Sabtu, November 23, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sejarah Perbendaharaan Lama

Membaca buku sejarah yang ditulis para sejarawan lalu kita bandingkan ada yang perlu kita kritisi. Sebutlah sejarah Perang Padri (Marle Calvin Rocket, Sejarah Indonesia Modern, 2020) yang berakhir dengan dibuangnya Tuanku Imam Bonjol ke Manado oleh Belanda dan wafat di sana pada tahun 1864. Juga babak perang antara kaum agama dan kaum adat serta Kerajaan Siak terhadap Belanda.

Temuan dari membaca buku itu adalah politik pecah belah (devide et impera) Belanda, lalu membuang dan menangkap pemimipin, dan kompromi serta politik. Pecah belah kaum adat dan kaum Padri. Sementara politik menangkap pemimipin dan membuang terjadi pada Tuanku Imam Bonjol yang dibuang jauh ke Manado. Terhadap politik kompromi dicerminkan oleh pola Pemerintahan Kerajaan Siak Sri Inderapura.

Dari tiga temuan itu, semuanya menjadi satu di bawah kendali Belanda. Kaum adat, dan kompromi Kerajaan Siak dan Belanda, serta politik mejauhkan politik berpengaruh Imam Bonjol dari pengikutnya.

Tidak memenjarakan pemimpin tetapi menjauhkan dari anak buah yang menjadi pengikut. Itu yang berbeda dengan pola pemerintahan menangkap dan memenjarakan pemimpin.

Apa sebenarnya yang terjadi dan penjelasanya. Yaitu Belanda di satu pihak, kaum adat dan agama serta Kerajaan Siak di lain pihak masih perlu dituntaskan. Lantaran perang yang cukup lama itu, sejak 1808–1838 atau 30 tahun banyak peristiwa mengandung poin penting.

Pertanyaan bagaimana poisisi kaum agama, menghadapi Belanda, bagaimana posisi kaum adat dan kaum agama. Termasuk terlibatnya Kerajaan Siak menghadapi penajajah Belanda.

Jadi ada tiga hal, penjajah, kaum agama (Padri) bersama Kerajaan Siak. Kaum adat Letnan Kolonel Raaff dari Hindia Belanda berhasil memukul pejuang kaum Paderi. Tanggal 4 April 1822 memasuki Pagaruyung dan memukul mundur kaum Padri. Hindia Belanda mendirikan Benteng Van Der Capellen untuk tempat bertahan di sana.

Dilansir dari kompas.com, 11 Mei 2023, bahwa asal muasal Perang Padri tak terlepas dari peristiwa Pagaruyung yang rapat bersama dalam soal agama dan adat dalam praktek.

Dalam rapat yang terdiri dari pemuka adat dan pemuka agama, diketahui oleh penjajah Belanda  lalu memanfaatkan hal tersebut. Memecah belah kaum adat dan kaum agama.

Pada kesempatan itu terjadi beda pendapat pemuka adat dan agama untuk anak kemenakan. Juga judi sabung ayam, dan hukum waris dan Belanda memihak kepada kaum adat dalam menentang kaum agama. Menjadi peluang baik bagi Belanda yang pada sebelumnya Belanda banyak mengalami militer yang mati dalam perang melawan kaum adat. Hampir dua ratus orang serdadu yang menjadi korban perang tersebut.

Buya Hamka dalam buku yang ditulisnya berjudul Dari Perbendaharaan Lama seperti dikutip dari Desyanto (4 Mei 2023) membentangkan juga terjadinya perpecahan antara kaum adat dan kaum agama yang kaum agama dipanggilkan kaum Padri. Hingga perang itu pun dinamakan Perang Padri digelarkan perang Tuanku Imam Bonjol dengan Belanda.

Dikuti dari cetak ulang buku itu menyebut paham kompromi dari Kerajaan Siak berasal dari turunan Arab dari tokohnya bernama Sulaiman Al Jupri. Diketahui Belanda kemudian berunding  dengannya. Belanda setuju maka sang tokoh kompromi itu yaitu Sulaiman Al Jupri mencoba melobi kaum adat. Sayangnya Said Suliaiman Al Jufri itu dibunuh oleh orang mencurigainya.

Kaum adat dijadikan pemimpin bergelar Tuanku yang mau kompromi dengan Belanda. Kaum ulama yang non kompromi diperangi Belanda, kerjasama dengan kaum adat. Padahal yang kaum ulama itu membawa spirit Islam yang maju dan reformis.

Maka menjadi penguasa di Pagarruyung diangkat kaum adat dari pihak Belanda, berpangkat Regent. Itu untuk merealisikan politik Belanda mau mendukung kaum adat. Alhasil selesailah perang di Minangkabau dan Belanda sukses mejalankan politiknya dengan pola memecah belah, memerangi kaum Padri dan menangkap pemimpinnya lalu membuangnya ke Manado, dan politik kompromi dan tidak mengapa urung dilaksanakan.

Catatan kita adalah beda perang Padri dengan daerah lain karena spiritnya berbeda. Jika saja perang Imam Bonjol dimenangkan, maka Islam reformis akan lebih mengemuka nyata. Ketimbang dari kaum adat yang menang.

Meski yang sukses adalah kaum adat, namun spirit reformis Islam tetap nampak. Spirit dari Tengku Sumanik, Tengku Piobang, Tengku Nan Renceh, Tengku Tambusai yang dipimpin Tuanku Imam Banjol kaum Padri tidak lenyap begitu saja. Mereka adalah peletak dari spirit Islam non kompromis demi Islam berkemajuan.

Jakarta, 14 Mei 2023

*) Masud HMN Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles