Rabu, November 27, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sejarah Taman Siswa

Taman Siswa merupakan sekolah yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara. Sang pahlawan pendidikan ini mendirikan sekolah dengan tujuan agar anak-anak bangsa Indonesia bisa mengenyam pendidikan.

Ki Hajar Dewantara berkeyakinan, pendidikan adalah alat mobilisasi politik dan sekaligus sebagai penyejahtera umat.

Dari pendidikan tersebut nantinya akan menghasilkan kepemimpinan anak bangsa yang akan memimpin rakyat, dan mengajaknya memperoleh pendidikan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sarasehan atau diskusi yang diadakan hari Selasa Kliwon menghasilkan gagasan untuk mendirikan sekolah Taman Siswa di Yogyakarta pada 3 Juli 1922.

Peserta diskusi sangat prihatin terhadap keadaan pendidikan pada masa kolonial, di mana sistem pendidikan kolonial mengedepankan hal materialistik, individualistik, dan intelektualistik.

Sistem pendidikan tersebut perlu memiliki lawan tanding yaitu pendidikan yang humanis dan populis, yang memayu hayuning bawana (memelihara kedamaian dunia).

 

Merealisasikan Sekolah Taman Siswa

Untuk membuat sistem pendidikan yang berbeda dari pengajaran kolonial, metode yang dipakai perlu diubah. Yang awalnya menggunakan metode sistem pendidikan “perintah dan sanksi atau hukuman” diubah menjadi pendidikan pamong.

Pendidikan kolonial didasarkan pada diskriminasi rasial yang di dalamnya sudah terdapat pemahaman kepada anak-anak bumiputra yang menderita inferioritas. Kondisi seperti ini harus diubah dari pendidikan model “perintah dan sanksi”. Meskipun pemerintah kolonial sendiri telah menggunakan istilah santun “mengadabkan” bumiputera, tetapi dalam praktiknya cara kolonial yang tidak manusiawi tetap berjalan.

KI Hajar Dewantara kemudian membuat wadah “Nationaal Onderwijs Taman Siswa”, sebuah pendidikan nasional dengan gagasan yang sudah mencakup seluruh bangsa Indonesia.

Menurutnya, pendidikan yang mengena kepada bangsa Timur adalah pendidikan humanis, kerakyatan, dan kebangsaan yang mengarahkannya kepada politik pembebasan atau kemerdekaan.

Model pendidikan yang yang humanis ini diperoleh dengan menggabungkan model sekolah Maria Montessori di Italia dan Rabindranath Tagore di India.

Ki Hajar Dewantara menyebutkan, dua sistem pendidikan yang dilakukan dua tokoh pendidik ini sangat cocok untuk sistem pendidikan bumiputera.

 

Tiga Semboyan Ki Hajar Dewatara

Untuk mengadaptasi dua sistem pendidikan itu Ki Hajar Dewantara menemukan istilah yang harus dipatuhi dan menjadi karakter.

Istilah tersebut dinamai dengan Patrap Guru, atau tingkah laku guru agar menjadi panutan tidak hanya untuk murid tetapi juga untuk masyarakat.

Hal ini kemudian menjadi menjadi pegangan utama pahlawan pendidikan ini dalam menciptakan tiga semboyan yang sangat terkenal, yaitu:

Ing ngarsa sung tulada: Di muka memberi contoh

Ing madya mangun karsa: Di tengah membangun cita-cita

Tut wuri handayani: Mengikuti dan mendukungnya

Perilaku guru Taman Siswa ini diterapkan di semua jenjang Pendidikan TS:

Taman Indria (Taman Kanak-kanak)

Taman Muda (SD)

Taman Dewasa (SMP)

Taman Madya (SMA)

Taman Guru (Sarjana Wiyata)

Hal tersebut merupakan upaya manifestasi resistensi kultural karena berpusat pada sikap yang berlawanan (antitesis) dengan sikap guru dalam pendidikan kolonial. Tut wuri handayani dijadikan motto Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

 

Taman Siswa Terus Berkembang

Sekolah Taman Siswa disambut baik oleh rakyat Indonesia. Hal ini terbukti dengan perkembangannya yang cukup menggembirakan pada tahun 1922-1930 dalam merespons represi pemerintah kolonial.

Dalam kurun waktu tersebut, sekolah Taman Siswa berdiri di berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh hingga Indonesia bagian Timur.

Sebanyak 30 cabang sekolah Taman Siswa (TS) didirikan, dengan Pusat Persatuan Pengurus TS tetap berada di Yogyakarta.

Taman Siswa tetap memegang Azas TS (1922) dan Dasar TS (1947) yang sebenarnya saling berhubungan dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Ki Mangun Sarkara meneruskan cita-cita dan mengaplikasikan gagasan pendidikan TS.

Sayangnya, pendidikan Taman Siswa sudah tidak seperti pada jaman kolonial. Saat ini, TS harus membiayai dana pendidikan sendiri dan orientasi masyarakat sudah berubah karena dana belajar dari masyarakat yang semakin berkurang.

Meskipun demikian, Taman Siswa masih menjadi penggerak sekolah swasta di Indonesia dengan swadaya, swausaha, dan swakelola. Semangat kebangsaan, kerakyatan dan keluhuran pekerti menjadi pegangan budaya Timur tetap terpancarkan dari Taman Siswa. ***

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles