Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) 1966 yang mengakhiri kekuasaan Soekarno, rezim Orde Lama (Orla) ke kekuasaan Soeharto, rezim Orde Baru (Orba) hingga kini masih menjadi perdebatan dan perbincangan banyak pihak dan kalangan bahkan masih terus dipertanyakan, seolah-olah tak ada ujung pangkalnya. Banyak buku yang terbit mengenai kontroversi kebenaran Supersemar. Buku putih versus buku putih, saling tuding dan saling bantah. Ada yang mengatakan, bahwa Supersemar itu Aspal (asli tapi palsu) bahkan palsu. Ada pula yang mengatakan, itu inkonstitusional. Ada juga yang bilang, itu merupakan kudeta, dan seterusnya.
Buku-buku yang bicara seputar kontroversi Supersemar itu antara lain: Supersemar Palsu: Kesaksian Tiga Jendral oleh A Pambudi, yang berisi hasil wawancara dengan para pelaku sejarah dan para saksi pada saat peristiwa itu terjadi; Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah, penulis Drs Slamet Soetrisno; Kontroversi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, diterbitkan Lembaga Analissi Informasi (LAI); Saksi dan Pelaku GESTAPU, Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, dan mungkin masih banyak buku-buku lainnya yang juga sudah diterbitkan yang terkait dengan Supersemar dan Gestapu PKI 1965, atau yang hanya selintas bicara soal Supersemar, seperti pada biografi, otobiografi atau memoar para tokoh atau jenderal yang terlibat langsung pada kondisi saat itu, dan tulisan-tulisan lepas yang belum dibukukan dan atau belum diterbitkan.
Untuk mennguji apakah benar Supersemar itu palsu, dikarenakan persoalan tanda tangan Soekarno, di mana kebiasaan tanda tangannya ada titik dan garis lurus pendek (.-). Karena adanya dua versi Supersemar yang termuat dalam buku 30 tahun Indonesia Merdeka, terbitan Setneg RI, Jilid III Cetakatan Kelima, 1981 antara lain: Lambang kepresidenan tidak ada, baik pada A maupun B. Tetapi ditulisan Presiden Republik Indonesia, pada A ada di tengah, pada B ada di dekat lambang garuda. Ada 21 perbedaan {bisa dibaca pada buku Kontroversi Supersemar Dalam Transisi Kekuasaan Soekarno-Soeharto, terbitan Lembaga Analisis Informasi (LAI)}. Karena persoalannya pengalihan kekuasaan tersebut merupakan kudeta, sehingga secara konstitusional tidak sah; memalsukan Supersemar. Masing-masing atas versinya sendiri. Kental dengan nuansa kepentingannya masing-masing.
Akan tetapi, ada yang luput dari logika dan kecerdasan kita, karena hampir semua yang angkat bicara berkutat pada formalistik sistem ketatanegaraan ansich. Kemudiaan ada yang berkutat pada sandaran bahwa Soekarno pada saat itu dipaksa (ditodong pakai senjata) oleh tiga Jendral (Basoeki Rachmat, Amir Machmud dan M Jusuf) untuk menyerahkan kekuasaannya melalui Supersemar kepada Soeharto. Padahal yang luput dari logika dan kecerdasan kita itulah yang bisa menjawab kebenaran itu sendiri, sehingga apakah benar Supersemar itu palsu atau memang benar-benar outentik keniscayaannya, karena ditandatangani oleh Soekarno. Artinya, tanda tangannya tidak dipalsukan.
Yang terlupakan itu adalah, jika benar apa yang dikatakan Soebandrio (Waperdam) dan disaksikan Chairul dan Leimena adalah berikut ini. Dr Soebandriio menceritakan kembali peristiwa tersebut:
“Bagaimana, Ban? Kau setuju?” tanya Bung Karno.
Beberapa saat saya diam. Saya pikir, Bung Karno sebenarnya hanya mengharapkan saya menyatakan setuju. Padahal, dalam hati saya tidak setuju.
”Bagaimana, Ban?” tanya Bung Karno lagi.
“Ya, bagaimana. Bisa berbuat apa saya? Bung Karno sudah berunding tanpa kami,” jawab saya.
Lantas dipotong oleh Bung Karno. “Tapi kau setuju?”
“Kalau bisa perintah lisan saja,” kata saya memberanikan diri. Saya lirik tiga Jendral itu melotot ke arah saya, tetapi saya tidak takut. Mereka pasti geram mendengar kalimat saya yang terakhir ini. Tetapi saya tahu, mereka tidak bisa berbuat banyak. Suasana saat itu terus tegang.
Akhirnya saya setuju. Chairul dan Leimena juga mengatakan setuju. Bung Karno lantas teken. Tiga Jendral itu langsung berangkat kembali ke Jakarta menemui Soeharto yang mengutus mereka. Bahkan, mereka menolak ketika ditawari Bung Karno untuk makan malam bersama. “Maaf Pak. Karena hari sudah malam,” ujar salah seorang dari mereka. (A Pambudi: Supersemar PALSU: Kesaksian Tiga Jendral, halaman 59, 2006).
Dari pernyataan dan penjelasan Soebandrio tersebut, maka keniscayaan adanya Supersemar itu adalah benar adanya, dan berarti kepalsuannya bisa terbantahkan, karena Supersemar itu benar ditandatangani oleh Soekarno sendiri dengan meminta persetujuan Soebandrio. Pada akhirnya Soebandrio setuju, Chairul dan Leimena juga setuju, sekalipun dalam hatinya menolak atau tidak setuju.
Argumentasi persoalan tanda tangan Soekarno yang dilihat dari kebiasaan Soekarno dalam tanda tangannya ada titik dan garis lurus pendek (.-), tidak bisa dijadikan ketidakbenaran ansich dan keabsolutismean kebenaran tanda tangan Soekarno.
Soekarno itu dalam banyak hal sangat cerdas, sehingga hanya ada dua kemungkinan untuk melakukaan pembacaan atas tanda tangan tersebut, yaitu: Pertama, karena dalam kondisi yang sangat tegang dan genting, Soekarno sangat sadar betul tanda tangan itu akan menjadi legitimasi hukum ketatanegaraan, dan kemudian akan menjadi tonggak sejarah yang monumental. Maka, tanda tangan itu tidak diakhiri dengan titik dan garis lurus pendek (.-), tanda penghubung dalam tata Bahasa Indonesia. Artinya, membiarkan sejarah dalam kegelapan. Tetapi, itu bisa tetap dalam kegelapan sejarah, jika pernyataan Soebandrio, yang menyangkut juga Chairul dan Leimena terbantahkan bahwa itu bukan pertanyataan dan penjelasan Soebandrio.
Dan, yang kedua, adalah kemungkinan tidak dalam kesengajaan atau dalam ketidaksadarannya, karena situasi dan kondisi yang mencekam. Secara psikologis, itu memang benar-benar jika seperti itu, memang logis, mengingat situasi yang sangat tegang dan genting, sekalipun dalam beberapa buku dikatakan bahwa Soekarno tidak bisa ditekan, ditakut-takuti bahkan sekalipun diintimidasi, karena ketika nyawanya dalam kondisi bahaya oleh peluru atau bedil militer saat itu, tidak pernah gundah apalagi ketakutan. Jika memang benar dalam ketidaksadarannya karena situasi yang tegang dan genting, maka Supersemar itu benar adanya dan benar pula ditandatangani Soekarno itu sendiri. Artinya, Supersemar itu palsu tersebut terbantahkan adanya.
Dalam kondisi tertentu itu menjadi keniscayaan kelebihan Soekarno, tetapi dalam kondisi tertentu juga bisa menjadi sebaliknya, mengingat isu Dewan Jendral yang kemudian menjadi fakta dan realitasnya adalah peristiwa G30 S/PKI yang berdarah-darah, dan kemudian kegetingan situasi dan kondisi terjadi di mana-mana, krisis kepercayaan publik makin meluas, terutama arus gerakan dari kampus dan ormas lainnya, seperti KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia), KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia) dan KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia) dengan Trituranya (Tiga Tuntutan Rakyat); (1) Bubarkan PKI Beserta Ormas-ormasnya, (2) Perombakan Kabinet Dwikora, dan (3) Turunkan Harga Pangan, terus menggema, menuntut Soekarno mundur, lengser dari rezim kekuasaan, dan tentu ada pembonceng (penumpang gelap) lainnya dalam gerakan, dan dalam situasi genting tersebut tak bisa terhindarkan.
Oleh karena itu, jika pernyataan dan penjelasan Soebandrio tersebut tidak ada yang membantah, maka keniscayaan keaslian Supersemar tersebut benar adanya, asli bukan palsu, dalam pengertian bahwa naskah Supersemar tersebut benar-benar asli ditandatangani oleh Soekarno, disaksikan Soebandrio, Chairul dan Leimena.
Bahkan kemudian menjadi autentikasi, bahwa Supersemar itu bukan palsu, sekalipun pemahaman Soekarno pada saat itu (sebelum dan setelah diteken, ditandatangani) berbeda dengan Soeharto. Soekarno menganggap kewenangan untuk pemulihan keamanan, sedangkan Soeharto memahami sebagai pelimpahan kekuasaan, karena ada pengakuan Kolonel Latief; Saya juga bertanya: jadi siapa yang coup de’etat, menggulingkan kekuasaan? Pak Harto atau saya? Saya melapor, kok, dia tidak bereaksi. Malah, kemudian dia menerima Supersemar yang ditandatangani Bung Karno (Saksi dan Pelaku Gestapu: Pengakuan Para Saksi dan Pelaku Sejarah Gerakan 30 September 1965, halaman 98 Penerbit Media Pressindo, 2005).
Maka, untuk mematahkan kebenaran itu, harus ada pembuktian atau bisa dibuktikan bahwa pernyataan dan penjelasan Soebandrio perihal Soekarno meneken (menandatangani) Supersemar itu tidak benar, termasuk pernyataan Kolonel Latief. Tetapi, jika tidak ada bantahan dan atau tidak bisa membuktikan ketidakbenaran pernyataan dan penjelasan Soebandrio dan Kolonel Latief, maka Supersemar itu keniscayaan kebenaran dan keasliannya tak bisa terbantahkan lagi.
Gugatan sejarah menjadi gugur, yang tak bisa terbantahkan adalah tafsir kepentingan berdasarkan versi kepentingan masing-masing, di luar kepentingan kebenaran itu sendiri, tetapi, disadari atau tidak, kegelapan sejarah yang terus menerus menjadi kontroversi mengenai Supersemar, sesungguhnya telah terjawab dengan sendirinya. Mengapa? Karena, hingga kini, baik yang militansi Soekarnoisme atau tokoh-tokoh politik dari PKI semasa masih hidup juga tidak melakukan bantahan atas pernyataan dan penjelasaan Soebandrio dan Kolonel Latief tersebut. Yang terjadi pro dan kontra adalah soal tanda tangan titik dan garis lurus pendek (.-), kertas kepresidenan, Soekarno dibawa todongan senjata tiga Jendral dan Supersemar adalah inkonsitusional.
Argumentasi seperti itu tidak menjadi relevan dan menjadi patah atau gugur untuk mempertahankan perdebatan dan atau gugatan sejarah bahwa Supersemar itu palsu atau dipalsukan. Palsu atau tidaknya dalam menguji kebenaran tanda tangan Soekarno, adalah jika itu benar ditandatangi dan bahkan saat mau ditandatangani minta persetujuan Soebandrio, lantas Soebandrio tak kuasa menolak, begitu juga Chairul dan Leimena juga tak kuasa menolak, kemudian Soekarno teken, maka itu berarti jelas argumentasi untuk mematahkan gugatan sejarah atas Supersemar itu palsu menjadi gugur.
Supersemar itu inkontitusional adalah benar jika dalam kondisi normal. Tetapi persoalan inkontitusional atau konstitusionalkah menjadi tidak penting dalam kondisi genting. Karena, konstitusi akan tunduk pada krisis kepercayaan publik (rakyat) yang meluas, sekalipun secara kontitusional itu pada titik awalnya tidak sah saat itu. Begitu juga secara Tata Negara, tetapi itu semua kemudian tunduk pada krisis kepercayaan publik, sehingga pengambilalihan kekuasaan secara paksa atau kudeta atau apapun namanya, akan menjadi konsitusional akhirnya, karena keadaan yang memaksa.
Jika Supersemar itu dikatakan kudeta kekuasaan dari Soekarno oleh Soeharto, tidak terlampau keliru juga, tetapi, bukan berarti itu benar dikatakan kudeta, bergantung dari sudut mana kita berargumentasi. Sekalipun dan karena, fakta dan realitas sejarah di dunia dan di negara manapun kudeta perebutan atau penggulingan kekuasaan, pastilah dilakukan oleh militer dan atau kekuatan militer.
Akan tetapi, jatuhnya rezim kekuasaan karena krisis kepercayaan publik, mosi tidak percaya rakyat yang meluas, karena kekuatan sipil (people power), itu bukan kekuataan sipil ansich, seperti lengsernya rezim Soeharto, melainkan adanya kekuatan militer yang berpihak pada kekuatan sipil, terbelahnya kekuatan militer, tentu pertimbangannya adalah demi bangsa dan negara. Bedil militer bukan untuk memusnakan rakyat, sekalipun awalnya tidak sedikit rakyat yang mati tertembak, tetapi ketika rakyat bersatu, maka bedil tak lagi bicara. Inilah yang disebut dan atau dikatakan negara beroposisi dengan (kekuasaan) pemerintah yang berkuasa. ***
*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. E-mail: jurnalepkspd@gmail.com