Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Taman Makam Pahlawan Bagi Kita

SEJAK Taman Kanak-Kanak hingga Perguruan Tinggi, buku sekolah mengajarkan bahwa Taman Makam Pahlawan adalah taman dari makan para pahlawan yang telah gugur. Di luar bangku sekolah, kita pun menerima penjelasan bahwa Taman Makam Pahlawan adalah tempat dikuburkanya orang-orang yang telah meninggal dunia yang dianggap sebagai pahlawan atau orang-orang yang telah berjasa (besar) terhadap bangsa dan negara.

Keberadaan Taman Makam Pahlawan kini ada di setiap daerah; kabupaten, kota, provinsi dan pusat – nasional, bahkan mungkin ada di setiap desa dan kecamatan pada suatu saat (seperti halnya pemekaran desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi), ketika pahlawan itu dianggap sebagai status sosial dan martabat primordialisme.

Lalu bagaimanakah riwayatmu kini Taman Makam Pahlawan? Apakah setiap orang yang meninggal dunia (dianggap pahlawan) berhak di Taman Makam Pahlawan?

Meletakan status pahlawan (kepahlawanan), tentu tidak begitu saja dan atau tidak secara serta merta untuk setiap orang. Secara sosiologi politik, orang-orang seperti Karl Max, Stalin, Musolini, Bresnev, Mao Zethong, Hitler, Idi Amin, Reza Pahlevi, Sadam Husain, Polpot dst pastilah tidak bisa dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, seandainya hidup di negeri republik yang berdasarkan demokrasi dan atau Islam, atau negeri ini yang bernama Indonesia. Secara sosiologi politik, setiap orang bisa disebut sebagai pengkhianat, sparatis, teroris dsb dalam stigma hitam, karena sebagai ancaman terhadap kelangsungan negara. Oleh karena itu, status pahlawan menyangkut persoalan definisi, standar, parameter, sistem negara (baca: idiologi negara) yang bersangkutan serta sistem nilai yang digunakan.

Pahlwan versi negara juga mesti dipetakan lagi, karena ada negara yang berideologi sosialis (komunis), demokrasi, monarki, Islam dan fasis. Orang-orang seperti Karl Max, Stalin – Bresnev (Rusia), Musolini (Italia), Mao Zedhong (Cina), Adolf Hitler (Jerman Timur), Idi Amin (Uganda), Reza Pahlevi (Iran), Sadam Husain (Irak), Polpot (Kamboja) dst di negara yang menganut sistem demokrasi dan Islam, pastilah tidak bisa disebut sebagai pahlawan dan tidak bisa dikuburkan di Taman Makam Pahlawan. Tetapi orang-orang seperti Karl Max, Stalin, Bresnev, Mao Zedhong, Polpot dst pastilah disebut sebagai pahlawan di negara sosialis dan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan. Orang-orang seperti Musolini dan Hitler dst pastilah disebut sebagai pahlawan di negeri fasis dan dikuburkan di Taman Makam Pahlawan. Orang-orang seperti Idi Amin, Reza Pahlevi, Sadam Husain dst disebut sebagai pahlawan di negeri diktator (monarki diktator) dan pastilah dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Pahlawan adalah (orang yang) sangat gagah berani; pejuang yang gagah berani atau yang terkemuka. Definisi pahlawan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia – WJS Poewadarminta sudah tidak memadai lagi untuk merepresentasikan apa itu pahlawan dalam konteks sejarah kekinian, terutama parameter mengenai (orang yang) gagah berani, pejuang gagah berani atau yang terkemuka.

Dalam kacamata politik (kekuasaan) akan berbeda tafsirannya. Secara politik (orang yang) gagah berani, pejuang gagah berani atau yang terkemuka adalah orang yang berani melakukan pembungkaman, pembantaian dan pemusnahan terhadap setiap orang yang tidak sejalan dengan kepentingan politik kekuasaannya. Ataukah pejuang yang gagah berani itu yang melawan penjajah asing?

Dan bagaimana bila penjajah itu sudah tidak ada seperti sekarang ini, jika penjajah tersebut ditafsirkan hanya perlawanan fisik dari bangsa asing? Maka, untuk menjaga kemurnian atau hakiki (ke)pahlawan(an), menjadi sangat perlu untuk mendekontruksi definisi pahlawan dengan menggunakan standar pengukuran yang terukur dengan jelas dan pasti, agar tidak manipulatif, termasuk azas politik ideologi negaranya, yakni demokrasi sebagai alat ukur dan sistem nilai, termasuk standar dan parameter moralitas.

Untuk bisa disebut sebagai pahlawan, harus memberikan kejelasan mengenai apakah yang baru bisa dikatakan pahlawan yaitu setiap orang yang sepanjang hidupnya gagah berani, yang terkemuka membela kelangsungan hidup ideologi negaranya ataukah kepentingan golongan (kelompok) politiknya, yakni wilayah privat dalam ruang publik, bukan kepentingan publik. Bila tidak sepanjang perjalanan hidupnya, apakah menggunakan pengukuran sepanjang ¾, ½, 1/8, ¼, dan seterusnya? Atau setiap orang yang berbuat kemanusiaan, yang tak perlu dikorelasikan langsung dengan persoalan ideologi negara?

Pengukuran ¾, ½, 1/8, ¼ yang dijadikan standar dan kriteria untuk menetapkan status pahlawan, apakah dinilai dari awal atau akhir ataukah dari antara awal dan akhir hidupnya? Dan apakah jika dalam perjalanan hidupnya pernah terlibat KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) berdasarkan hukum tetap, atau fakta material publik, atau memperkaya diri sendiri dan atau orang lain, statusnya bisa menjadi pahlawan?

Setiap orang tidak menutup kemungkinan berada dalam dua jalan apakah sebagai pejuang atau pengkhianat atau berkhianat dalam perjalanan hidupnya. Apabila kita berpijak dari teologi (agama apapun) dalam konteks pertaubatan, maka setiap orang yang dikatakan baik dalam hidupnya adalah setiap orang yang dalam perjalanan hidupnya dan atau pada akhir hayatnya dalam perjalanan kebaikan.

Kriteria (ke)pahlawan(an)nya juga harus ada standar pengukurannya. Wilayah (ke)pahlawan(an)nya pun harus jelas. Sehingga, apakah sebagai pahlawanan nasional ataukah pahlawanan daerah (lokal), terlepas dari persoalan kearifan lokal yang sekarang ini menjadi manipulatif dan atau kerancuan primitivisme feodalistik.

Itu semua harus jelas. Sehingga, tidak setiap polisi dan tentara (militer). Militer tidak harus didefinisikan dengan persoalan seragam tetapi harus didefinisikan dengan orang-orang yang dilengkapi dengan senjata dan persoalan mindset kemiliteristikkan, presiden, gubernur, wali kota, bupati, pejabat negara, politisi, birokrat dan pejabat lainnya, dst yang meninggal dunia dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, karena dianggap sebagai pahlawan.

Negara berhak memberikan status pahlawan (kepahlawanan) pada setiap orang untuk kepentingan kenegaraan, dan negara pun wajib memberikan gelar kepahlawanan bagi setiap orang untuk kepentingan kenegaraan. Hak mengusulkan dan berpendapat baik pribadi maupun berserikat, dalam sistem demokrasi adalah merupakan kedaulatan atas kesadaran privat maupun kesadaran kolektif. Dalam sistem demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan, terlebih suara rakyat yang banyak, yang bisa dimanipulatif sebagai banyak-banyakan suara sebagai dasar pijak pengambilan kebijakan publik. Maka, suara Tuhan adalah suara kebenaran. Sehingga, suara yang tidak mengandung kebenaran adalah bukan suara Tuhan. Apalagi suara yang terbanyak itu suara yang tidak mengandung kebenaran (manipulasi), maka sama sekali bukan suara Tuhan.

Karena, suara rakyat adalah suara Tuhan dan suara Tuhan adalah suara kebenaran, maka setiap suara harus terukur kebenarannya dan harus dilakukan pengujian untuk pembuktian kebenarannya, agar suara itu menjadi suara Tuhan. Sebab, agama apapun baik yang samawi maupun agama yang bukan samawi sampai animisme, sesuatu yang trasendental, pastilah mengatakan, Tuhan tidak pernah mau berbohong atau merekayasa. Suara Tuhan adalah suara kebenaran, dan kebenaran adalah suara Tuhan (O’ushj.dialambaqa: Demokrasi dan Penghancuran Demokrasi).

Oleh sebab itu, usulan dan pendapat mengenai pemberian gelar pahlawan harus dilakukan pengujian atas kebenarannya, sesuai dengan definisi, standar, parameter dan sistem nilai yang jelas, sehingga suara itu menjadi suara Tuhan, yaitu suara kebenaran.

Dengan demikian, kita bisa menjaga kemurnian Taman Makam Pahlawan dan keluhuran pahlawan, riwayatmu dulu dan riwayatmu kini. Karena, tidak setiap polisi, tentara, presiden, gubernur, wali kota, bupati, pejabat negara, politisi, birokrat dan pejabat lainnya atau setiap orang karena kekuatan politis dan kekuasaannya bisa dikuburkan di Taman Makam Pahlawan, karena dianggap sebagai pahlawan, seperti Taman Makan Pahlawan riwayatmu kini.

Bagi pahlawan, Taman Makan Pahlawan amatlah tidak berarti apa-apa dan tidak penting lagi baginya, karena kepahlawanan (baca: kebaikannya) merupakan persoalan ibadat, tapi bagi negara, Makam Taman Pahlawan menjadi sangatlah penting, karena Taman Makam Pahlawan dan pahlawanan adalah simbol sebuah negara, simbol adanya kemerdekaan dan kedaulatan negara. Bagi kita, menjaga ke-taman-an merupakan keharusan, dan menjadi sangat penting dalam kesejerahannya. Maka, bagi kita, Taman Makan Pahlawan merupakan identifikasi negara dan ke-pahlawan-an seseorang, karena negara tanpa Taman Makam Pahlawan menjadi sangatlah naïf. Maka, ke-pahlawan-an menjadi persoalan yang teramat penting, sehingga kita tidak begitu saja mendudukkan seseorang dianggap sebagai pahlawan, karena ia sebagai pejabat negara, militer (polisi dan tentara), dan atau status dirinya sedang berada dalam penyelenggaraan pemerintahan (negara), lantas (bisa dan atau harus) begitu saja dikuburkan di Makam Taman Pahlawan, seperti realitas riwayatmu kini yang tak bisa terbantahkan lagi. Kerancuan logika dan berfikir, sungguh memedihkan riwayatmu kini. Taman Makam Pahlawan telah kehilangan benang merah atas kepahlawanannya, riwayatmu kini. ***

*) Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Desa Singaraja. HP/WA: 0819 3116 4563. E-mail: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles