Rabu, Oktober 2, 2024

Soempah Pemoeda: Puisi Abadi Bangsa dan Negara

Kami Poetra dan Poetri Indonesia

Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe,

Tanah (Air) Indonesia.

 

Kami Poetra dan Poetri Indonesia

Mengakoe Berbangsa Jang Satoe,

Bangsa Indonesia.

 

Kami Poetra dan Poetri Indonesia,

Mendjoengdjoeng Bahasa Persatuan,

Bahasa Indonesia.

(Soempah Pemoeda, Djakarta, 28 Oktober 1928)

 

Kongres Pemuda 1 diselenggarakan pada 30 April-2 Mei 1926, yang diikuti oleh seluruh organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Minahassache Studeerenden, Jong Batak, Jong (Pemuda) Betawi, Jong Celebes, Sekar Roekoen dan Pemuda Timor. Bertujuan untuk membangkitkan semangat kerja sama antara berbagai perhimpunan pemuda dan mencari dasar persatuan bagi Indonesia.

Kongres Pemuda II diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928, melahirkan deklarasi kesadaran kolektif kebangsaan. Rumusan tersebut ditulis dalam teks tertulis dengan ejaan Van Ophuysen oleh Mohammad Jamin (sastrawan kelahiran Sawahluntor-Sumatra Barat, 1903-1962). Imaji liar pada Kongres Pemuda I tersebut adalah menuju arah anak panah persatuan pemuda yang kemudian ditindaklajuti dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan kesepakatan dan Sumpah Pemuda.

Kongres Pemuda I dan II, mengabstrasikan secara imajiner bagiamana Indonesia bisa meng-ada dan atau menjadi kenyataan yang nyata, di mana dari Sabang hingga Merauke yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan dengan beragam suku, adat istiadat dan bahasa berada di bawah kependudukan kolonial. Imajinasi untuk mengabstrasikan Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat harus menjadi ruh perjuangan, dan itu tidak gampang, sehingga untuk mencapai tujuan itu harus dikuatkan dengan adanya Sumpah Pemuda sebagai sebuah konsensus ke-Indonesia-an harus dinyatakan.

Teks Sumpah Pemuda oleh Sutardji Calzoum Bachri (yang distempel sebagai Presiden Penyair) dikatakannya sebagai puisi, Indonesia lahir dari puisi. Teks Sumpah Pemuda yang disetuskan pada tahun 1928 adalah puisi. Ketika para pemuda mencetuskan Sumpah Pemuda, Indonesia belum ada, masih dalam bentuk imajinasi. Dalam puisi, imajinasi adalah hal utama (Sutardji Calzoum Bachri dalam pidato Sastra Mengenang Chairil Anwar, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis, 23/5/2013).

Sumpah Pemuda sebagai puisi terasa dalam unsur rima (pengulangan kata dalam ritma bunyi), yaitu: “Kami Putra dan Putri Indonesia” pada larik pertama, kemudian diulang dalam larik kedua dan ketiga. Sehingga unsur persajakannya terjaga dengan ketat. Pola bersajakannya pun terjaga ketat dengan pola aba-aba-aba dalam susunan bait pertama, kedua maupun ketiga.

Sumpah Pemuda maupun teks Sumpah Pemuda itu sendiri merupakan atau sebagai puisi abadi bangsa dan negara, karena dalam teks puisi Sumpah Pemuda tersebut mempunyai magnetic imajiner dalam 3 (tiga) kutub arus sentral (besar dan terpusat), yakni, sebagai kesadaran kolektif atas Kutub Ketanah-air-an, Kutub (ruh) Kebangsaan, dan Kutub Kebahasaan, yang bernama Indonesia dalam ke-Indonesia-an; dari Sabang hingga Mereuke, menjadi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Ketiga kutub besar magnetik itu membentuk Piramida Segi Tiga Sama Kaki, atau Piramida Segi Tiga Sama Sisi dalam filosofis kesetaraan dan keadilan yang beradab, dimana puncak kesadaran kolektif pada puisi Sumpah Pemuda tersebut adalah untuk mencapai tujuan Indonesia yang merdeka, berdaulat dan berperadaban yang adab atas dasar ke-Tuhan-an Yang Mahaesa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang  tertuang dalam Pancasila itu sendiri.

Piramida Segitiga Sama Kaki atau Piramida Segitiga Sama Sisi dalam puisi Sumpah Pemuda tersebut juga menaifkan adanya politik sectarian, politik identitas dan politik oligarki, bahkan dalam puisi Sumpah Pemuda tersebut merupakan penisbatan terhadap “SARA” (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), dan dengan sendirinya akan terkuburkan karena lahirnya kesadaran kolektif atas dasar ke-tanah-air-an, ke-bangsa-an dan ke-bahasa-aan yaitu Indonesia sebagai bangsa dan negara.

Oleh karena itu, Sumpah Pemuda sebagai puisi abadi bangsa dan negara, akankah lekang dalam perjalanan waktu dalam sejarah? Pertanyaan imajinatif liar seperti itu juga sama halnya dengan imaji liar dalam puisi Sumpah Pemuda tersebut.

Tentu, sebagai puisi abadi bangsa dan negara niscaya tidak akan lekang oleh waktu dan zaman, karena jika puisi abadi bangsa dan negara itu lekang oleh waktu dan zaman, maka kita tidak bisa lagi membaca Indonesia dalam Ke-Indonesia-an. Kita tidak bisa lagi membaca bangsa dalam Ke-bangsa-an, dan kita tidak bisa lagi membaca bahasa dalam Ke-bahasa-an dalam Piramida Segitiga Sama Kaki atau Piramida Segitiga Sama Kaki yang bernama Indonesia.

Sumpah Pemuda sebagai pusi abadi bangsa dan negara akan sangat bergantung pada kesadaran kolektivitas pemuda itu sendiri. Jika unsur persajakan dan rima dalam setiap larik baitnya sirna, maka dengan sendirinya Sumpah Pemuda bukan lagi sebagai puisi abadi bangsa dan negara yang mempunyai megnetik dalam ketiga kutubnya, karena kita tidak lagi punya kemampuan untuk membaca dan melakukan pembacaan atas puisi Sumpah Pemuda tersebut.

Ruh dan maknanya telah sirna dan atau melapuk dalam ketiadaan kesadaran kolektif atas pemuda itu sendiri, karena pemudalah yang akan menentukan arah anak panah ke mana akan melesat jauh. Muhammad Iqbal (Penyair Pakistan) mengingatkan pada kita: Bangsa yang tak punya keberanian seperti Timur/Takkan mampu memupuk dan menempa/Manusia berjiwa “faqr”/Dan takkan pula mampu menaklukan penjajah! (Saiyidain, 1981: 135-136). Penjajah dalam sajak Iqbal tersebut harus dimaknai dalam pendefinisian yang luas, yaitu dalam jajahan atau penjajahan dalam segala bentuk, pengeksploitasian, sehingga bangsa dan negara menjadi bubar dan atau tidak lagi mempunyai kedaulatannya sebagai negara dan bangsa yang merdeka.

Sumpah Pemuda sebagai puisi abadi bangsa dan negara akan tinggal posil dalam puing-puingan puisi yang serekan, yang tak lagi mempunyai magnetik atas ketiga kutubnya. Tercerai berai dalam atom atau kemolekulan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Politik sektarian, politik identitas dan politik oligarki sebagai dan atau merupakan tantangan zaman untuk menjaga dan memelihara keajegan Sumpah Pemuda sebagai puisi abadi bangsa dan negara.

Menghisap sebatang lisong/melihat Indonesia Raya,/mendengar 130 juta rakyat,/dan di langit/dua tiga cukong mengangkang,/berak di atas kepala mereka// Matahari terbit/Fajar tiba/Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak/tanpa pendidikan//Aku bertanya,/tetapi pertanyaan-pertanyaanku/membentur meja kekuasaan yang macet,/dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan//Delapan juta kanak-kanak/menghadapi satu jalan panjang,/tanpa pilihan,/tanpa pepohonan,/tanpa dangau persinggahan,/tanpa ada bayangan ujungnya. (WS Rendra: Sajak Sebatang Lisong).

Sumpah Pemuda sebagai puisi abadi bangsa dan negara akan lenyap berkeping-keping manakala pemuda dan sistem pendidikannya hanya menghasilkan keterasingan akan kehidupan itu sendiri, seperti seonggok jagung dan seorang pemuda.

Seonggok jagung di kamar/tak akan menolong seorang pemuda/yang pandangan hidupnya berasal dari buku,/dan tidak dari kehidupan./Yang tak terlatih dalam metode,/dan hanya penuh hafalan kesimpulan./Yang hanya terlatih sebagai pemakai,/tetapi kurang latihan bebas berkarya./Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan. (WS. Rendra: Sajak Seonggok Jagung).

Untuk itu, bagaimana kemudian kita semua, terutama pemuda untuk bisa menjaga agar Sumpah Pemuda sebagai puisi abadi bangsa dan negara tidak tercerabut dari akar dan filosofisnya yang melesat jauh ke depan, terbebas dari belenggu dan dikotomistik politisasi sektarian, politisasi identitas ke-sara-an dan politisasi-politisasi lainnya, dimana kini kita tengah berada pada suatu masa dimana politik sebagai panglima dan kekuasaan sebagai Tuhannya.

Kita harus menghentikan dan melenyapkan: Hari-hari yang membusuk. terus membusuk. membusuk ke dalam setiap frase. kata-katanya busuk dan membusuk. kalimat-kalimatnya penuh dengan kebusukan. dan maknanya pun niscaya busuk dan membusuk. terus membusuk. hari-hari yang membusuk. terus membusuk. akankah kita menjadi busuk ataukah kita akan membusuk. terus membusuk. hari-hari yang membusuk. terus membusuk. jangan biarkan membusuk dalam peradaban. dimana kita hidup disuatu masa di masa datang. (O’ushj.dialambaqa, Sajak: Hari-Hari Yang Membusuk, Singaraja, Oktober 2021). ***

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles