Di balik indahnya hamparan hijau perkebunan teh di tanah Nusantara ini, tersimpan kisah panjang sejak ratusan tahun lalu, hingga menjadi “permata hijau” bagi para petaninya, sampai menjadi sebuah gaya hidup masyarakat.
Kisah ini bermula pada abad ke-17, tepatnya tahun 1684. Seorang dokter dan ahli botani asal Jerman bernama Andreas Cleyer membawa masuk biji teh sinensis yang berasal dari Jepang ke Jawa. Namun, pada saat itu teh tersebut dibawa hanya untuk dijadikan tanaman hias, belum untuk dikonsumsi. Hal ini juga diperkuat oleh pengakuan dari François Valentijn yang melaporkan bahwa dirinya melihat tanaman teh di halaman rumah gubernur jenderal VOC pada tahun 1694.
Dilansir dari Wikipedia, François Valentijn (17 April 1666–1727) adalah seorang misionaris, naturalis dan penulis buku terkenal berjudul Oud en Nieuw Oost-Indiën (“Old and New East-India”), sebuah buku tentang sejarah Dutch East India Company dan negara-negara Timur Jauh.
Sekitar satu abad kemudian VOC mulai membudidayakan teh sinensis dengan mendatangkan bibitnya dari daratan Cina. Sayangnya budidaya ini tidak begitu berhasil. Akhirnya, pada tahun 1826 tanaman teh ini menjadi salah satu koleksi Kebun Raya Bogor. Kemudian, pada tahun 1827 dilakukan penanaman teh sinensis di Kebun Percobaan Cisurupan, Garut, Jawa Barat. Kemudian, penanaman di dalam skala luas dilakukan di Wanayasa (Purwakarta) dan Gunung Raung.
Keberhasilan penanaman teh sinensis di Cisurupan itu mendapat perhatian khusus dari Jacobus Isidorus Loudewijk Levian Jacobson. Ahli teh berkebangsaan Belanda tersebut kemudian mempelopori pembangunan perkebunan teh skala besar di berbagai wilayah Pulau Jawa, pada tahun 1828.
Tak hanya sampai di situ, pada tahun 1930 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal van den Bosch, teh menjadi salah satu jenis tanaman yang masuk ke dalam program cultuurstelsel atau lebih akrab dikenal dengan istilah tanam paksa. Pada masa ini, para petani dipaksa untuk menanam teh di tanah yang telah dibeli oleh pemerintah kolonial. Kemudian, teh yang pada awalnya bukanlah komoditi utama dan cenderung sulit nerkembang, menjadi sangat meledak pada kisaran tahun tersebut. Hal tersebut, akhirnya membuat pemerintah Belanda memutuskan untuk menjalankan sendiri perkebunan teh-nya.
Periode masa ini merupakan awal lahirnya budaya nge-teh di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, hingga saat ini. Pada masa itu, masyarakat Jawa menjadikan minum teh di pagi hari sebagai bagian dari kebiasaan. Namun ironisnya, teh yang mereka minum hanya teh kelas dua, karena teh terbaik dipergunakan untuk diekspor.
Ekspor teh kering olahan dari Jawa ke Amsterdam (Belanda) pertama kali dilakukan pada tahun 1835. Kesuksesan ini disusul dengan swastanisasi perkebunan teh pada tahun 1836. Pada tahun tersebut, perusahaan swasta diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan produksi teh nya sendiri, tidak lagi dalam pengelolaan Pemerintah Kolonial Belanda.
Teh jenis assamica mulai masuk ke pulau Jawa dengan didatangkan langsung dari Sri Lanka (Ceylon) pada tahun 1877. Teh jenis ini ditanam oleh RE Kerkhoven di Kebun Gembung, Jawa Barat. Pada saat itu, Sri Langka memang sudah terlebih dahulu dikenal sebagai salah satu penghasil teh terbaik di dunia.
Ternyata, teh assamica memiliki kecocokan dengan kondisi alam Indonesia, sehingga jumlah produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan teh sinensis. Melihat hal tersebut, secara berangsur tanaman teh sinensis tergantikan oleh teh assamica. Semenjak saat itu, perkebunan teh di Indonesia berkembang semakin luas. Pada tahun 1910 mulai dibangun perkebunan teh pertama di luar Jawa, yaitu di daerah Simalungun, Sumatera Utara. ***