Abdoel Moeis lahir pada 3 Juli 1883 di Sungaipuar, Bukittinggi Sumatera Barat. Beliau merupakan putra ketiga dari Tuanku Laras Sungaipuar. Satu dari kakaknya adalah seorang dokter bernama Arifin yang terkenal sebagai dokter rakyat di Sumatra Barat.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, Sungaipuar merupakan satu wilayah kelarasan (sekarang kecamatan) yang meliputi Sarik, Sungaipuar, Batagak dan Batupalano yang kebetulan menjadi laras adalah ayah dari Abdoel Moeis yang memiliki nama asli Abdul Gani dengan gelar Datuk Sulaiman, setelah menjabat sebagai penghulu adat bergelar Datuk Tumenggung Gadang nan Basa pada tahun 1851-1921.
Abdoel Moeis lahir dari kalangan keluarga bangsawan yang taat beragama Islam, ayahnya di samping sebagai seorang kepala adat dan kepala laras juga termasuk orang kaya karena memiliki perusahaan korek api yang cukup terkenal yang diberi nama “Tuanku Laras Sungaipuar”. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan ulama Islam, yaitu masih ada hubungannya dengan Syekh Ahmad Khatib yakni orang Minangkabau yang menjadi imam di Mekkah.
Dalam perjalanan hidupnya, Abdoel Moeis dikenal menjadi seorang sastrawan, politikus hingga wartawan Nasional Indonesia. Tepat pada hari ini, 17 Juni, tepat 63 tahun silam ia meninggal dunia saat usianya 76 tahun.
Biografi Abdoel Moeis
Sejak kecil Abdoel Moeis dikenal suka berdebat. Di mana hal itu merupakan kebiasaan masyarakat Minangkabau yang dikenal pandai berpantun dan berpepatah. Dari kegemarannya berdebat menjadikannya pandai berpidato, bakan menjadikannya ahli pidato kelas wahid seperti Cokroaminoto.
Kepandaian Abdoel Moeis berpidato menunjang kariernya sewaktu menjadi pimpinan Sarikat Islam. Begitu juga dalam hal tulis menulis beliau dikenal sebagai orang yang pedas dalam perkataan dan tulisannya.
Untuk menyenangkan hati orang tuanya, Abdoel Moeis pernah bekerja sebagai pegawai pada Departemen Agama dan Kerajinan. Namun, ternyata bekerja sebagai pegawai itu tidak menyenangkan hatinya.
Ia bersekolah bukan untuk menjadi pegawai, untuk itu ia berhenti bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Setelahnya Abdoel Moeis bekerja pada surat kabar Preanger Bode di Bandung. Surat kabar itu berbahasa Belanda, dimana pemimpinnya pun orang Belanda.
Jadi Wartawan
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, bahwa setelah berhenti bekerja sebagai pegawai pemerintahan, Moeis mulai tertarik pada bidang kewartawanan. Abdoel Moeis merasa bahwa ia berbakat untuk mengarang.
Mula-mula ia diberi pekerjaan sebagai korektor. Tugasnya ialah mengoreksi naskah agar jangan sampai terjadi salah cetak. Karena tugas tersebut, ia banyak membaca karangan-karangan yang ditulis oleh orang Belanda. Banyak isinya yang menghina bangsa Indonesia. Moeis pun merasa terhina dan kesal.
Perasaan kebangsaan Moeis tersinggung. Perasaan kebangsaan itu sudah tumbuh waktu ia belajar di Stovia. Kepada atasannya diajukannya protes. Tetapi protes-protesnya tidak diindahkan. Maka dari itu, dibuatnya pula karangan-karangan yang berisi pembelaan terhadap bangsanya. Tetapi atasannya tidak mau memuat karangan-karangan tersebut dalam surat kabar.
Abdoel Moeis tidak kehilangan akal. Penghinaan yang ditulis oleh orang Belanda itu harus dibalas, demikian pikirnya ia merasa wajib dan terpanggil untuk martabat bangsanya. Karangan-karangannya dikirimkannya ke surat kabar De Express. Surat kabar tersebut juga berbahasa Belanda dipimipin oleh E.F.E Douwes Dekker, dr. Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryadiningrat.
Douwes Dekker merupakan seorang Belanda peranakan. Tetapi ia merasa dirinya orang Indonesia, bukan orang asing. Kemudian namanya diganti dan terkenal dengan nama Danudirja Setiabudhi. Suwardi Surya Ningrat pun kemudian mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Ketiga orang pemimpin De Express tersebut merupakan orang nasionalis yang tidak menyukai penjajahan Belanda. Tak heran bila karangan-karangan yang dimuat dalam surat kabar De Express banyak membela bangsa Indonesia. Karena itu lah karangan Moeis mereka terima dengan senang hati. Sejak saat itu Abdul Moeis mulai dikenal oleh masyarakat luas.
Pertengkaran Moeis dengan pimpinan Preanger Bode membuat Moeis mengundurkan diri dari surat kabar tersebut. Setelahnya, Moeis menjadi pimpinan redaksi Kaum Muda.
Wafat 17 Juni 1959
Abdoel Moeis menghabiskan masa tuanya di Bandung. Pada 17 Juni 1959 bertepatan dengan Iduladha, Abdul Moeis meninggal dunia saat usianya 76 tahun. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung. Pada saat itu, Abdoel Moeis meninggalkan seorang istri dan 13 anak, dua di antaranya lebih dulu meninggal.
Untuk mengenang jasa-jasanya, Abdoel Moeis diangkat sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Bintang Mahaputera Kelas III berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 218 Tahun 1959 tanggal 30 Agustus 1959.
Sembilan tahun kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada saat itu yakni Mashuri, S.H memberikan anugerah seni kepada Abdoel Moeis sebagai sastrawan Indonesia utama dengan karyanya Salah Asuhan. ***