Jakarta, Demokratis
Megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) menjadi salah satu sorotan dalam Dialog Terbuka Muhammadiyah Bersama Calon Pimpinan Bangsa yang digelar pada 22 hingga 24 November 2023 di tiga lokasi kampus Muhammadiyah, yaitu di Surakarta, Jakarta, dan Surabaya. Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan mengisyaratkan ketidaksetujuannya terhadap kelanjutan pembangunan IKN.
Pandangan capres yang diusung Koalisi Perubahan itu terhadap IKN saat ini berbeda dengan sebelum ditetapkan sebagai capres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Senin (13/11/2023). Pada Juli lalu, dalam Rakernas XVI Apeksi yang digelar di Makassar, Sulawesi Selatan, Anies yang ditanya soal IKN mengaku heran kenapa masalah IKN selalu menjadi pertanyaan dalam banyak kesempatan. “Jangan-jangan ini menjadi pertanyaan besar dalam alam bawah dasar kita semua,” kata Anies.
Dengan diplomatis, Anies kemudian menjawab dengan menahan senyum. “Sesuatu yang direncanakan dengan baik, memiliki dasar yang kuat, dia tidak perlu ‘otot’ politik untuk bisa dilakukan,” katanya.
Anies menyebut seorang pemimpin dalam menentukan suatu kebijakan haruslah dilandasi dasar yang kuat serta niatnya baik untuk rakyatnya. “Dan, hasilnya akan menggelinding. Dengan sendirinya akan menggelinding,” sambung Anies.
Sebaliknya, jika sebuah kebijakan dari seorang pemimpin tidak memiliki dasar yang kuat dan tidak jelas siapa yang mendapat manfaat dari kebijakan itu, maka perlu kerja keras yang disimbolkan dengan otot politik. “Jadi, bila (IKN) ini rencana yang baik maka akan jalan terus,” ujar Anies.
Kini, saat ditanya soal IKN dalam Dialog Terbuka Muhammadiyah, Anies menjawab dengan lugas dan juga tegas. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga menjelaskan terlebih dahulu apa tujuan di balik pembangunan ibu kota baru ini.
“Ketika tujuan membangun kota baru dan ibu kota baru adalah dengan alasan pemerataan, maka itu tidak menghasilkan pemerataan yang baru. Mengapa? Karena itu akan menghasilkan sebuah kota baru yang timpang dengan daerah-daerah yang ada di sekitarnya,” tutur Anies.
Anies menekankan, jika pemerintah memang ingin pemerataan Indonesia, maka seharusnya mulai membangun kota kecil menjadi kota menengah, kemudian dari kota menengah menjadi kota besar di seluruh wilayah Indonesia.
“Bukan hanya membangun satu kota di tengah-tengah hutan, karena membangun satu kota di tengah hutan itu, sesungguhnya menimbulkan ketimpangan yang baru,” kata Anies.
Bahkan dirinya menyinggung tujuan pembangunan IKN dengan langkah yang dikerjakan, seakan tidak nyambung. “Nah, kami melihat di sini problem, karena itu harus dikaji secara serius, karena tujuan kita Indonesia yang setara, Indonesia yang merata. Tapi menurut kami, langkahnya bukan dengan membangun satu kota, tapi justru dengan membesarkan semua kota yang ada di seluruh Indonesia,” ujar Anies, membeberkan.
Anies dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta pada Rabu (8/11/2023) menjelaskan empat konsep perubahan yang diusungnya. Yaitu ketika berbicara “change” (perubahan), bukan menghentikan atau mengubah. Tetapi, empat pertanyaan yang harus dijawab. Pertama, apa yang harus ditingkatkan. Kedua, apa yang harus dikoreksi dari yang dikerjakan sekarang. Ketiga, apa yang hal yang dihentikan dari hal yang dikerjakan sekarang. Keempat, apa hal baru yang harus dimasukan.
Analis politik dari Trust Indonesia Research and Consulting Ahmad Fadhli mencermati Anies memang serius mengusung narasi perubahan sebagai identitas atau pembeda politik yang dimilikinya. Sebab, secara politik, banyak segmen pemilih yang mungkin tidak puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo.
Dalam teori politik, kata Fadhli, pemilu menjadi salah satu mekanisme terbaik untuk ‘menghukum’ pejabat publik yang dianggap kurang berkinerja baik. “Karena itu, dengan mengusung narasi perubahan, Anies ingin mendapatkan dukungan dari segmen pemilih yang memang berharap adanya perubahan,” ujar Fadhli di Jakarta, Minggu (26/11/2023).
Soal Anies yang lebih berani dan lugas dalam mengkritik proyek IKN setelah penetapan Capres, menurut Fadhli, tentu harus dimaknai secara politis. Bukan hanya terkait posisinya yang sudah aman sebagai ‘calon presiden’ melainkan juga sebagai bagian dari propaganda politik untuk meraih simpati dan dukungan politik dari pemilih.
Adapun terkait empat pengertian visi perubahan yang disampaikan Anies, Fadhli menilai tentu saja cukup komprehensif. “Saya kutip sejumlah kata kunci dari empat visi perubahan Anies tersebut, yaitu peningkatan, pengkoreksian, penghentian, dan tentu masukan untuk hal baru,” tuturnya.
Secara politis, dalam pandangan Fadhli, empat visi perubahan tersebut memaknai perubahan dengan sempurna. Maksudnya, tidak ada perubahan tanpa upaya korektif, menghentikan sesuatu, memasukkan sesuatu dan ikhtiar untuk meningkatkan kehidupan.
“Visi perubahan itu, bagi saya, cukup memberi penegasan bahwa Anies memang tidak serampangan mendorong perubahan.”
Ia menambahkan agenda perubahan yang didorong Anies tentu saja tidak sepenuhnya mengubah total arah pembangunan yang sudah dilakukan Presiden Joko Widodo, melainkan untuk menyempurnakan arah pembangunan dengan mengubah tatanan operasional yang mungkin sudah melenceng. (EKB)