Selasa, November 26, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Sjamsul Nursalim dan Itjih SN Ketiban Berkah Revisi UU KPK

 

Orang-orang hebat itu tidak punya air mata. telunjuk mereka bisa menodong siapa saja. bahkan bisa ditodongkan kesiapapun yang mereka suka. tak ada keraguan baginya. semua akan aman-aman saja. di hutan belantara, hukum kausalitas alam semesta hanya untuk memangsa lawan jenis semata. bagi orang-orang hebat tidak berlaku baginya.

Orang-orang hebat itu tidak punya air mata. kematian dan darah tak berharga baginya. nyawa bisa ditaksir dalam hitungan jari jemari mereka. isu yang menerpa gampang dilempar ke ruang hampa. biarkan mereka bertengkar wacana dan bertikai hasil survei yang dibuat untuk memperkeruh suasana.

Orang-orang hebat itu tidak punya air mata. bisa membuka brangkas negara kapan saja. tidak peduli dengan air mata yang menggenang. keringat dan air mata jelata keuntungan bagi mereka. begitu pula dengan bencana. mereka justru bisa berpesta pora. riang gembira. gegap gempita. walau di tengah tumpukan sampah anak-anak memanggul beban di pundak dan di kepalanya. menatap langit kelam.

Orang-orang hebat itu tidak punya air mata.  mereka lahir dari air mani ketamakan bin kerakusan bin kebringasan bin keberhalaan. sang rahim tak kuasa untuk berbuat apa. setelah aqil baleg air matanya membeku minus seratus derajat celcius. apalagi mereka yang terlahir dari rahim pelacuran bersama gelas-gelas piala yang memabukkan. tak punya air mata bawaan. (0’ushj.dialambaqa: Sajak: Orang-Orang Hebat Itu Tidak Punya Air Mata, Singaraja, Akhir Maret-Awal April 2021).

Orang hebat itu, antara lain bernama Sjamsul Nursalim (SN) dan Itjih Sjamsul Nursalim (ISN; Itjih adalah istri SN)) pemilik BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia). Status tersangkanya oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), dan kini dinyatakan  harus dihentikan. KPK mengumumkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara) pada Kamis, 31/3/2021 untuk atas nama tersangka kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) SN dan ISN  (Alexander Marwata,  di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis 31 Maret 2021).

Problem BLBI adalah problem benang kusut. Sejak awal tahun 1998, negara mengeluarkan Rp 320 triliun untuk 54 Bank Swasta , yang kembali kepada negara hanya 8,5%  atau Rp 27,2 triliun (Donal Pariz ICW:, diskusi publik vonis bebas MA Syafruddin Temenggung, Rabu, 31/7/2019).

SN dan ISN dengan BDNInya kebagian jatah kue BLBI sebesar sebesar Rp 47,2 triliun (Harian KOMPAS, 11/6/2019).  Pada September hingga Desember 1997 sebesar Rp 10 triliun (kesaksian Iwan Ridwan Prawiranata di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis, 21/6/2018 untuk terdakwa mantan Kepala BPPN  (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT), yang didakwa atas kasus penerbitan SKL BLBI (Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuidasi Bank Indonesia) yang merugikan negara  sekitar Rp 4,58 triliun.

Kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun itu adalah hasil dari audit investigatif yang dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI, yang dijadikan dasar oleh KPK dalam mentersangkakan pemilik BDNI tersebut. Audit investigatif BPK juga mengahsilkan temuan bahwa 95% dana tersebut diselewengkan . Pemilik BDNI memiliki kekayaan pada tahun 2020 sebesar 775 juta dollar AS atau setara Rp 11,25 triliun dengan kurs Rp 14,525,00 (Kompas.com, Jum’at, 2/4/2021.00.00 WIB).

Kok  Bisa SP3 Ya?

Setelah Istana sukses menggoalkan revisi UU KPK (UU No. 19 tahun 2019 tentang KPK), maka KPK mempunya legitimasi kuat untuk menerbitkan SP3, dengan alasan “Penghentian penyidikan ini sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK, yaitu ‘Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum’ dan  Penghentian penyidikan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU KPK (Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers, Kamis (1/4/2021).

Alasan pengkuat lainnya, “Dengan mengingat ketentuan Pasal 11 UU KPK ‘Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.” KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi sedangkan tersangka SN dan ISN berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan SAT selaku penyelenggara negara maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara atas nama tersangka SN dan ISN tersebut.”

Alasan tidak terpenuhi itu tersebut berdalil dengan: “Putusan MA atas kasasi Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 dengan terdakwa SAT menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging),” (Alexander Marwata,  Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis 31 Maret 2021).

Jika kita saripatikan alasan pokok KPK menerbitkan SP3 untuk SN  dan ISN, yaitu dengan alasaan, pertama adalah karena  pasal 40 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK “dapat” “mengehentikan penyidikan perkara.” Kedua adalah karena demi “kepastian hukum.” Ketiga adalah karena SAT diputus onslag van alle rechtsvervolgin pada kasasi MK.  Keempat adalah pengajuan PK KPK ditolah MA, dan kelima perkara SN dan ISN sudah lebih dari 2 tahun.

Frasa kata “dapat” oleh KPK ditafsirkan dan atau dimaknai sebagai “kata yang liar”, sehingga atas keliaran kata “dapat” itu lantas tafsir KPK dengan memaknai kata “dapat” tersebut secara sporadis, dengan menggunakan kewenangan yang melekat padanya secara institusional, sehingga KPK kemudian atas kewenangan tersebut mengambil kebijakan dan memutuskan  menerbitkan SP3 untuk SN dan ISN.

KPK menafikkan filosofis kata “:dapat” pada konteks Kebenaran Material  dan Keadilan Yang Beradab. Keliaran makna kata “dapat,” seharusnya keabsolutan kata “dapat” dalam kewenangan tersebut harus tunduk dan atau harus menjadi kepatuhan kepada maka kata “kebenaran material” dan “keadilan yang beradab” untuk dan atau demi kepastian hukum. Bukan dimaknai kata “dapat” tersebut sebagai keharusan menerbitkan SP3 karena sudah 2 tahun lebih perkaranya dalam penyelidikan dan atau penyidikan KPK. Kata “dapat” tidak harus tunduk pada makna kata “kewenangan.” Yang dimiliki KPK.

Mengapa? Karena kebenaran materialnya adalah bahwa Negara telah kehilangan dan atau telah adanya kerugian negara dari kebijakan mengucurkan dana talangan BLBI, yang di antaranya, negara telah kehilangan dana (uang) sebesar Tp 4,58 triliyun lebih yang dikucurkan kepada SN dan ISN sebagai pemilik BDNI. Negara telah kehilangan uangnya tersebut bukan karena asumsi atau halusinasi atau hal yang ilusif, melainkan hasil audit investigatif yang dilakukan oleh BPK.

BPK adalah lembaga yang berwenang dan atau ditunjuk oleh negara (dengan kostitusi) untuk membuktikan adanya uang negara yang hilang karena disalahgunakan oleh SN dan ISN dan atau BDNI, dimana BDNI mendapatkan kucuran BLBI sebesar Rp 37.039.767.000.000 pada 29 Januari 1999. Selain itu, ada juga BLBI yang disalurkan ke BDNI dalam periode sesudah tanggal 29 Januari 1999 sampai dengan 30 Juni 2001 berupa saldo debet dan bunga fasilitas saldo debet sebesar Rp 5.492.697.000.000, bukan hanya tidak memenuhi kewajibannya yang dikeranakan dengan alasan BDNI tidak tertagihnya kredit yang disalurkan  kepada Petani Tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).

SP3 dengan alasan demi “kepastian hukum” tersebut, KPK merujuk penuh pada putusan kasasi MA terhadap SAT dan atas putusan ditolaknya mengajuan PK KPK oleh MA. Padahal, putusan kasasi MA SAT yang menyatakan “onslag van alle rechtsvervolging.”  Pembacaan tafsir itu, pertama, bisa ansich pada SAT. Kedua, SN dan ISN belum disidangkan atau belum ada vonis atau belum ada kekuatan hukum tetap, statusnya masih tersangka.

Yang menyatakan bersama-sama itu adalah putusan Pengadilan tingkat pertama dan banding, dan ketiga, jika kita mencermati alasan dengan  Putusan MA RI atas Kasasi SAT Nomor : 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 09 Juli 2019 dengan terdakwa SAT yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), ternyata juga tidak bulat, diselimuti subyektivitas yang tebal, sehingga atas putusan kasasi MA tersebut akan terus menerus menjadi perdebatan algoritma logika dan akal waras publik, sekalipun kita tetap harus mengormati putusan tersebut.

Ketiga Hakim berbeda pendapat dalam kesimpulannya terhadap SAT untuk SKL BLBI,  dissenting opinion. Ketua Majelis Dr. Salman Luthan sependapat judex facti pengadilan tingkat banding. Hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum perdata. Sedangkan anggota 2, Prof Mohamad Askin, berpendapat bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan hukum adminsitrasi.

Jika itu dikatakan perbuatan perdata, kesimpulan dari audit investigatif yang dilakukan BPK, pastilah keniscayaannya bukan dengan kesimpulan adanya penyelewengan dana talangan BLBI dan atau adanya penyalahgunaan dan atau penyimpangan, karena dalam prinsip akunting yang dikatakan dengan penyimpangan, kecurangan, penyelewengan dan menyalahgunaan adalah benang merah dan relasinya dengan hukum dan atau unsur perbuatan tindak pidana korupsi. Jika tidak dikatakan adanya  penyimpangan, penyelewenagan, kecurangan dan  penyalahgunaan (dalam hal ini uang negara), maka BPK akan mengatakannya: lupa dicatat, salah buku, salah saji, tidak lazim,  tidak sesuai dengan ketentuan atau kepatuhan, sehingga dengan sendirinya pastilah itu temuanya bersifat adminitratif dan atau jika kita mengacu pada hukum formil dikatakan sebagai perbuatan hukum administrasi semata.

Untuk menguji kebenaran material demi kepastian hukum yang beradab atas SKL BLBI tersebut, sistem dan prinsip akunting mengajarkan membuktikan kepastian kebenaran atas hukum formil (hitam putih tok) tersebut, yaitu, jika benar SKL BLBI itu, maka, uang senilai Rp 4,58 triliun lebih itu masuk ke negara, bisa dicek dan atau bisa dilihat dalam necara keuangan negara (BPPN) dan atau pada BI yang mengucurkan BLBI ke BDNI.

Jika ternyata, bukti SKL BLBI diterbitkan, tetapi dalam transaksi berjalan BI dan atau pada neraca BI tidak ada dan transfer dari BDNI, maka SKL BLBI itu berarti aspal (asli tapi palsu) atau rekayasa, karena secara fisik uangnya tidak ada. Begitu juga sebaliknya, bisa dilihat dalam neraca BDNI itu sendiri, dan adakah alat bukti transaksinya atas pelunasan BLBI yang yang telah diterbitkan SKL BLBI oleh BPPN tersebut. Pada putusan kasasi, seharusnya MA menguji ulang kebenaran SKL BLBI dengan fakta fisik uang yang masuk ke BPPN dan atau  BI yang senilai Rp 4,58 triliun tersebut yang didalilkannya.

Jika SKL BLBI BPPN itu ditafsirkan dan atau maknai sebagai “Penghapusan Piutang”, berarti dana talangan BLBI yang diberikan kepada SN dan ISN pemilik BDNI sebagai obligor tersebut dinyatakan sudah “tidak tertagih” lagi, sehingga diambillah kebijakan menerbitkan SKL BLBL dalam pengertian Penghapusan Piutang Tak tertagih (Allowance for Bed Debts) kepada SN dan ISN-BDNI. Sehingga, negara kehilangan hak tagihnya terhadap obligor. Apa yang dilakukan SAT menjadi perbuatan hukum administratif dan atau karena negara telah kehilangan hak tagihnya, maka menjadi perubuatan perdata bagi SAT dengan SKL BLBInya.

Ruang dissenting opinion bukan dibiarkan menganga terbuka lebar untuk masuknya pendapat dan kesimpulan yang diselimuti subyektivitas yang tebal, dengan mendalilkan bahwa keputusan hakim tidak bisa dipengaruhi dan keputusannya berdasarkan atas keyakinannya sendiri. Pertanyaannya adalah memangnya para hakim di MA semuanya adalah para  Malaikat atau para Nabi?  Realitas empirik sebagai sebuah fakta yang konkret, ternyata juga tidak sedikit hakim yang terjerat kasus dan atau terkena OTT KPK, dan itu tidak hanya para hakim di MA saja, melainkan para hakim di Pengadilan disemua tingkatan dan bahkan hingga di MK (Mahkamah Konstitusi). HalItu menunjukkan fakta yang tak bisa terbantahkan, bahwa Setan bin Iblis juga bisa bersemayam di nurani para hakim yang berdalih para hakim mengemban amanat Tuhan untuk berlaku jujur dan adil.

SP3 yang diterbitkan KPK tersebut, jika kita melakukan pembacaannya dari yang kita urai di muka, maka tidak cukup argumentatif yang didalilkan KPK. Seharusnya, KPK tidak terpengaruh putusan kasasi SAT dan atau tidak mengambil kesimpulan karena PK yang diajukan KPK telah ditolak MA, sehingga demi kepastian hukum, dimana kewenangan KPK telah sesuai dengan pasal 40 UU KPK, hal tersebut menjadi rancu dan kacau balau. Sebab dalam pasal itu frasa kata yang dipakai adalah kata “dapat” bukan kata “harus” sehingga kata “dapat” tidak “menjadi harus” dimaknainya.

Jika putusan kasasi MA dimaknai dalil pokok SKL BLBI, maka itu juga membacaannya bisa ansich SAT, SN dan ISN tidak menjadi bagian dari SAT dalam materi pokok perkara SKL BLBI, karena ada fakta konkret adanya kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun hasil audit investigatif BPK.  Negara tidak punya urusan dengan Petani Tambak yang dijamin oleh PT. DCD dan PT WM. Petani Tambak dan atau PT. DCD dan PT. WM  adalah urusan internal dan atau urusan manajemen BDNI itu sendiri, bukan harus ditimpakan kepada negara, karena negara mengucurkan BLBI ke BDNI, bukan kepada PT. DCD dan PT. WM dan atau bukan kepada para Petani Tambak.  Negara dalam hal kucuran BLBI tidak mengenal Petani Tambak dan atau PT, DCD dan PT. WM.

SP3 KPK untuk SN dan ISN itu merupakan buah dari revisi UU KPK, suka tidak suka, mau tidak mau, maka itulah yang kita katakan ramai-ramai waktu itu menolak dan melakukan ekstra parlementer itu sebagai bentuk melemahan terhadap eksistensi KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dibalik slogan dan jargon Istana yang mengatakan korupsi adalah musuh kita bersama, musuh bangsa dan negara, korupsi adalah extra ordinary crime. Istana melakukan penguatan terhadap KPK dengan revisi UU KPK tersebut dan Senayan sampai berbusa-busa menyokonmgnya. Kini menjadi fakta yang tak bisa terbantahkan lagi dengan adanya revisi UU KPK tersebut, terbitlah SP3 yang pertama bagi koruptor.

KPK Kok Bisa Tidak Paham Ya?

Bagi kita yang puluhan tahun mengikuti perjalanan sejarah proses hukum di negeri ini, tentu tidak menjadi kaget dan atau terkejut jika MA menolak pengajuan PK KPK atas SAT pada kasus SKL BLBI. Mungkin bagi orang awam yang sehari-harinya mencangkul di kebun, yakin kaget, bahkan bertanya kenapa PK KPK bisa ditolak MA dalam kasus korupsi? Orang awam mau tahunya, jika yang melakukan korupsi itu terlihat kasat mata harus diproses hukum dan harus dihukum seberat-beratnya. Kita bisa memaklumi soal itu, karena pengetahuannya yang terbatas dan hampir tak sempat nonton berita tv dan tidak bisa membuka chanel youtube, bukan android. Itu masalahnya.

 

Akan tetapi, jika hal serupa itu terjadi pada KPK, kita menjadi tidak mengerti dan tidak paham. Pertanyaannya adalah KPK kok tidak paham ya? Benarkah hal itu? Kita harus tidak mempercayainya, karena orang-orang yang ada di KPK itu adalah orang-orang hebat dan pilihan. Tidak sembarang orang, konon integritasnya terjamin dan terjaga dan keilmuannya mumpuni. Lantas apa yang terjadi?

Apa yang didalilkan MA atas argumentasi penolakan PK KPK, yaitu karena PK yang diajukan KPK tidak memenuhi syarat formil. Sehingga berdasarkan hal tersebut maka berkas perkara permohonan PK atas nama SAT dikirim kembali ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Surat pengantar pengiriman bertanggal 16 Juli 2020.

 

Apa yang maksudkan tidak memenuhi persyaratan formil tersebut oleh MA, yaitu sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP, putusan MK No.33/PUU-XIV/2016 dan SEMA No. 04/2014. Syarat formil yang dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yaitu terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan PK ke MA. Sementara putusan MK yang dimaksud yaitu yang berhak melakukan upaya PK hanyalah terpidana atau ahli waris, bukan penegak hukum. Sama halnya dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2014 jika PK tidak bisa dilakukan oleh Jaksa.

 

Penjelasan KPK yang disampaikan oleh Pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri bahwa pengajuan PK sebenarnya merupakan upaya maksimal pihaknya dalam penanganan perkara ini. Sebab KPK memandang putusan dalam putusan kasasi ada beberapa alasan hukum sebagai dasar antara lain adanya kekhilafan hakim dalam memutus pada tingkat kasasi dan kontradiktif antara pertimbangan dengan putusan. Argumen dan penjelasan KPK itulah yang membuat kita bertanya-tanya, KPK kok tidak paham ya? Pertanyaan apa yang terjadi itu tetaplah tidak terjawab dalam penjelasan KPK sekalipun kita mencoba merasionalisasikannya.

 

KPK seharusnya paham betul, jika pada putusan kasasi MA, terpidana diputus onslag van alle rechtsvervolging, maka JPU tidak bisa lagi mengajukan PK. Tetapi, jika terpidana pada pututusan kasasi masih tetap divonis bersalah, apakah hukumannya mengurangi apalagi hukuman menjadi bertambah, maka terpidana dan atau ahli warisnya bisa mengajukan PK, bahkan PK bisa diajukan berkali-kali dan atau lebih dari sekali.

Putusan kasasi MA dikeluarkan pada 9/7/2019, MA mengabulkan kasasi terdakwa SAT sebagaimana putusan nomor putusan : 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 09 Juli 2019, pada pokoknya sebagai berikut: (1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Terdakwa. (2 ). Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 29/PID.SUS-TPK/2018/PT.DKI tanggal 02 Januari 2019, yang mengubah amar Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 39/PID.SUS/TPK/2018/PN.JKT.PST tanggal 24 September 2018. (3)  Menyatakan Terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. (4). Melepaskan Terdakwa tersebut oleh karena itu dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). (5). Memerintahkan agar Terdakwa dikeluarkan dari tahanan. (Jaksa Eksekutor KPK telah melaksanakan putusan dengan cara mengeluarkan Terdakwa dari Tahanan Rutan KPK pada hari Selasa tanggal 09 Juli 2019).

Untuk itu, kita menjadi curiga atas sikap dan tindakan KPK. Apakah hanya untuk kepentingan tarik ulur perkara semata, untuk memenuhi pasal 40 UU KPK yang menggunakan frasa kata “dapat” bisa dijadikan penguat alasan untuk meneribitkan SP3, yang disandingkan dengan proses hukum yang sudah melampaui 2 tahun di tangan penyidik KPK, yang kemudian dijadikan alasan lengkap untuk memaknai pasal 40 dan pasal 5 UU KPK tersebut.

Sudah tahu bahwa putusan kasasi MA atas SAT yang dicantelkan kepada NS dan ISN secara bersama-sama itu telah diputus onslag van alle rechtsvervolging pada 9/7/2019, tetapi KPK pada September 2019, masih  memasukkan nama SN dan ISN  ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dalam kasus BLBI.  KPK meminta bantuan Polri untuk mencari SN dan ISN dimasukan dalam DPO setelah dua kali mangkir dari pemanggilan KPK yaitu pada Jumat (28/6/2019) dan Jumat (19/7/2019). Ketika itu, KPK telah mengirim surat panggilan untuk SN dan ISN ke lima alamat di Indonesia dan Singapura namun tak mendapat jawaban. Sedangkan, 30 orang saksi sebelumnya telah diperiksa oleh KPK untuk tersangka SN dan ISN. SN dan ISN ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN pada tahun 2004.

Logika dan akal waras kita akan mengatakan bahwa karena KPK tetap men-DPO-kan SN dan ISN dan tetap melaukan pemriksaan terhadap saksi-saksi, tentu pembacaan kita adalah KPK mengabaikan putusan onslag van alle rechtsvervolging SAT, karena itu bukan menjadi halangan untuk tetap menindaklanjuti proses hukum dan atau penyidikan terhadap SN dan ISN. Ternyata, justru sebaliknya KPK bersikap.

KPK kehilangan logika dan akal waras tatkala NS dan ISN mangkir untuk memenuhi panggilan, karena SN dan ISN berada dan atau tinggal di Singapura. KPK jelas tidak bisa memaksa Singapura untuk menyerahkan SN dan ISN yang berada dalam negaranya meski SN dan ISN adalah warga negara Indonesia ataukah punya banyak status kewargaannegaraannya?

Jika terkendala karena perjanjian “Ekstradisi” dengan Singapura belum tuntas, masih menggantung secara de jure dan de facto, sekalipun telah disepakati dan ditandatangani pada 27 April 2007, tetapi pelaksanaanya terkenadala, belum bisa berlaku, karena menunggu ratifikasi DPR RI, yang penyebabnya adalah perjanjian ekstradsisi itu  harus disepakati dengan perjanjian kerjasama pertahanan (Defense Cooperation Agreement/DCA) tak kunjung selesai di DPR RI. Yang menjadi perdebatan adalah permintaan Singapura  atas sebagian wilayah perairan dan udara di sekitar Sumatra dan Kepulauan Riau supaya bisa digunakan untuk latihan militer. Itulah penyebab perjanjian ekstradisi dengan Singapura. Kita hanya mempunyai perjanjian ekstradisi dengan 6 negara, yakni, Malaysia, Filipina, Thailand, Australia, Hong Kong dan Korea Selatan.

Jika seperti itu, seharusnya KPK mengambil langkah dan alternative lainnya yang strategis, misalnya,  ketika SN dan ISN melakukan proses adminitratif Axit Permit.  SN dan ISN masih memegang paspor kewarganegaraan Indonesia, sehingga  izin tinggal di Singapura ada batas waktu, jadi ada waktu overstay.

Jadi ketika KPK sudah mengumumkan SN dan ISN ke dalam DPO dan telah meminta bantuan Polri, harusnya juga minta bantuan kepada institusi lainnya seperti Kedubes RI di Singapura untuk bisa mendapatkan informasi kapan waktunya SN dan ISN exit permit. Negara memiliki peralatan lengkap untuk bis digunakannya atas nama negara dalam menangani musuh negara, yaitu korupsi sebagai musuh kita bersama karena korupsi merupakan  extra ordinary crime.

Ketika SN dan ISN melakukan exit dari Singapura dan berarti harus kembali dulu ke Indonesia (permit), KPK seharusnya bisa memaksa SN dan ISN dan atau bisa melakukan tindakan penangkapan untuk kepentingan penyidikan.  Ternyata tidak dilakukan KPK, sehingga kini sudah lampau dari 2 (dua) tahun. KPK tidak melakukan itu, yang dilakukan kemudian menerbitkan SP3 sebagai dasar kewenangannya yang mengacu pada psal 40 dan pasal 5 UU KPK.

Problem BLBI adalah problem benang kusut. Sejak awal tahun 1998, negara mengeluarkan Rp 320 triliun untuk 54 Bank Swasta, yang kembali kepada negara hanya 8,5%  atau Rp 27,2 triliun (Donal Pariz ICW: diskusi public vonis bebas MA Syafruddin Arsyad Temenggung, Rabu, 31/7/2019). Sekusut-kusustnya benang seharusnya bisa diurai karena ada mata rantainya, jika kita mempunyai  kesungguhan untuk mau menguraikannya, konstruksi hukumnya sebenarnya sudah jelas dalam perkara SN dan ISN, sudah mulai diurai oleh KPK. Sewaktu ditangani Kejaksaan Agung kemudian terjadi OTT KPK terhadap Ketua Tim Penyidik Jaksa Urip Tri Gunawan, sebenarnya kontruksi hukumnya sudah gamblang. Tetapi,    ternyata kini faktanya lain. Itu yang menjadi tanda tanya kita.

“Bagaimana skandal mega kasus perampokan BLBI yang pelik berliku licin dan panas secara politik penuh intrik itu sudah mulai diurai oleh KPK rezim UU KPK lama begitu diluluhlantakkan dan punah total dampak langsung dominasi oligarki politik melalui UU. Bahwa saat ini semakin tampak akrobat politik hukum yang sengaja ingkar dari jiwa keadilan sosial. Semakin tampak pula peredupan Pancasila dan adab dalam praktik politik legislasi dan penegakan hukum.” (Busyro Muqoddas adalah mantan Ketua KPK periode 2011-2014, Detiknews, Jum’at, 02 Apr 2021 11:46 WIB).

Membandingkan Putusan Bebas Kasasi

Pada tahun 2006/2007 Kejagung (Kejaksaan Agung) menggelar kasus korupsi proyek PLTU Indramayu dengan terdakwa Wakil Ketua dan Sekretaris Panitia Pembebasan Tanah untuk pembanguna proyek PLTU Sumuradem Indramayu. Pada tingkat pertama diputus “Bebas” kemudian JPU mengajukan kasasi di MA. Pada putusan MA No. 1451 K/Pid.Sus/2011 utuk atas nama Wakil Ketua dan Sekretaris Panitian Pembebasan Tanah dinyatakan putusan bebas (onslag van alle rechtsvervolging). Pihak swasta yang dijerat adalah  AR dari PT. Wiharta Karya Agung (AR-PT. WKA) sebagai pemegang HGU dinyatakan terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan divonis 4 tahun penjara pada tingkat kasasi.

Unsur penyelenggara negaranya dalam hal ini adalah Wakil Ketua dan Sekretaris Panitia Pembebasan Tanah lebih dulu diproses hukum ketimbang AR-PT.WKA, dengan putusan kasasi onslag van alle rechtsvervolging. . AR-PT. WKA adalah pemegang HGU yang dianggap tidak sah dalam kepemilikan HGU dari hasil pindah nama kepemilikan PT. WKA. Perkara disidangkan dalam waktu relatif bersamaan antara pihak penyelenggara negara dan AR sebagai pihak swasta.

Setelah sempat tenggelam,  mangkrak, Kejagung kemudian menetapkan tersangka baru, yaitu Ketua Panitia Pembebasan Tanah yang sekaligus adalah Bupati saat, pada 2 Desember 2012, dan tenggelam lagi, baru diadili pada tahun 2015. Pada 1 Juni 2015, PN Tinggi Tipikor Bandung memutus Bebas Murni terhadap terdakwa Bupati. Padahal, tuntutan JPU Kejagung sangat rendah, hanya 18 bulan, tidak realistis dan terindikasi main mata dengan terdakwa.

Bupati selaku Ketua Tim Panitia Pembebasan tanah diputus Bebas Murni oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung. Putusan Bebas Murni  telah bocor dan atau telah diberitahukan kepada pihak Bupati sebagai terdakwa seminggu sebelum putusan itu dibacakan Majelis Hakim pada 1 Juni 2015.  Putusan Bebas Murni atas Bupati itu dimuat di halaman muka tabloid MULIH HARJA milik Pemkab secara besar-besaran. Indramayu dan diikuti oleh puluhan media lainnya, dimana berbagai pihak yang berkepentingan, terutama para SKPD dan Jajaran Direksi BUMD, semuanya mengucapkan selamat atas putusan Bebas Murni tersebut.

Indikasi kuat dan atau gelagat atau adanya tanda-tanda akan terjadi main mata dengan Majelis Hakim Tipikor tercium santer aromanya.  Atas indikasi kuat tersebut kemudian informasikan jauh hari kepada KY (Komisi Yudisial) diminta bisa melakukan pengawasan atau pemantauan jalannya proses persidangan, karena Bupati saat itu dikatakan “kebal hukum.”  Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sempat dihadirkan sebagai saksi yang dalam persidangan mengatakan, tidak ada keugian negara, justru dengan adanya proyek PLTU negara diuntungkan.  Entah KY melakukan memantauan atau tidak, ternyata benar adanya, Majelis Hakim membacakan putusannya dengan putusan Bebas Murni terhadap Bupati.

JPU Kejari-Kejagung (penyidikannya dilakukan oleh Kejagung) kemudian melakukan upaya hukum dengan mengajukan kasasi, ternyata putusan kasasi MA pda 28 April 2015 Bupati nyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan dijatuhi vonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan. Putusan tersebut tercatat dalam register parakara No. 2862 K/PID.SUS/2015 dengan Pengadilan pengaju Bnadung dan nomor pengantar  W11.UI/3642/HN.02.02?VII/2015.

Jika kita bandingkan dua putusan bebas kasasi dalam kasus dakwaan korupsi yang keduanya telah melewati proses tingkat pertama dan banding kemudian kandas ditingkat kasasi. Putusan kasasi dikatakan  sebagai putusan  yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada putusan pertama dan atau tingkat banding dikatakan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. JPU masih bisa upaya hukum lanjutan, yaitu kasasi dan PK, jika pada putusan kasasi, terdakwa (terpidana) tidak dinyatakan onslag van alle rechtsvervolging.

Sebaliknya, jika pada putusan kasasi, terdakwa (terpidana) dinyatakan tetap bersalah, menguatkan putusan Majelis Hakim Pengadilan sebelumnya, maka terpidana masih punya hak untuk upaya hukum ke tingkat PK, meskipun putusan kasasinya  dikurangi atau diperberat dari putusan sebelumnya. Bahkan PK bisa diajukan lebih dari sekali.

Kasus SN dan ISN semula ditangani oleh Kejagung (Kejaksaan Agung). Dalam perjalanan waktu ditingkat penyidikan Kejagung. Ketua Tim Jaksa Penyidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan  terkena OTT KPK, karena menerima suap senilai $ 660.000 dollar AS. Artalyta Suryani alias Ayin sebagai penyuap Urip Tri Gunawan telah divonis 5 tahun penjara pada 27 Juli 2008 dan dalam putusan PK yang diajukannya berhasil mengurani hukuman 6 bulan.  Artalyta Suryani istri dari Suryadharma yang bos Gajah Tunggal milik SN dan ISN. Artalyta Suryani adalah perpanjangan tangan SN dan ISN dalam kasus penyuapan terhadap Urip Tri Gunawan sebagai Ketua Tim Penyidik kasus BLBI SN dan ISN.

Putusan atas pengurangan hukuman dalam PK dengan alasan bahwa Artalyta Suryani hanya sebagai perantara tindak pidana penyuapan Jaksa Urip Tri Gunawan, sekalipun dikatakan Ketua MA (waktu itu) Harifin Andi Tumpa, telah memeriksa Majelis Hakim yang mengadili PK, mengisyaratkan putusan PK tersebut keliru, tetapi tidak bisa mengkoreksi putusan karena asas indepensi hakim serta tidak adanya upaya hukum yang lebih tinggi lagi. Agar preseden tersebut tidak terjadi lagi (Forum Konsultasi dengan Komisi III DPR di gedung MA, 15/4/2010). Sedangkan Ketua Tim Penyidik Jaksa Urip Tri Gunawan di vonis 20 tahun penjara pada tingkat PN Tipikor pada 4/9/2008, di tingkat banding , PN Tinggi DKI Jkt menguatkan vonis 20 tahun pada 28/11/2008, dan pada tingkat PK, MA menolak pengajuan PK Urip Tri Gunawan, tetapi mendapat remisi 5 tahun. Pemberian remisi tersebut menuai kritik tajam dari berbagai kalangan penggiat antikorupsi, para intlektual akademik dan civil society kritis. Anjing Menggonggong Kafila Tetap Berlari Kencang.

Yang menarik untuk kita bandingkan, dan kemudian apa bedanya pada kedua kasus tersebut? KPK menguatkan argumentasinya bahwa kasus SN dan ISN tidak bisa dilanjutkan karena unsur penyelenggara negaranya sudah tiada ada. SAT divonis onslag van alle rechtsvervolging, dan berikutnya yang menjadi pokok argument berikutnya adalah karena perkaranya telah mengendap lebih dari dua tahun.

Mari kita bandingkan. Pada kasus korupsi PLTU Indramayu, jika mengacu pada alasan KPK, unsur penyelenggara negaranya juga telah dibebaskan, yaitu Wakil Ketua dan Sekretaris Panitia Pembenabasan Tanah atas putusan kasasi MA dengan onslag van alle rechtsvervolging. Kejagung waktu itu belum nenetapkan Bupati selaku Ketua Tim Panitia Pembebasan Tanah. Proses hukumnya hanya menjerat AR-PT. WKA, dan Wakil Ketua dan Sekretaris Pantia Pembenbasan Tanah sebagai unsur penyelenggara negara. Tetapi, proses hukum terhadap AR-PT.WKA terus berjalan, sekalipun di tingkat pertama juga diputus bebas, tetapi di putusan kasasi divopnis 4 tahun penjara.

Kejagung dengan adanya putusan kasasi onslag van alle rechtsvervolging terhadap unsur penyelenggara negara, tidak menghentikan proses hukumnya terhadap AR-PT.WKA yang akhirnya juga atas putusan kasasi divonis 4 tahun penjara. Kejagung tetap melakukan menyidikan terhadap Bupati waktu itu selaku Ketua Tim Panitia Pembebasan Tanah sebagai unsur penyelenggara negara lainnya setelah Wakil Ketua dan Sekretaris Panitia Pembebasan Tanah diputus onslag van alle rechtsvervolging. Lantas Bupati dijadikan tersangka dan digelar dalam persidangan, yang pada tingkat PN Tipikor Bandung diputus Bebas Murni, tapi pada putusan kasasi MA dinyatakan terbukti bersalah dengan vonis 4 tahun penjara.

Proses hukum tersebut sebagai bentuk kepastian hukum terhadap adanya kerugian negara. Secara logika dan akal waras, menjadi amat tidak mengkin, jika terjadi kerugian negara atau perekonomian negara tidak melibatkan penyelenggara negara baik secara tunggal maupun berjamaah dan atau baik secara langsung mapun tidak langsung dalam unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, karena yang namanya koruspi itu pastilah sistematik dan terstruktur; melibatkan orang lain dan itu kaitannya dengan sistem dan prosedural dan atau SOP (Standar Operasional Prosedur) yang melibatkan lebih dari satu meja.

Pada kasus SN dan ISN dalam kasus BDNI BLBI tersebut, SN dan ISN tidak pernah diadili atau diproses hukum, karena keburu kabur ke Singapura yang tidak bisa diekstradisi. Proses SAT sebagai Kepala BPPN yang melahirkan SKL BLBI, yang oleh KPK disebut sebagai unsur penyelenggara negara di tingkat pertama divonis 13 tahun, tingkat banding divonis 15 tahun dan pada kasasi divonis onslag van alle rechtsvervolging, yang oleh KPK dimaknai sebagai hilangnya unsur penyelanggara negara yang terlibat bersama-sama (dalam konteks putusan tingkat pertama dan banding) melakukan korupsi yang menyebabkan adanya kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.

Pada ksus BLBI SN dan ISN  unsur penyelenggara negaran lainnya  masih ada, dan baru menjadi saksi saja; SN, ISN maupun untuk SAT, yaitu Dorodjatun Kuntjoro Jakti waktu itu sebagai Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gorong Rorong Megawati dan sekaligus waktu itu sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), yang kaitannya dengan penerbitan surat-surat yang diterbitkan KKSK, yang  terindikasi dengan  berelasi terbitnya SKL BLBI SAT, tidak berdiri sendiri kebijakan tersebut dibuat. Untuk itu, unsur penyelenggara negara yang masih ada  tersebut juga harus diuji kebenarannya di pengadilan.

Apa yang dilakukan Kejagung, tidak dilakukan oleh KPK terhadap kasus korupsi BLBI terhadap SN dan ISN. KPK tidak mau membuktikan kepastian hukumnya untuk menguji kebenaran apakah Dorodjatun Kuntjoro Jakti tidak terlibat dalam lenyapnya Rp 4.58 triliun uang negara yang digelontorkan ke SN dan ISN obligor BDNI.  Karena, SN dan ISN belum dapat dilakukan penyidikan perkara apalagi disidangkannya. Menjadi sangat naïf, jika uang negara bisa keluar tanpa ada keterlibatan penyelenggara negaranya. Memangnya, jin dan jun atau Tuyul dan Mbak Yul dalam sinetron, dimana makhluk itu bisa menembus tempok beton dan atau brangkas baja sekalipun.

Jika pun kemudian seandainya mantan Menko Perekonomian dan Ketua KKSK itu oleh putusan kasasi juga dinyatakan onslag van alle rechtsvervolging, itupun secara logika dan akal waras, kasus NS dan ISN tidak bisa dihentikan dan atau diterbitkan SP3 sekalipun itu benar adalah adanya kewenangan KPK. Tetapi, atas nama kepastian hukum dan keadilan, logika dan akal waras, dengan alasan, antara lain, (1) Karena nyata-nyata telah terjadi adanya kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun atas BLBI yang diberikan kepada obligor SN dan ISN sebagai pemilik BDNI.

(2) Adanya kerugian negara sebesar Rp 4.58 triliun tersebut setelah BPK melakukan audit invertigatif. Audit insvestagatif adalah puncak dari audit untuk kepentingan pembuktian apakah ada kerugian negara secara nyata yang diakibatkan oleh penyelewengan dan atau penyalahgunaan kewenangan dalam kekuasaan. Sekalipun pada sisi lain,  kita sering menertawakan pemberian WTP (Wajar Tanpa Pengejualian) dalam LHP BPK kepada Pemerintah Daerah (Bupati/Walikota dan Gubernur), secara logika dan akal waras menjadi keniscayaan terhadap persoalan  public trust BPK, karena obral WTP tersebut indikasinya adalah reword insentif daerah yang diberikan dari Pusat dengan syarat harus kinerja Kepala Daerah mendapatkan WTP BPK, sekalipun, pasti akan dibantah, tapi itu bisa kita buktikan dengan adanya OTT dari WTP tersebut, dimana itu menjadi obyek pemeriksaan BPK, baik sebelum maupun sesudah terjaring OTT.

(3) Kerugian negara hanya bisa diungkap dengan pemeriksaan investigatif. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Dirjen Paraturan perundang-undangan Kemenkum dan Ham Mualimin Abdi pada laman situs Mahkamah Konstitusi – Lembaga Negara Pengawal Konstitusi, Sabtu, 10 April 202i. Sehingga, jelas kedudukan dan tanfsir konsitusionalnya bahwa kasus bobolnya uang negara Rp 4,58 triliun yang digelontorkan atas nama dana talangan BLBI kepada SN dan ISN sebagai obligor BDNI, yang pada sisi lain, tersambung dengan benang merah diterbitkannya SKL BLBI oleh BPPN dibawah SAT.

Sudah menjadi  “harga mati” atas hasil audit investigatif BPK untuk tetap dilanjutkan proses hukumnya, sehingga siapa saja para penyelenggara negara yang terlibat di dalamnya, karena kasus BLBI juga telah memenjarakan penyelenggara negara lainnya, seperti, Hendro Budiyanto, Heru Supratomo, Paulk Sutopo Tjokronegoro.

(4) KPK dalam hal ini, tidak perlu malu diri untuk mengikuti jejak  Kejagung dalam persoalan putsan kasasi onslag van alle rechtsvervolging., karena perkara korupsi PLTU substansi dan proses hukumnya sama, jika ada perbedaan itu hanya beda tipis, yaitu AR-PT. WKA segera diproses sehingga bisa menyeret unsur penyelenggara negara lainnya, yaitu Bupati waktu itu selaku Ketu TIM Panitia Pembebasan Tanah, sedangkan pada kasus BDNI BLBI, SN dan ISN belum bisa diproses karena kabur ke Singapura. Namun sungguh disayngkan, KPK ternyata terlampau  cepat tanggap setelah PKnya ditolak atas SAT langsung mengeluarkan SP3, padahal,  mantan Menko Perekonomian yang sekaligus Ketua KKSK belum  diproses hukum dan belum diajukan ke persidangan, terhenti karena SAT dinyatakan onslag van alle rechtsvervolging.

Negara Kok Jadi Debt Collector?

Tak habis pikir, setelah PK KPK atas SAT ditolak MA, kok dikatakan “Negara kehilangan hak tagih.” Negara harus membentuk Debt Collector.  Betapa ganjilnya, jika KPK berpikiran seperti itu, dan juga jika Istana  berpikir sama seperti itu.

Negara tidak punya persoalan dengan yang namanya Petani Tambak yang konon dijamin oleh PT. DCD dan PT. WM. Negara juga tidak punya sangkut paut dengan PT. DCD dan PT. WM, baik langsung mapun tidak langsung. Begitu juga sebaliknya, para Petani Tambak, PT. DCD dan PT. WM tidak ada kaitannya dengan negara yang telah menggelontorkan dana talangan BLBI ke BDNI milik SN dan ISN. Negara hanya punya urusan untuk menindak BDNI sebagai obligor jika BLBInya disalahgunakan.

Jika negara langsung berkiatan dengan para Petani Tambak dan atau PT. DCD dan PT. WM, tentu dalam mengucurkan pemberian pinjaman (kredit) harus bersandar pada kriteria 5C atau 7C yaitu, Charakter, Capacity, Capital, Colleteral, Condotion of economy, Constraint dan Coverage. Bahkan juga harus 7P, yaitu, Personality, Party, Purpose, Prospect, Payment, Profitability dan Protection.  Pertanyaannya adalah apakah ada regulasinya jika negara langsung memberikan pinjaman kepada para Petani Tambak dan atau PT. DCD dan PT. WM? Mereka bukan lembaga keuangan dan atau lembaga Perbankan yang terdampak resesi ekonomi 1998. Untuk siapakah  BLBI diebraikan? Kedua hal itu yang membatalkan alasan bahwa negara kehilangan hak tagihnya dan negara harus menjadi Debt Collector.

Apakah negara tahu bahwa BDNI dengan BLBInya telah menyalurkan dananya kepada Petani Tambak dan atau PT. DCD dan PT. WM sebagai penjamin prosedurnya memenuhi kriteria 5C atau 7P dalam pemberian kreditnya? Tentu tidak tahu, maka BPK sebagai representasi dari negara dan atau yang diberi otoritas untuk melakukan itu semua, kemudian melakukan  audit investigatifnya menyimpulkan adanya kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun atas BLBI yang diberikan kepada BDNI sebagai obligor negara.

Oleh sebab itu, negara tidak akan membuka  akun Cadangan Penyisihan Piutang Tak Tertagih (Allowance for Bad Debts) pada Piutang (Account Receivable) atau  negara tidak membuat akun Penyisihan Piutang ragu-ragu (Allowance for doubtfull account). Akun itu adalah milik BDNI atas Petani Tambak dan atau PT. DCD dan PT. WM. Begitu pula dengan Beban Kerugian Piutang Tak Tertagih pada Cadangan Kerugian Piutang Tak Tertagih. Akun ini pun adalah milik BDNI atas Petani Tambak dan atau PT. DCD dan PT. WM.

Oleh karenanya, jika BPPN dan atau SAT kemudian menerbitkan SKL BLBI, yang berarti melakukan Penghapusan Piutang (Bad Debt) atas obligor SN dan ISN, dari mana ceritanya, dan dari mana logika dan akal warasnya? Karena, jika harus melakukan tindakan yang namanya Bad Debt atas obligor SN dan ISN, apakah BPPN telah membuat kebijakan yang Allowance for Bed Debt atau membuat Allowance for doubtfull account? Karena itu dasarnya. Jika tidak, namanya akal bulus bin abu nawasan. Hal itu juga harus dilakukan oleh BDNI pada neracanya, karena hal itu prinsip dalam Laporan Keuangan Perbankan.

Oleh karena itu, soal Beban Kerugian Piutang itu urusannya BDNI, maka dalam BDNI pastilah akan membuat akun Beban Kerugian Piutang Tak Tertagih pada Cadangan Kerugian Piutang Tak Tertagih. Beban Kerugian Piutang Tak Tertagih akan masuk pada Laba Rugi operasional BDNI, dan pada neraca BDNI akan menguragi akun Piutang Petani Tambak dan atau PT. DCD dan PT. WM, jika masih ada tersisa yang bisa tertagih, dan jika semuanya tidak tertagih, lantas akan menjadi akun Beban Kerugian Piutang tak Tertagih dalam neracanya, dan  Piutang Petani Tambak menjadi bersaldo nol rupiah. Tetapi, SN dan ISN tetaplah berkewajiban menyelesaikan dana talangan BLBI kepada Negara, yang mekanismenya menjadi tanggungjawan BPPN.

Akan tetapi, persoalannya bukan itu yang dibawa ke KPK yang semula kasusnya ditangani oleh Kejagung, yaitu kontruksi hukum unsur tindak pidana korupsi, dimana dana talangan BLBI diselewengkan dan atau disalahgunakan, yang oleh hasil audit investigatif BPK yang mengakibatkan adanya kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun.

Kemungkinan besar yang terjadi sesungguhnya adalah PT. DCD dan PT. WM adalah core busniss  SN dan ISN. Para Petani Tambak budidaya udang paname hanya dipakai atas nama untuk alibi dan penghapusan jejak penyalaggunaan dana talangan BLBI. Isu yang beredar saat itu di kalangan petani di sekitanya di Lampung, cukup merebak, ada indikasi kuat dengan kasat mata, bahwa lahan budidaya udang Dipasena itu adalah milik SN dan ISN, dan hal fakta lapangan yang fatal tersebut, jika waktu itu ada yang mendokumentasikan, lahan ratusan hektar yang ditanam udang paname dikerjakan secara asal-asalan, tidak profesional, sehingga terlihat indikasinya begitu jelas seperti uang tak bertuan, dan akhirnya pun sudah bisa diduga kepastiannya oleh kalangan petani kecil di sekitanya, akan mangkrak atau bangkrut.

Fakta isu lapangan tersebut kini menjadi keniscayaan yang tak bisa terbantahklan lagi adanya. Tapi, siapa yang berani bicara waktu itu? Kecuali rasa cemburu sosial yang ada di antara mereka yang hidup berdampingan sebagai Petani Tambak. Tersiar dari mulut ke mulut wong cilik yang tak berdaya, tidak mempunyai resonansi politik, bahkan dengan mudah dipatahkan bahwa itu cuma isu semata, tanpa bukti yang kuat dan seterusnya.

Kini telah menjadi fakta dari tudingan isu saat itu. KPK lantas menerbitkan SP3, dan kini negara diperkuda menjadi  Debt Collector SN dan ISN yang di Singapura untuk menguber-uber para Petani Tambak dan atau menjadi juru tagih atas nama BDNI. Bisa jadi, nama-nama para petaninya juga banyak yang fiktif atau para petaninya berada di negeri Kahyangan. Menjadi lucu, menggelikan, dan lelucon jika Negara harus  menjadi Debt Collector SN dan ISN.

Pemerintah kini membentuk Satgas Penangan Hak Tagih BLBI yang tercantum dalam Keputusan Presiden No, 6 Tahun 2021. Pemerintah akan mengejar aset dana BLBI mencapai hampir Rp 110 triliun. (Menkopolhukam: Perburuan Aset BLBI Senilai Rp 110 triliun, Kompas tv, Sapa Indonesia, Rabu, 14/4/2021).

Berkah Revisi UU KPK

“Ucapan sukses besar bagi pemerintah Joko Wododo (Jokowi) yang mengusulkan revisi UU KPK yang disetujui DPR juga parpol. Penghentian kasus itu, merupakan bukti nyata penegakan hukum yang tumpul. Harus saya nyatakan dengan tegas, lugas bahwa itu bukti nyata tumpul dan tandusnya rasa keadilan rakyat yang dirobek-robek atas nama UU KPK hasil revisi usulan presiden. Sebelum ada revisi UU KPK, kasus ini sudah mulai terurai. Namun, dengan dihentikannya penyidikan ia melihat jika KPK saat ini didominasi oligarki politik.” (Ibid).

Kegeraman Busyro Muqoddas sebagai mantan Ketua KPK itu bukan tanpa dasar logika dan akal waras, karena menurutnya, kasus BLBI SN dan ISN itu sudah mulai diurai. Artinya, sebagai kasus yang dikatakan benang kusut, kekusutannya sudah bisa diurai dengan jelas, tinggal keseriusan dan idealisme para penyidik, para Komisioner dan Dewan Pengawas. Pertanyaan yang terjawab oleh publik adalah siapa takut, dan siapa yang ketakutan? Ternyata, SP3 jawabannya.

Sangat menjadi terbuka lebar dengan adanya revisi UU KPK (UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK), bahwa dikemudian hari akan menjadi tradisi dan budaya untuk menerbitkan SP3, dengan alasan pasal 40 dan pasal 5 UU KPK, bahwa KPK mempunyai kewenangan untuk menerbitkan SP3 dan perkara yang sudah melampau waktu dua tahun, dan demi kepastian hukum.

Siapakah yang bisa menjawab pertanyaan, apakah selama dua tahun itu kasusnya ditangani secara sungguh-sungguh serius ataukah angin-anginan, karena para penyidiknya acapkali silih berganti atau dirotasi, yang belum tentu mempunyai idealisme yang sama, niat yang sama, dan keseriusan yang sama pula.  Mungkin saja, selama dua tahu pula  menyidikannya tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak sistematik dan tidak terstruktur atau penyelidikan dan atau penyidikan kurang  intensif, sistemik, terstruktur dan massif dengan berbagai alibi, antara lain, keterbatasan penyidik, benang kusut, yang bakal menjadi tersangka dan atau tersangkanya kabur ke luar negeri, dan kita tidak punya perjanjian ekstradisi, dan alibi-alini lainnya yang akan dikedepankan sebagai penguat. Yang sepintas seakan-akan sangat rasional alasannya.

Kemungkinan lainnya bisa saja, mungkin yang sesungguhnya meng-ada adalah ketidakberdayaannya melawan tembok kekuasaan dan para oligar yang bersekutu untuk terus membayang-bayanginya, sehingga menjadi mimpi buruk yang selalu membayangi menjelang tidur dan setelah terbangun dari tempat peraduan. Tidak satu pandangan dalam memaknai korupsi, unsur korupsi dan bagaimana korupsi itu bisa terjadi, dan megapa terjadi?

Tidak satu pandangan terhadap itu, seringkali dipertontonkan oleh JPU dalam penuntutan terhadap hukuman yang diberikan, dan yang lebih dahsyat lagi adalah ketidaksatupandangan memaknai perkorupsian tersebut juga dipertontonkan oleh para Hakim diberbagai tingkatan hingga para Hakim Agung di MA yang disebut dissenting opinion.

Suka tidak suka, kita harus tunduk pada pandangan para hakim yang konon dalam putusannya berdasarkan keyakinan dirinya sendiri, tapa kita bisa bertanya, apakah keyakinan tersebut berdasar pada kebenaran formil dan kebenaran material,  atas moralitas dan kebenaran keadilan? Kita tidak tahu. Yang jelas-jelas bisa kita lihat seperti, jika putusannya didasarkan pada keyakinan pemberi suap, misalnya, penyuap dan Hakimnya terkena OTT, termasuk pada putusan Mahkamah Konstitusi, dimana putusan kasasi dan putusan PK tersebut tidak bisa dibatalkan. Padahal dari proses putusan para setan bin iblis. Lantas kita mau apa?

Oleh karena itu, harus ada terobosan konstitusional untuk merevisi soal putusan setan bin iblis, demi kebenaran dan keadilan, jika produk putusannya karena adanya suap, maka harus dibatalkan atau gugur demi hukum, karena logika dan akal waras sekalipun dijungkirbalikan tetap akan mengatakan: kita sungguh tidak beradab dan begitu gampang mengatasnakaman kebenaran dan keadilan atas Tuhan.

SP3 itu, SN dan ISN adalah ketiman berkah dari revisi UU KPK. SN dan ISN tidak sibuk mencari dan menguber-uber berkah dengan semedi dan atau mendatangi para dukun (paranormal) seantero pelosok nusantara. SN dan ISN di Singapura tetap  tidur nyanyak dan pulas, mengigau dan bermimpi, bahkan bisa melancong ke manca negara dimana ia suka.  Yang namanya “ ketiban berkah revisi UU KPK,”  mengejar-ngejar sendiri, sehingga kelak dikemudian hari setelah SP3 dipegangnya, SN dan ISN bisa kembali ke negeri ini, Indonesia tanah air tumpangannya sambil tertawa dan tanpa malu dan tanpa rasa bersalah. Dalam hatinya, dia akan mengatakan: “kami ini adalah  orang-orang hebat, siapa takut?” sambil mendengkur dia katakan. *****

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles