Jakarta, Demokratis
Sebanyak 21,9 persen masyarakat yang tinggal di wilayah yang menggelar Pilkada serentak mengaku ditawari uang atau barang sebanyak satu sampai dua kali untuk memilih calon gubernur tertentu. Sedangkan sebanyak 4,7 persen mengaku ditawari beberapa kali. Sehingga total ada sekitar 26,6 persen masyarakat mengaku pernah ditawari uang. Sebaliknya, sebanyak 70,6 persen masyarakat mengaku tidak pernah ditawari.
“Mayoritas mengaku tidak pernah ditawari uang atau barang agar memilih calon gubernur tertentu. Namun, sebanyak 21,9 persen responden yang tinggal di wilayah yang menggelar pelaksanan pilkada mengaku pernah,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, dalam rilis temuan survei “Pilkada dan Politik Uang di Massa Covid-19”, di Jakarta, Minggu (10/1/2021).
Sedangkan, di tingkat pemilihan walikota, sebanyak 22,7 persen masyarakat mengaku pernah ditawari uang atau barang sekali atau dua kali, 68,9 persen mengaku tidak pernah, sebanyak 5,7 persen mengaku ditawari beberapa kali dan sebanyak 2,7 persen tidak jawab.
Yang menarik adalah, ada sebanyak 29,7 persen masyarakat menganggap wajar menerima uang dari peserta Pilkada. Kemudian, sebanyak 69,9 persen menganggap tidak bisa diterima atau tidak wajar, dan sebanyak 0,4 persen tidak tahu.
“Sekitar 29 persen pemilih menilai politik uang wajar. Jumlahnya berimbang antara wilayah Pilkada dan tanpa Pilkada,” kata Djayadi.
Ketika ditanyakan lebih lanjut terkait sikap terhadap politik uang, sebanyak 21,2 responden mengaku akan menerima dan akan memilih calon yang memberikan uang. Kemudian sebanyak 7,6 persen akan memilih calon yang memberikan uang banyak, 63,1 persen akan menerima uang tapi masalah memilih calon ditentukan sendiri, dan 7,1 persen tidak menerima pemberian tersebut.
Survei LSI kali ini menggunakan kontak telepon kepada responden dengan sampel sebanyak 2.000 responden yang dipilih secara acak. Survei dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada 11-14 Desember 2020. Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 2.000 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error – MoE) sekitar ±2.2% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. (Red/Dem)