Mudik adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia khususnya umat muslim yang merayakan lebaran Idul Fitri.
Setelah berpuasa selama 30 hari dalam sebulan, umat muslim merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.
Salah satu cara merayakan hari kemenangan itu dengan mudik ke kampung halaman untuk bertemu sanak keluarga.
Ternyata tradisi mudik ini telah ada sejak zaman dulu, bahkan sudah ada saat zaman Majapahit dan Mataram Islam.
“Awalnya, mudik tidak diketahui kapan. Tetapi ada yang menyebutkan sejak zaman Majapahit dan Mataram Islam,” ujar Silverio, baru-baru ini.
“Selain berawal dari Majapahit, mudik juga dilakukan oleh pejabat dari Mataram Islam yang berjaga di daerah kekuasaan. Terutama mereka balik menghadap Raja pada Idul Fitri,” ujarnya menambahkan.
Istilah mudik mulai tren pada tahun 1970-an. Mudik adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh perantau di berbagai daerah untuk kembali ke kampung halamannya.
“Mudik menurut orang Jawa itu kan dari kata Mulih Disik yang bisa diartikan pulang dulu. Hanya sebentar untuk melihat keluarga setelah mereka menggelandang (merantau),” tutur Silverio.
Selain itu, ternyata masyarakat Betawi memiliki makna berbeda dengan Jawa.
Mereka mengartikan mudik sebagai “kembali ke udik”. Dalam bahasa Betawi, kampung itu berarti udik.
Saat orang Jawa hendak pulang ke kampung halaman, orang Betawi menyebut “mereka akan kembali ke udik”.
Akhirnya, secara bahasa mengalami penyederhanaan kata dari “udik” menjadi “mudik”.
Selain untuk mengunjungi sanak keluarga di kampung halaman, mudik juga bertujuan untuk ziarah ke makam sanak keluarganya.