Kembali mengingat sejarah merupakan hal yang penting dan bisa menjadikan masyarakat lebih sadar dan menghargai perjuangan terutama mengingat sejarah Indonesia.
Salah satu sejarah penting bagi Indonesia yakni pada tanggal 4 Januari 1946, pernah terjadi perpindahan Ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejarah ini menjadi penting lantaran Indonesia yang saat itu sudah merdeka harus tetap berjuang melawan penjajah dengan cara memindahkan ibukota.
Perpindahan ibukota ini diketahui dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghindari situasi yang semakin kacau setelah Belanda berusaha ingin kembali menguasai Jakarta.
Maka dilakukanlah pemindahan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta yang secara de facto dan de yure merupakan bagian wilayah Republik Indonesia dan dianggap lebih aman.
Peristiwa pemindahan Ibukota RI ke Yogyakarta bermula saat kedatangan tentara NICA Belanda yang ingin menguasai kembali wilayah jajahan di Indonesia pada 16 September 1945.
Setelah Jepang menyerah pada Sekutu pada 14 Agustus 1945, sekutu memerintahkan Jepang untuk menjaga status quo kekuasaan di Indonesia sampai kedatangan sekutu ke Indonesia.
Kemudian pada 16 September 1945, tentara sekutu berlabuh di Tanjung Priok Jakarta. Tujuannya adalah melucuti dan memulangkan tentara Jepang serta membebaskan para tawanan perang.
Namun nyatanya, kedatangan sekutu ternyata diboncengi tentara NICA Belanda yang ingin kembali menegakkan kekuasaan jajahannya di Indonesia.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya ketegangan antara rakyat Indonesia dengan Belanda. Saat itu Belanda masih belum menganggap Indonesia merdeka dan masih menjadikan Indonesia sebagai wilayah kekuasaan jajahannya.
Situasi yang semakin bahaya pun turut mengancam Soekarno saat itu. Soekarno bahkan sempat mendapat beberapa kali ancaman dan teror mengerikan.
Akibat peristiwa itu Presiden Soekarno pun tidak luput dari gangguan Belanda, beberapa kali ia mendapat ancaman dan teror. Situasi Jakarta yang semakin memburuk dan tidak menentu akhrinya membuat Presiden Soekarno menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 malam di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta.
Hasil rapat terbatas itu membuahkan sebuah usulan bahwa pemerintah Indonesia sepakat untuk mengendalikan jalannya pemerintahan negara dari lingkup daerah. Saat itu Yogyakarta dipilih menjadi salah satu alternatif pilihan.
Pada saat bersamaan tepatnya pada 2 Januari 1946 Sultan Hamengku Buwono IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan juga menyarankan agar ibukota Negara RI sementara dipindahkan ke Yogyakarta. Tawaran Sultan tentunya diterima oleh Soekarno.
Namun sebelumnya Presiden Soekarno menegaskan kembali kepada Sultan apakah Yogyakarta sanggup menerima pemerintahan RI. Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyanggupi permintaan Soekarno tersebut.
Tak butuh waktu lama, pada 3 Januari 1946, rombongan Soekarno-Hatta dan para menteri kabinet RI dengan menggunakan Kereta Api Luar Biasa (KLB) sekitar pukul 18.00 WIB secara diam-diam meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta sebagai kota tujuan.
Pemberangkatan dimulai dari belakang rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur No. 56. Diketahui pula ada sebanyak 15 pasukan khusus yang disiapkan untuk mengawal para tokoh bangsa.
Selama 15 jam perjalanan, pengawalan serta pengamanan diperketat, akhirnya pada Jumat 4 Januari 1946 sekitar pukul 09.00 WIB rombongan tiba di Yogyakarta dengan selamat.
Setelah pimpinan negara berhasil pindah ke Yogyakarta, pada malam harinya, Wakil Menteri Penerangan RI, Mr. Ali Sastroamidjojo dalam siaran RRI mengumumkan secara resmi pemindahan pemerintahan RI ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946.
Alasan pemindahan ibu kota tersebut dilakukan lantaran keadaan Jakarta yang semakin memburuk dan tidak aman. Terlebih fasilitas di Yogyakarta cukup memadai untuk dijadikan ibu kota sementara, sebab kota ini memiliki sistem pemerintahan yang telah terorganisir cukup baik.
Disamping itu pula, secara de facto dan de jure Yogyakarta merupakan wilayah kedaulatan RI. Dengan demikian, sejak tanggal 4 Januari 1946, Yogyakarta resmi menjadi ibukota Indonesia. Presiden kemudian berkantor di Gedung Agung yang terletak di seberang bekas benteng Kompeni Vredeburg.
Sebagai informasi tambahan setelah perjanjian KMB dan pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda, pada tahun 1949 ibukota Indonesia akhrinya kembali lagi ke Jakarta. ***