Tersebutlah pada tahun 1975 di Jalan Mahoni Tanjung Priok Jakarta Utara, nama Danu M Hasan sebagai orang tua dari Hilmi Aminuddin sebagai pendiri Partai Keadilan, yakni cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan tokoh eks Negara Islam Indonesis (NII) lainnya. Mereka mengadakan pertemuan antar eks NII dari Sumatera, Jawa dan Sulawesi.
Mereka menyepakati berdirinya kembali Daarul Islam (DI) Gaos Taufik dari Sumatera Utara menjadi Komandan Militer Utama, Ale A.T. Dari Sulawesi Selatan memegang Hubungan Luar Negeri, Adah Djaelani, Aceng Kurnia, Dodo M Darda alias Abu Darda, dia anak S.M. Kartosoewirjo, bersama-sama menjabat Menteri Dalam Negeri. Sedang Danu M Hasan, menjabat Komandan Militer Jawa Barat, sementara pimpinan tertinggi diserahkan kepada Tengku Daud Beureuh.
Pada tahun 1978 Tengku Daud Beureuh ditangkap aparat, sejak saat itu para kombatan bergerak tanpa Kepemimpinan Tunggal. Diketahui NII memiliki 7 Komandemen Wilayah (KW) yang meliputi, KW 1 Wilayah Priangan Utara, KW 2 JawaTengah, KW 3 Jawa Timur, KW 4 Kalimantan, KW 5 Sulawesi, KW 7 Wilayah Priangan Selatan.
Pada tahun 1979 Adah Jaelani, mengangkat dirinya sebagai Imam NII, kemudian mereorganisasi jamaah dan  menambahkan 2 KW lagi, yaitu KW 8 Lampung, KW 9 Jakarta, Bekasi, Tangerang, dan Benten.
Adah Djaelani adalah tokoh NII Fisabilillah, yang banyak mendapat fasilitas dari rezim Orde Baru (Orba), walaupun akhirnya dianggap musuh oleh rezim Orba.
Kemudian Abu Karim Hasan memimpin KW 9 pada tahun 1984 hingga tahun 1992, dan setelah itu dipimpin oleh Rais Ahmad pada tahun 1992-1996. Pada tahun 1981 Adah Djaelani ditangkap aparat, lalu kepemimpinan organisasi tidak terkendali.
Pada tahun 1987 Ajengan Masduki, diangkat menjadi Imam, tetapi loyalis Adah Djaelani dan tokoh tokoh NII lainnya tidak terima dan menimbulkan perpecahan di antara mereka, sehingga Ajengan Masduki menggandeng Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, kader dari Jawa Tengah yang direkrut oleh H. Ismail Pranoto yang kemudian Ajengan Masduki memiliki jaringan kuat di wilayah Purwokerto, Surakarta, Subang, Cianjur, Jakarta, dan Lampung.
Sementara faksi lainnya, seperti Atjeng Kurnia, dia bekas ajudan S.M. Kartosoewirjo, yang menguasai jaringan wilayah Bogor, Serang, Purwakarta, Subang. Lalu si Abdul Fatah Winagapati, yang bekas pejabat Kuasa Usaha Komandement Tertinggi (KUKT) menguasai jaringan wilayah Garut, Bandung, Surabaya, Kalimantan. Sedangkan Gaos Taufik menguasai jaringan wilayah Pulau Sumatera.
Pada tahun 1994 Adah Djaelani bebas dari penjara, dan pada tahun 1996 Adah Djaelani membaiat Abu Toto alias Panji Gumilang sebagai Imam penggantinya, sekaligus Pimpinan KW 9, yang pusatnya di Ma’had Al Zaytun di Indramayu Jawa Barat, walaupun mendapat tantangan dari Dodo M Darda dan Tahmid R Basuki sebagai putra dari S.M. Kartoewirjo dan untuk catatan, walaupun wilayah Garut menjadi wilayah yang dikuasai Abdul Fatah Wiranagapati, akan tetapi Adah Djaelani memiliki binaan dan menjalin hubungan dengan tokoh tokoh NII Fisabililah di wilayah Garut Selatan yang sekarang dikenal masyarakat sebagai Kelompok NII Islam Baiat. Kiprah Abu Toto alias Panji Gumilang semakin berkibar, seiring pamor Ajengan Masduki yang redup, ini akibat pecah kongsi dengan Abdullah Sungkar karena berbagai alasan.
Dari Malaysia Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mendirikan Jamaah Islamiyah, konsep itu menjiplak organisasi jihadis di Mesir bentukan Umar Abdurrahman, setelah sebelumnya pada tahun 1983 Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir ditangkap dan dipenjara karena menghasut masyarakat untuk mengharamkan menghormat Bendera Merah Putih, tetapi pada tahun 1985 Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir mengajukan kasasi dan dikenakan tahanan rumah, dan di tahun itu pula Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir berhasil melarikan diri ke Malaysia. Diketahui pula bahwa Jamaah Islamiah (JI) banyak berhubungan dengan organisasi Terorist Al Qaeda, serta mengirim kader-kadernya Diklat Militer ke Afghanistan, alumninya kemudian menggegerkan dunia dengan rentetan teror diantaranya Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom di Hotel JW Marriot, Bom Kedubes Australia, dan aksi-aksi teror lainnya.
Tapi pamor Ajengan Masduki tidak sepenuhnya mati, pada tahun 2000 mereka berkumpul di Yogyakarta mendeklarasikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Abu Bakar Ba’asyir yang kembali ke Indonesia pada tahun 1999 setelah melarikan diri dari Malaysia, diangkat menjadi Amir MMI karena dianggap paling senior. Pada fase Reformasi 1998, ada bukti konkret bahwa Komando Jihad (Komji) sebutan Kelompok NII Fisabililah di era Orba. Walaupun kelompok NII sendiri tidak mengakui adanya Komji, tapi tidak diberantas habis. Kivlan Zein, tangan kanan Pangkostrad Prabowo Subianto saat itu, mengaku membentuk milisi bersenjata tajam yang dinamai Pam Swakarsa yaitu Pengamanan Masyarakat Swakarsa atas perintah Pangab – Menhankam Wiranto. Tugasnya menghadang aksi mahasiswa. Komposisinya dari kumpulan Ormas Pemuda Islam pro Orba, di antaranya Front Pembela Islam (FPI), Brigade Hizbullah, dan Furkon. FPI yang didirikan oleh Habib Riziek akhirnya dibubarkan pada tahun 2020.
Pasca Reformasi pula, Faksi Sulawesi Selatan loyalis Kahar Muzakkar bernaung di bawah gerakan Komite Penegakan Syariat Islam (KPSI) salah satu tokoh nya Azis Qahhar Mudzakar putra pendiri DI – TII di Sulawesi Selatan. Azis Qahhar Mudzakar adalah petinggi ormas Hidayatullah. Ormas ini didirikan pada tahun 1973 oleh Abdullah Said, pengagum Kahar Muzakkar, yang bergerak di bidang media, yaitu Majalah Hidayutullah, dahulu itu majalah Islam dengan oplah terbesar, Fadli Zon politisi Gerinda pernah menjadi jurnalis di majalah ini.
Di Lampung aksi NII dilancarkan oleh kombatan Abdul Qadir Baraja, pada tahun 1977 Abdul Qadir Baraja memimpin serangan ke Pos Polisi untuk merebut senjata. Dia akhirnya ditangkap dan dipenjara di Lampung, namun berhasil memimpin pemberontakan di dalam penjara, yang meloloskan semua napi kabur dari penjara. Abdul Qadir Baraja baru tertangkap dan dipenjara lagi setelah ia terlibat pengeboman Candi Borobudur pada tahun 1985 dan bebas pada tahun 2000. Begitu bebas, ia mengadakan Muktamar Khilafatul Muslimin di Jogjakarta yang meneguhkan dirinya sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin, umat Islam sedunia.
Setelah lengsernya Soeharto, budidaya ternak jihadis tetap santer dari rezim ke rezim walaupun tidak dijalankan oleh rezim, ternak jihadis menjadi kumpulan freelancer yang menclok dari majikan ke majikan lain dan terkesan sayang kalau diberantas tuntas karena terlalu bermanfaat bagi elit tertentu, tapi di sisi lain mereka sedang mencari siapa imam atau pemimpin tunggal sejati. Setelah Ajengan Masduki tiada,  Abu Bakar Ba’asyir sudah terlalu tua untuk dijadikan imam atau pemimpin tunggal. Sedang Adah Djaelani telah menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Abu Toto alias Panji Gumilang. Tetapi banyak mendapat tantangan dan melakukan berbagai soal kontroversial, berbagai faksi bermunculan, sel sel baru telah terbentuk, tetapi mereka tak henti-hentinya melakukan berbagai cara untuk mencari sosok pemimpin atau imam tunggal, seperti proses sebelumnya pengangkatan Abu Bakar Ba’asyir menjadi Amir MMI, karena dianggap paling senior. Pengangkatan Habib Riziek Shihab sebagai Imam Umat Islam, lalu penetapan Abdul Qadir Baraja sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin Umat Islam se-Dunia, itu semua hanya tes gelombang, untuk menjaring imam atau pemimpin tunggal sejati. (Dari berbagai sumber)