Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sejarah Patung Tugu Tani

Patung Tugu Tani memiliki tinggi 11 meter yang berdiri di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Patung perunggu ini sejatinya bernama Monumen Pahlawan, namun lebih populer dengan sebutan nama Tugu Tani.

Patung pahlawan yang dibangung berdasarkan ide Soekarno ini memiliki banyak kontroversi. Salah satunya, patung pahlawan memancing perlawanan dari mereka yang menganggapnya sebagai simbol negatif komunisme.

Asal usul patung Tugu Tani Jakarta dimulai ketika Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri Sarwo Edhie Wibowo, meminta Gubernur Jakarta Soemarno Sosroatmodjo yang kala itu memimpin Jakarta untuk merakit patung yang telah menjadi ikon kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

Namun, Mantan Panglima RPKAD itu mengatakan, patung berupa seorang petani bersenapan dengan terhunus bayonet dan sebuah pistol sama sekali tidak mewakili petani Indonesia. Patung tersebut juga mirip dengan PKI.

Menurut Adam Malik, patung pahlawan telah disiapkan jauh sebelum meletusnya pemberontakan G30S/PKI. Artinya, salah besar menyebut patung pahlawan sebagai bau generasi kelima PKI.

Adam Malik yang kesal malah angkat bicara soal asal usul patung Tugu Tani Jakarta. Menurutnya, gagasan patung pertama kali muncul ketika Bung Karno mengunjungi Uni Soviet pada 1960.

Bung Karno yang terpesona dengan monumen dan patung di Uni Soviet, langsung meminta Adam Malik – yang saat itu menjabat sebagai Duta Besar di Moskow – untuk menemukan pematung Rusia bernama Matvey Manizer. Di tangan Manizer, Bung Karno ingin meninggalkan agenda pembuatan patung perjuangan pembebasan Irian Barat.

“Dengan demikian patung itu bukan pemberian atau hasil pemikiran rakyat Soviet, melainkan perintah dan pemikiran Bung Karno sendiri,” ujar Adam Malik.

Bahkan, gambar dan bentuk patung Tugu, Tani Jakarta merupakan inisiasi dari Bung Karno sendiri. Kala itu, Soekarno memiliki ide untuk membuat patung seorang ibu yang rela dan senang melepaskan para pejuang untuk merebut Irian Barat.

Dalam adegan perpisahan, sang Ibu memberikan sebungkus nasi kepada pendekar muda yang akan berangkat ke medan perang. Namun, seluruh gambar masih dalam coretan kasar.

Bung Karno menggambarkan hal itu semua karena Belanda belum memiliki itikad baik untuk mengembalikan Irian Barat ke Indonesia, setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949. Belakangan, Bung Karno menyelamatkan Trikora di Yogyakarta pada 19 Desember 1961.

”Sekarang saya bertanya kepada saudara-saudara saya, kepada dunia internasional, mengapa Belanda menjadikan Irian Barat sebagai boneka Papua. Belanda menghasut rakyat Irian Barat untuk melakukan kebijakan memecah-belah kedaulatan Indonesia dengan mendirikan Negara Papua, mengangkat Bendera Papua, membuat lagu kebangsaan zoogenamde,” sepenggal pidato Trikora Soekarno saat itu. ***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles