Jakarta, Demokratis
Belum lama ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersikap positif meminta masyarakat untuk aktif melontarkan kritik terhadap pemerintah, namun sejumlah aktivis dan tokoh politik malah mencibir dan nyinyir di media sosial. Tak sedikit yang mengklaim takut ketika akan menuliskan kritik terhadap pemerintah.
Mereka yang sinis mengaku merasa terancam dengan adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan buzzer. Bahkan, banyak yang menuding pemerintah bisa menahan para pengkritik dengan memanfaatkan UU ITE.
Namun faktanya, tak pernah sekalipun Presiden Jokowi ataupun keluarganya menggunakan UU ITE untuk melaporkan seseorang, sekalipun banyak fitnah dan ujaran kebencian di media sosial yang dialamatkan kepadanya.
Hal ini dikemukakan Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Prof Henry Subiakto saat berbincang di kanal Youtube Karni Ilyas Club, yang dilansir pada Rabu, 17 Februari 2021. Henry menyebut UU ITE bukan didesain agar pemerintah bisa mengekang para pengkritik yang vokal di media sosial.
Buktinya, Presiden Jokowi sama sekali belum pernah menggunakan UU ITE untuk menyeret seseorang ke meja hijau. “Saya belum pernah menemukan Undang-undang ITE dipakai oleh Presiden. Presiden belum pernah menggunakan UU ITE untuk melaporkan seseorang,” katanya.
Menurutnya, UU ITE malah kebanyakan dimanfaatkan oleh pihak-pihak di luar pemerintah. “Saya melihat memang UU ITE ini banyak dimanfaatkan untuk konflik-konflik yang terjadi,” ucap Henry.
Staf Ahli Kemenkominfo itu mengaku sering turun tangan untuk membantu masyarakat yang terlibat dalam kasus-kasus UU ITE. “Saya kadang-kadang juga diminta oleh SAFEnet, bukan kepolisian yang minta, justru para aktivis,” ujar Henry.
Kendati demikian, Henry Subiakto juga tidak menampik kalau ada pejabat-pejabat di daerah yang memanfaatkan UU ITE ini ketika berkonflik. “Ada mantan anggota DPRD sama ibu lurah, ada tokoh-tokoh di tingkat elit,” ucap Henry.
Dijelaskannya, pengguna media sosial cenderung sensitif dan agresif. Akibatnya, muncul banyak konflik yang kemudian membawa-bawa UU ITE. Henry menyimpulkan salah persepsi menjadi persoalan utama dari UU ITE, bukan soal pengekangan kebebasan berpendapat. (Red/Demokratis)