Oleh Es Tarigan
Revolusi industri Amerika, dalam pengamatan Norman Ware, menciptakan “salah satu catatan penting kehidupan Amerika” pada tahun 1840-an dan 1850-an. Sedangkan, hasil akhirnya mungkin “cukup menyenangkan dari kacamata dunia moderen, tetapi secara mengherankan bertentangan dengan sebagian besar masyarakat Amerika”. Ware juga mengulas kondisi kerja mengerikan yang dibebankan kepada perajin dan petani yang sebelumnya tergolong mandiri serta “para gadis pabrik”, perempuan muda dari sekstor pertanian yang bekrja di pabrik tekstil di sekitar Boston. Namun, fokus utamanya adalah ciri yang lebih mendasar dari revolusi yang terus berlasung, bahkan ketika kondisi tertentu sudah diperbaiki lewat perjuangan yang penuh dedikasi selama bertahun tahun.
Ware juga menekankan “kemrosotan yang diderita oleh pekerja industri”, hilangnya “status dan kemandirian” yang telah menjadi harta mereka yang paling berharga sebagai warga negara bebas dari republik ini. Sebuah kerugian yang tidak dapat dikompensasikan, bahkan oleh peningkatan pendapatan. Dia menelaah dampak buruk “revolusi sosial (kapitalis radikal) ketika kedaulatan dalam urusan ekonomi dialihkan masyarakat secara keseluruhan ke dalam pengawasan kelas khusus” penguasa, sebuah kelompok “asing bagi para produsen” dan umumnya tidak terlibat sedikitpun dalam proses produksi. Dia menunjukan bahwa “di setiap bentuk protes terhadap industri mesin, dapat ditemukan seratus kali lipat perlawanan terhadap kekuatan baru produksi kapitalis dan otoritas yang mengaturnya”.
Para pekerja melakukan aksi mogok bukan sekedar demi sepotong roti, melainkan setangkai mawar-meminjam selogan buruh tradisional. Mereka memperjuangkan martabat dan kemerdekaan, pengakuan atas hak hak mereka sebagai laki-laki dan perempuan bebas. Mereka menerbitkan media yang dinamis dan independen, ditulis dan diproduksi oleh buruh yang bekerja keras di pabrik. Dalam tulisan-tulisannya, mereka mengecam “ledakan pengaruh prinsip monarki di negeri yang demokratis”. Mereka menyadari bahwa serangan terhadap hak asasi manusia yang elementer ini tidak akan dapat diatasi sampai “mereka dapat bekerja di pabrik-pabrik milik sendiri”, dan kedaulatan kembali ke tangan para produsen yang merdeka. Sehingga, kelompok perkerja tidak akan lagi menjadi “pembantu atau pekerja rendahan dari tuan lalim yang tidak dikenal, (pemilik yang tidak hadir), budak dalam pengertian (orang) yang bekerja keras untuk tuan mereka”, sehingga, mereka akan mendapatkan kembali statusnya sebagai “warga negara Amerika Serikat yang merdeka”, (kecuali dinyatakan lain, bahan-bahan sebulumnya dikutip dari Ware, The Industrial Worker 1840-1860.
Revolusi kapitalis melembagakan perubahan penting dari harga menjadi upah. Ketika produsen menjual produknya untuk sebuah harga Ware menuliskan, “dia tetap memiliki dirinya sendiri. Namun, ketika dia datang untuk menjual tenaganya, dia sudah menjual dirinya sendiri”, dan kehilangan martabatnya sebagai pribadi karena menjadi “budak-budak upah”, istilah yang umum digunakan. Buruh upahan dianggap mirip dengan budak yang dimiliki seorang tuan, meskipun berbeda dalam hal kesementaraannya-secara teori. Pemahaman ini tersebar luas sampai sampai menjadi slogan partai republik, yang dianjurkan oleh tokohnya yang paling menonjol, Abraham Lincoln. (Lincoln, A. “Frist Anmual Message”. 3 Desember 1861. Dipublikasi secara online oleh Peters, G., & Woolley, J.T. The American Presidency).
Konsep bahwa usaha produktif harus dimiliki oleh tenaga kerja merupakan perihal yang umum di terima pada pertengahan pada abad ke-19. Bukan hanya diterima oleh Karl Marx dan kelompok kiri, melainkan juga oleh tokoh liberal klasik yang paling meonjol dari masa itu, John Stuart Mill. Mill nyatakan, “bagaimana pun, bentuk asosiasi yang perlu terus ditingkatkan manusia, yang harus menjadi kekuatan utama adalah… asosiasi buruh dalam hal kesetaraan, secara kolektif memili modal yang digunakan dalam pekerjaan mereka dan bekerja di bawah manajer yang dapat dipilih dan diganti oleh mereka sendiri”. (Mill, J.S, 1852. Principles of political economy with some of their applications to sociual philosophy, edisi ke-3, London : John W, Parker).
Konsep ini memang memiliki akar kuat dalam cara pandang yang menjiwai pemikiran liberal klasik. Ini langkah kecil untuk menghubungkannya dengan kontrol lembaga lain dan masyarakat secacara keseluruhan dalam kerangka asosiasi bebas dan organisasi federal, dengan pola umum berbagai pemikiran yang tercakup di dalamnya, beserta sekian tradisi anarikis dan marxisme anti-Bolshevik, juga sosialisme perserikatan G.D.H. Cole dan kajian teoritis lainnya yang berkembang belakangan ini. (Cole G.D.H, 1921. Guild socialism: A plan for Economic Democracy. New York: Fredrick A. Stokes Company). Dan, yang signifikan, itu mencakup tindakan para pekerja di berbagai bidang kehidupan yang berusaha memegang kendali atas hidup dan nasib mereka.
Untuk mengikis berbagai doktrin subversif ini, “tuan dari umat manusia” perlu mencoba mengubah sikap dan keyakinan yang menghidupinya. Seperti disebutkan Ware, aktivis buruh mewaspadai “semangat baru abad ini: memperoleh kekayaan, melupakan semua kecuali diri sendiri”-pepatah keji dari para tuan yang secara alami akan dibebankan kepada kaula mereka, dengan pengetahuan bahwa mereka akan mampu mendapatkan sedikit dari kekayaan yang ada. Sebagai reaksi tegas atas pandangan yang merendahkan ini, berkembang gerakan buruh dan petani radikal, yang merupakan gerakan demokrasi paling signifikan dalam sejarah Amerika, atas nama solidaritas dan upaya saling membantu sesama. (Goodwyn, L. 1978. The Populist Moment: A Short History of The Agrarian Revolt in America. New York: Oxford University Press). Mereka kalah, umumnya karena desakan kekuasaan. Meski mengalami kemundurun, tetapi pertempuran tidak juga tampak akan selesai. Terkadang berbentuk refresi kekerasan yang acak terjadi, dan upaya masif untuk menanamkan pepatah keji dalam pikiran masyarakat, memanfaatkan sumberdaya sistem pendidikan, industri periklanan,dan lembaga propaganda lain yang dikerahkan untuk menjalankan tugas itu.
Ada hambatan serius yang harus diatasi dalam perjuangan mencari keadalin, kebesan, dan martabat. Bahkan, hambatan ini melampaui perang kelas yang sengit, yang tanpa henti dilancarkan dunia bisnis yang sangat sadar kelas dengan “dukungan utama” dari pemerintah, yang sebagian besar mereka kontrol. Norman Ware juga membahas beberapa ancaman berbahaya sebagaimana di pahami oleh para pekerja. Dia mengulas pemikiran para pekerja terdidik di New York dari masa 170 tahun silam, yang menegaskan pandangan umum bahwa upah harian merupan bentuk perbudakan. Dia juga memperingatkan dengan jeli bahwa akan datang sewaktu masa ketika budak upahan “akan melupakan apa artinya keberanian dan kemuliaan dalam sistem yang paksakan kepada mereka lewat kebutuhan mereka dan bertentangan dengan perasaan mereka soal kemerdekaan dan harga diri”. (Ware. The Industrial Worker 1842-1860). Mereka berharap hari atau fenomena seperti itu masih “sangat jauh”.
Akan tetapi, kini tanda tanda tersebut sudah lazim di temukan. Toh, tuntutan atas kemerdekaan, harga diri, martabat pribadi, dan kendali atas pekerjaan dan kehidupan sendiri, seperti “hantu tua Karl Marx”, terus merangsek keluar dari permukaan tanah. Siap untuk hadir kembali ketika dibangkitkan oleh keadaan dan aktivisme militan. Situasi sejarah di Amerika di tahun 1920 tersebut, hampir serupa dengan yang terjadi di negara Republik Indonesia saat ini, dengan dibuatnya RUU Omnibus law, yang artinya, adalah regulasi atau Undang-Undang (UU) yang mencakup berbagai isu atau topik, dan secara harfiah, definisi Omnibus Law adalah hukum untuk semua. Istilah ini berasal dari bahasa latin, yakni Omnis yang berarti ‘untuk semua’ atau Bus ‘banyak’. Menurut, (Bryan A Garner, dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan: “Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes”).
Artinya, Omnibus Law berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau hal sekaligus, dan memiliki berbagai tujuan. Jadi, skema regulasi yang sudah dikenal sejak 1840 ini, merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja. Bisa disimpulkan bahwa omnibus law adalah UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen beberapa UU sekaligus. Istilah ini disebut Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya pada Oktober 2019 silam. Jokowi menyebutkan bahwa Omnibus Law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Pemerintah juga meyakini Omnibus Law akan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional. Omnibus Law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Omnibus Law rencananya akan menyelaraskan 82 UU dan 1.194 pasal.
Alasan pemerintah membuat Omnibus Law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat. Tak jarang, satu regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik, serta kemudahan berusaha. Sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mencatat, dalam periode 2014 hingga Oktober 2018, pemerintah telah menerbitkan 8.945 regulasi. Terdiri dari 107 Undang-Undang, 765 Peraturan Presiden, 7.621 Peraturan Menteri, 452 Peraturan Pemerintah. Noam Chomsky, https://www.online-pajak.com/omnibus-law. (suwarnotarigan1@gmail.com).