Salah satu tradisi yang terkenal di Indonesia adalah mudik atau pulang kampung saat bulan Ramadan untuk merayakan Idul Fitri atau Lebaran.
Kita seringkali mendengar kata mudik, sebenarnya bagaimana asal usul mudik yang menjadi tradisi menjelang lebaran?
Pada awalnya, mudik adalah suatu tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.
Menurut seorang ahli kajian filsafat bernama Jakob Sumardjo, kata mudik sendiri berasal dari Bahasa Jawa, yaitu “mulih dhilik”, yang berarti “pulang sebentar”.
Namun, ada pendapat lain dari sejarawan Betawi, Ridwan Saidi, yang mengatakan bahwa mudik berasal dari istilah “menuju udik”, yang artinya “menuju ke selatan”.
Alasannya, karena orang Betawi zaman dulu punya kebiasaan membuka usaha di pesisir utara, tapi rumahnya berada di daerah selatan yang relatif lebih sepi.
Seiring berjalannya waktu, kata “mudik” saat ini diartikan sebagai kampung atau desa dan berkembang menjadi campuran dari dua pendapat sebelumnya, yaitu “mulih udik”, yang berarti “kembali ke kampung atau desa.”
Istilah mudik lebaran sendiri baru berkembang pada tahun 1970-an, di mana saat itu Jakarta mengalami pertumbuhan penduduk yang cukup pesat.
Meski begitu, ternyata tradisi mudik sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit.
Saat itu, banyak warganya yang merantau mencari peruntungan di daerah yang baru dikuasai, mengingat kejayaan Majapahit meluas hingga ke Malaysia hingga Filipina.
Terjadilah perantauan secara besar-besaran, di mana para perantau saat itu memilih untuk pulang ke kampung halamannya saat ada hari besar atau keagamaan.
Para perantau pada zaman itu pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhur dan keluarganya.
Sejak itulah, mudik menjadi tradisi lebaran atau Hari Raya Idul Fitri bagi masyarakat Indonesia hingga saat ini. ***