan Belanda memberikan octrooi atau hak-hak istimewa kepada De Javasche Bank (DJB) untuk menjadi bank sirkulasi. Pada periode ini, DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

Octrooi secara periodik diperpanjang setiap 10 tahun sekali. Hingga tahun 1922, telah dilakukan tujuh kali perpanjangan Octrooi dan pada waktu yang sama pemerintah Belanda menerbitkan undang-undang De Javasche Bank Wet.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Pada masa ini, NICA mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA. Hal ini bertujuan untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.

Sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 pasal 23 yaitu “Berhubung dengan itu kedudukan Bank Indonesia yang akan mengeluarkan dan mengatur peredaran uang kertas ditetapkan dengan Undang-undang”, maka Pemerintah Republik Indonesia membentuk bank sirkulasi yaitu Bank Negara Indonesia (BNI).

Penetapan BNI sebagai central bank di Indonesia dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1946 yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1946. Sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi, BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI).

Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). Pada masa ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan “uang merah” dan ORI dikenal sebagai “uang putih”.

Pencetakan dan peredaran ORI oleh BNI dilakukan sejak tanggal 30 Oktober 1946. Dengan keberadaan mata uang ini, maka uang yang dikeluarkan oleh Jepang dan De Javasche Bank, tidak lagi berlaku.

Hanya saja, peran sebagai bank sentral yang dijalani oleh BNI berjalan sangat singkat. Alasannya adalah keterbatasan aset yang dimiliki oleh BNI. Apalagi, saat itu peredaran ORI tidak berlangsung secara maksimal, tak mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Sebagai gantinya, peran tersebut kemudian diberikan pada De Javasche Bank, tercatat mulai tahun 1949.

Oeang Republik Indonesia atau ORI sendiri merupakan mata uang pertama yang dimiliki Republik Indonesia setelah merdeka. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tetapi juga sebagai lambang utama negara merdeka.

Resmi beredar pada 30 Oktober 1946, ORI tampil dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks UUD 1945. ORI ditandatangani Menteri Keuangan saat itu AA Maramis.

Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. ORI pertama dicetak oleh Percetakan Canisius dengan desain sederhana dengan dua warna dan memakai pengaman serat halus.

Presiden Soekarno menjadi tokoh yang paling sering tampil dalam desain uang kertas ORI dan uang kertas Seri ORI II yang terbit di Yogyakarta pada 1 Januari 1947, Seri ORI III di Yogyakarta pada 26 Juli 1947, Seri ORI Baru di Yogyakarta pada 17 Agustus 1949, dan Seri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta pada 1 Januari 1950.

Meski masa peredaran ORI cukup singkat, tetapi ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Pada Mei 1946, saat suasana di Jakarta genting, maka Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Yogyakarta, Surakarta, dan Malang.

Namun peredaran ORI tersebut sangat terbatas dan tidak mencakup seluruh wilayah Republik Indonesia. Di Sumatra yang beredar adalah mata uang Jepang. Pada 8 April 1947 Gubernur Provinsi Sumatra mengeluarkan rupiah URIPS-Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatra.

Pada tahun yang sama yaitu tepatnya 1949, berlangsung Konferensi Meja Bundar (KMB) dengan salah satu butir kesepakatan penting adalah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Belanda. Kedudukan RIS berada di bawah Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia menjadi bagian dari RIS. Selain itu, KMB juga menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat.

Setelah Republik Indonesia memutuskan untuk keluar dari RIS, pada masa peralihan kembali menjadi NKRI, DJB tetap menjadi bank sirkulasi dengan kepemilikan saham oleh Belanda.

Pada tahun 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI, dengan besaran mencapai 97%.

Pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan UU Nomor 1 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922. Sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia.

UU Nomor 11 Tahun 1953 merupakan ketentuan pertama yang mengatur BI sebagai bank sentral. Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui pemberian kredit. Pada masa ini, terdapat Dewan Moneter (DM) yang bertugas menetapkan kebijakan moneter.

DM diketuai Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur BI dan Menteri Perdagangan. Selanjutnya, BI bertugas menyelenggarakan kebijakan moneter yang telah ditetapkan oleh DM.

Pada tahun 1968, Pemerintah RI mengeluarkan UU Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Indonesia. Undang-undang ini mengembalikan tugas BI sebagai Bank Sentral Republik Indonesia dan menghentikan status BI sebagai BNI Unit I.

Salah satu pasal di dalam Undang-undang ini juga mengatur bahwa BI tidak lagi memiliki fungsi menyalurkan kredit komersial, namun berperan sebagai agen pembangunan dan pemegang kas negara.

Sementara itu, melalui UU Nomor 21 dan 22 Tahun 1968, bank-bank lainnya yang tergabung dalam Bank Tunggal berubah kembali menjadi bank pemerintah yang berdiri sendiri.

Perubahan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral terjadi kembali pada tahun 1999, ditandai terbitnya UU Nomor 23 Tahun 1999. Melalui UU ini, BI memiliki peran dalam memelihara serta menjaga stabilitas nilai rupiah. Selanjutnya, melalui amandemen tahun 2004, BI punya peran tambahan dalam hal upaya menguatkan governance.

Peran Bank Indonesia sebagai bank sentral berlangsung sampai sekarang. Dalam menjalankan tugasnya, BI memiliki 3 pilar utama, yaitu menetapkan sekaligus menjalankan kebijakan moneter, menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan menjaga kestabilan sistem keuangan di wilayah tanah air.

Pada tahun 2009, DPR mengesahkan UU Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/1999 Tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang. UU ini memperjelas dan mempertegas peran BI dalam fungsinya sebagai lender of the last resort.

Dan pada tahun 2011, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah ke OJK. DPR mengesahkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengalihkan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK.

Undang-Undang ini membagi ruang lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial lembaga keuangan sebagai kewenangan OJK, sementara pengaturan dan pengawasan makroprudensial menjadi tanggung jawab BI dengan sasaran stabilitas sistem keuangan.***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles