Senin, September 30, 2024

Teori Atau Metode Penemuan Hukum Islam

I.

Pendahuluan

Menurut para ahli ushul fiqh, hukum Islam merupakan instruksiwacana (khitab) Allah kepada para hamba-Nya. Sebagai khitāb, manusia hanya bertugas mengenali dan menemukannya melalui tanda-tanda yang diberikan Allah. Dengan kata lain, hukum syari’ah merupakan mandiscovered law dan bukan man-made law. Hal ini, tampak dalam ungkapan Coulson, Tuhan yang merencanakan, manusia yang memformulasikannya.

Dengan demikian dapat dipahami, bahwa hukum tidak selalu merupakan barang siap pakai, melainkan harus dicari dan ditemukan. Oleh karena itu, penemuan hukum merupakan suatu hal yang inheren dalam setiap sistem hukum, termasuk hukum Islam. Dan menemukan hukum haruslah dari sumber hukum itu sendiri. (Zaidah, 2017)

Membicarakan sumber hukum merupakan merupakan persoalan polemik antara ahli ilmu tasauf dan ahli fiqih. Menurut Juhaya S. Praja, ahli Tasauf berpendapat bahwa sumber hukum Islam, secara hakiki adalah Allah, sementara ahli fiqh berpendapat bahwa sumber hukum Islam itu adalah Quran sebagai dalil hukum. Al Ghazali berpendapat bahwa yang  dimaksud dengan sumber utama adalah al qur’an, sementara as Sunnah sekalipun sifatnya wahyu, hanya berfungsi sebagai sumber hukum penjelas atau pemberita (mukhbir) tentang hukum Allah. (Zaidah, 2017)

Dalam upaya menemukan hukum yang digali dari sumbernya, para pengali hukum Islam seyogianya bertitik tolak dari prinsip kemaslahatan dengan metode yang telah ditawarkan oleh para pendahulu yang ahli dibidangnya. Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh al Quran dan hadis. Oleh karenanya dengan berbagai macam teori atau metode yang diterapkan diharapkan akan dapat menemukan hukum-hukum dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Demikian pula dengan metode yang diberlakukan dalam suatu negara menurut hukum Islam yang telah dikemukan oleh para Juris Islam (fuqaha) dan sangat mendasar metode yang mereka temukan, seperti pemahaman hukum yang terdapat dalam teks hukum dikaji dengan dengan metode hermeneutika maupun dari segi bahasanya yang disebut Ushul Fiqh. (Zaidah, 2017)

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ushul fiqh adalah ilmu yang terdiri dari aturan aturan umum untuk membantu para mujtahid untuk memecahkan permasalahan permasalahan agama baik untuk masa dahulu, sekarang maupun yang akan datang. Jadi, dapat dikatakan bahwa tidak mungkin orang dapat sampai pada kesimpulan fikih kalau ia tidak mengetahui ilmu Ushul Fiqh ini. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fiqh maka kata kunci yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.

Jumhur ulama sepakat bahwa obyek kajian ilmu ushul fiqh adalah kaidah-kaidah atau metode istinbat hukum. Di dalam ilmu Ushul Fiqh dirumuskan metode memahami hukum Islam dan memahami dalildalil hukum yang mana dengan dalil dalil tersebut dibangun hukum Islam yang ketentuan hukumnya sesuai dengan akal sehat (a reasionable assumption). (Zaidah, 2017)

Imam Syafi’i adalah orang yang mempunyai jasa dan andil yang besar sebagai pendiri atau guru arsitek ushul fiqh dalam kitabnya ar Risalah yang tidak hanya karya pertamanya membahasa Ushul Fiqh, tetapi juga sebagai model bagi ahli-ahli hukum dan para teorisasi yang muncul. Imam Syafi’i,5 adalah orang pertama kali mengembangkan Ushul Fiqh dan ia disebut sebagai inspirator yang berjasa besar atas bersatunya dua kelompok fiqh sebelum kedatangannya, yakni ahlul hadis (yakni aliran fikih yang berpegang pada makna tekstual nash) dan ahlul-ra’yi (aliran fikih yang melihat substansi dan maksudmaksud nash). Imam Syafi’i juga disebut sebagai pendiri metode Iṣtinbāt (deduction) dalam penyusunan kaidahkaidah Ushul fiqh. Coulson menjulukinya sebagai “The Maṣter Architect”. (Zaidah, 2017)

Hasil pemikiran Imam Syafi’i di bidang metodologi ini dianggap yang pling mencakup dan sistematis pada masanya., karena itu sampai batas tertentu dianggap sebagai koreksi dan penyempurnaan atas kaidah kaidah yang disusun dan digunakan oleh Imam Abu Hanifah (150 H/767 M) dan Imam Malik (179 H/795 M) dan ulama lain pada masa itu, Kaidah kaidah ini pada masa belakangan dilengkapi dan disempurnakan lagi, terutama sekali oleh ulama generasi al Ghazali (abad kelima Hijriah) dan setelah itu generasi Fakhrs al Din al Razi (abad ke enam), sehingga di tangan mereka ini dianggap baku dan sempurna. (Zaidah, 2017)

II.

Pengertian Teori / Metode Penemuan Hukum Islam

Dalam istilah ilmu Ushul Fikih teori atau metode penemuan hukum dipakai dengan istilah ”istinbath”/thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya. Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fiqh. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum. (Zaidah, 2017)

Kajian metode penemuan hukum Islam ini ada yang menyebutnya dengan istilah metode hukum Islam biasanya berkenaan dengan teori klasik tentang sumber hukum Islam, baik di kalangan ahli hukum Islam maupun para pakar hukum Barat. Oleh karena itu fungsi dan sifat sutu metode tidak dapat dipisahkan, bahkan dipengruhi sifat sifat sumber hukum itu sendiri. Fakta historis menunjukkan bahwa pemahaman hukum Islam yang jelas ditempuh para sahabat Nabi telah mampu memberi peran penting dalam menampakkan karakteristik hukum Islam yang dinamis dan elastis seiring dengan tuntutan zaman yang dihadapi. Pembahasan metode dan sumber hukum ini terasa semakin penting dikemukakan karena selama ini masih terdapat diskursus sekitar penempatan ijma, qiyas, istihsan dan lainnya sebgai dalil hukum Islam pada satu sisi dan sebagi metode hukum pada sisi lainnya.

Konsep penemuan hukum merupakan teori hukum terbuka yang pada pokoknya bahwa suatu aturan yang telah dimuat dalam ketentuanketentuan hukum yang ada dalam alQuran dan al-Hadis serta hukum postif (baca ; undang-undang, qanun dan fiqh) dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak ada diubah kata-katanya guna direlevasikan dengan fakta konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum karena terjadi kekosongan hukum, baik karena belum ada undang-undangnya maupun undang-undang tidak jelas.(Zaidah, 2017)

III.

Bentuk Teori / Metode Penemuan Hukum Islam

Dalam hukum Islam, para juris muslim telah mengembangkan model penemuan hukum secara seksama guna menterjemahkan hukum Islam dalam realitas kehidupan. Model penemuan hukum dapat dilakukan dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya. Ahli Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syari’ah dan kaidah lughawiyah. Ali Yasa Abu Bakar berpendapat bahwa harus dibedakan antara dalil dan metode. Dalil menurutnya adalah hanya al Qur’an dan as Sunnah (dalil al munsyi’) sedangkan dalil selebihnya (dalil al muzhhir) dianggap sebagai metode, yang dikelompokkan menjadi : Pertama, Metode lughawiyyah (penalaran yang bertumpu pada kaidah kaidah kebahasaan), kedua Metode Ta’liliyyah (pertimbangan yang bertumpu pada ilat (rasio legis), ketiga Metode istishlahiyyah (pertimbangan yang bertumpu pada kemashlatan atau tujuan pensyariatan. (Zaidah, 2017)

Senada dengan hal tersebut Salam Mazkur menyebutkan bahwa bentuk bentuk metode hukum Islam bergantung pada landasan yang dipergunakan dalam berijtihad atau beristinbah, Menurutnya berdasarkan penelusuran terhadap ijtihad para sahabat terdapat tiga model pemikiran hukum (ijtihad), yakni ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad istislahi. Ketiga model ijtihad tersebut dalam telaah Juhaya S. Praja tampaknya di kategorekan dalam dua metode, yaitu metode naqliyah (metode bayani) dan metode aqliyah metode qiyasi dan istislahi). Pengelompokan ini didasarkan kepada karakter sumber hukum Islam sendiri yang merupakan gabungan antara wahyu Allah dan ijtihad manusia. (Zaidah, 2017)

  1. Ijtihad Bayani

Ijtihad ini berusaha menjelaskan makna makna nash yang masih memerlukan kejelasan (mujmal). Ketika para fukaha berbicara tentang sebuah dalil dari al Qur’an dan as Sunnah, sebenarnya yang mereka maksudkan adalah keputusan hukum yang digali dari ungkapan khusus suatu ayat atau hadis, berdasarkan salah satu kategori ungkapan bahasa. Ungkapan atau istilah dikategorikan menurut hubungan dikenal dengan kejelasan (wuduh)), implikasi (dilalah), dan cakupan (syumul). Pada dalil dalil linguistic (bayani) berbasis nas, yakni berdasarkan implikasi (dilalat) yang termuat oleh terma terma tersebut. memunculkan empat kategori penunjukan makna (aldalalah).

Menurut Jaser Audah ada dua klasifikasi yang sangat mirip yang disahkan oleh semua mazhab, sekalipun dalam istilah istilah yang berbeda tipis, yakni klasifikasi versi Hanafi dan versi Syafi’i. Perbedaan dalam klasifikasi/urutan kias jali (kias aula) dan isyarah menghasilkan sejumlah perbedaan dalam keputusan hukum fiqh antara mazhab Hanafi dengan mazhab fikih lainnya (yang secara umum mengikuti klasifikasi versi Syafi’i). (Zaidah, 2017)

Kemudian jika dilihat segi luassempitnya cakupan pernyataan hukum dalam penafsiran kebahasaan in, perbedaan teoritis terkait hubungan antar kategori yang dihasilkan menyebabkan beberapa perbedaan pendapat pada tingkatan fikih praktis.

Dilihat dari segi luas sempitnya cakupan pernyataan hukum dalam metode linguistic ini ditemukan pernyataan hukum yang bersifat ‘āmm dan khās, muṭlaq dan muqayyad, haqiqi dan majazi, serta musytarak. Para fakih sepakat bahwa terma khusus itu pasti/qath’i dalam implikasinya, sehingga tidak dapat menjadi dugaan/zhanni berdasarkan hepotesa apapun. Akan tetapi para fakih berbeda akan “kepastian” terma umum. Mazhab Hanafi menilai bahwa terma umum itu qat’i sedangkan seluruh mazhab yang lain menilai bahwa terma umum itu zhanni, sehingga dapat di takhsiskan.

Perbedaan pendapat ini memiliki dampak pada nas nas yang dinilai “bertentangan”. Demikian pula perbedaan pendapat yang senada juga terjadi terkait cara mazhab fikih berhubungan dengan ungkapan yang “terbatas”/muqayyad) dan tidak terbatas (mutlaq). (Zaidah, 2017)

Mazhab Hanafi berpendapat muqayyad membatasi mutlaq selama masalahnya sama, sedangkan Mazhab lainnya berpendapat bahwa muqayyad membatasi mutlaq selama masalah dan hukumnya sama. Dari segi luas-sempitnya cakupan pernyataan hukum dikenal adanya kategori perintah (amr) dan larangan. Menurut pendapat jumhur, perintah itu sendiri, apabila tidak disertai dengan petunjuk-petunjuk atau kejelasan yang memberinya makna khusus, menyatakan kewajiban atau hanya permintaan yang tegas. Tetapi hal tersebut dapat berubah apabila ada petunjukpetunjuk lain yang dapat menarik perintah kepada mubah, sunah bahkan variasi makna lainnya. Dalam nahy juga menimbulkan suatu tunjukan makna (dilalah an nahy) antara lain : menunjukan haram, makruh, dan mengarahkan. Metode yang berkenaan dengan ijtihad bayani ini dapat berupa metode tafsir, ta’wil, jam’u, nasakh bahkan metode tarjih dalam menyelesaikan lafazh lafazh yang diduga mengandung pengertian kontradiktif. Semua metode ini dinamakan pula metode tarjih, metode ijtihad intiqa’i. (Zaidah, 2017)

  1. Ijtihad Qiyasi

Ijtihad qiyasi ini adalah ijtihad yang berusaha menyberangkan hukum yang telah ada ketentuan nashnya pada masalah masalah baru yang belum ada hukumnya karena adanya kesamaan illat hukum. Langkah yang ditempuh untuk menemukan hukum ketika tidak ada atau tidak ditemukan teks hukumnya adalah dengan memperluas cakupan teks hukum tersebut sehingga mampu mencakup dan menjawab kasus-kasus yang tidak ada nasnya. Untuk melakukan perluasan cakupan teks hukum yang ada, dilakukan penyelidikan terhadap ketentuan hukum yang sudah ada di dalam teks hukum guna mengkaji dan menemukan atribut atau ‘illat yang melandasi atau menjadi dasar penetapannya. Setelah ditemukannya ‘illat, maka hukum tersebut diperluas hingga mencakup kasus lain sejenis yang secara harfiah tidak tercakup dalam pernyataan tekstual hukum yang ada. Sebagian ada juga yang menyebutnya dengan ijtihad qiyasi/ijithad ta’lili/(kausasi, qiyasi) merupakan jawaban metodologis atas kasus baru yang tidak tercakup dalam redaksi nash. Ijtihad ini ditempuh dengan menggunakan metode qiyas bahkan menggunakan metode istihsan. (Zaidah, 2017)

  1. Metode Qiyas/Kias (analogi) Qiyas juga didefinisikan dengan menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nahṣ-nya dengan sesuatu hukum yang ada nash-nya, dengan asumsi adanya persamaan ‘illat. Dalam epistemologi usul fiqih diuraikan bahwa rukun-rukun qiyas meliputi empat unsur pokok. Kias dinilai sah sebagai sumber legislasi sekunder oleh keempat mazhab sunni , muktazilah dan ibadi. Namun menurut Syiah Ja’fari, Zaidi, Zahiri dan beberapa mazhab Mu’tazilah menggambarkan kias sebagai legislasi berdasarkan pemikiran sehingga bersifat zhanni, dan merupakan sebuah bid’ah. Ibn Hazm mengartikulasikan posisinya dengan menunjuk kias sebagai “suatu keputusan (hukum) tanpa pengetahuan yang mantap, (hanya) mengikuti dalil dalil yang tidak pasti (zhanni). Ibn Hazm juga mengkritisai tokoh yang mendukung legitimasi kias berdasarkan ijma, berdasarkan pandangan bahwa ijmak tidak pernah terbukti. Beliau diikuti mazhab Zahiri secara umum mempertimbangkan pengertian literal hanya dari al Quran dan hadis untuk mempertimbangkan legitimasi dalam hukum Islam (fikih). Ja’fari, Zaidi daaan Mu’tazilah menerima kias jika illat disebutkan dalam nash daaan bukan perkiraan (mazhab lain menyebutkan bahwa bentuk ini adalah bagian darrriii penggalian hukum berdasaaarrrkan analisis bahasa). Mazhab ibadi memasukkan kias dalam penalaran umum yang mereka sebut dengan al ra’yu. (Zaidah, 2017)
  2. Metode Istihsan. Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut al-Ghazali di dalam kitabnya alMustashfa juz I : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”. Para imam mazhab memandang istihsan terbagi kepada beberapa pendapat. Syafi’I, Ja’fari, Zaidi dan Zahiri menilai istihsan sebagai dalil yang tidak terlegitimasi dan “dugaan”. Imam al Syafi’I dan Ibn Hazm memandang istihsan sebagai pilihan berdasarkan keinginan dan suatu sumber kontradiksi. Disisi lain Hanafi, Maliki, Ibadi, Hanbali dan Muktazilah mengesahkan istihsan sebagai sumber legislasi. Bahkan Imam Malik mendeskripsikan istihsan sebagai 90% pengetahuan fiqh. Beliau menganggap bahwa istihsan memuat suatu pertimbangan yang mendalam terhadap factor factor tertentu, yang seharusnya mengubah keputusan hukum yang biasanya diambilseorang fukaha. Faktor faktor ini yang disebut sebagai dasar dasar istihsan yang dapat dibagi kepada menganggapnya kebaikan. Menurut al-Ghazali di dalam kitabnya alMustashfa juz I : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”. Para imam mazhab memandang istihsan terbagi kepada beberapa pendapat. Syafi’I, Ja’fari, Zaidi dan Zahiri menilai istihsan sebagai dalil yang tidak terlegitimasi dan “dugaan”. Imam al Syafi’I dan Ibn Hazm memandang istihsan sebagai pilihan berdasarkan keinginan dan suatu sumber kontradiksi.

Di sisi lain Hanafi, Maliki, Ibadi, Hanbali dan Muktazilah mengesahkan istihsan sebagai sumber legislasi. Bahkan Imam Malik mendeskripsikan istihsan sebagai 90% pengetahuan fiqh. Beliau menganggap bahwa istihsan memuat suatu pertimbangan yang mendalam terhadap factor factor tertentu, yang seharusnya mengubah keputusan hukum yang biasanya diambilseorang fukaha.

Faktor faktor ini yang disebut sebagai dasar dasar istihsan yang dapat dibagi kepada enam kategori, yaitu nas, ijmah, keniscayaan (daruriyah), kias, kemaslahatan umum dan urf). (Zaidah, 2017)

  1. Ijtihad istislahiah. Ijtihad istislahi adalah ijtihad terhadap masalah masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya dalam secara khusus atau tidak ada nash yang serupa alasannya Penetapan hukum dilakukan berdasarkan pendekatan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum.

Dengan demikian ijtihad istilahi adalah beupa upaya perenungan hati melalui proses nalar. Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis.

Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran istihlahi ini tampak dalam beberapa metode ijtihad,antara lain dalam metode almashlahah al-mursalah dan saddudz-dzari’ah. (Zaidah, 2017)

  1. Metode Maslahah Mursalah. Maslahah Mursalah berarti kepentingan yang tidak terbatas, tidak terikat, atau kepentingan yang diputuskan secara bebas. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’t dan tidak ada illat yang keluar dari syara yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan maslahah mursalah.

Tujuan utama masalih al mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya. Teori masalih al mursalah ini terikat pada konsep bahwa syariah ditujukan untuk kepentingan masyarakat, dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kemudlaratan. Terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama ketika menjelaskan merode ini Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat dari mashlahah adalah memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’ dalam penetapan hukum itu ada lima yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Sedang menurut Asy-syatibi mengartikan mashlahah dari dua pandangan yaitu dari terjadinya mashlahah dalam sumber tersebut tidak selamanya tegas dan terperinci oleh karena itu dibutuhkan ijtihad untuk menemukan hukum yang bersumber dari keduanya.Dalam upaya menemukan hukum dan penerapan hukum para pengali hukum Islam seyogianya bertitik tolak dari prinsip kemaslahatan dengan metode yang telah ditawarkan oleh para pendahulu yang ahli dibidangnya. Kedua, Metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) maupun dengan menggunakan kaidahkaidah Ushuliyah lainnya. Ketiga, Bentuk metode hukum Islam tidak dapat dipisahkan dengan objek kajian dan orientasi model metode ijtihad tersebut.

Kaum usuliyyun (para teoritisi hukum Islam) walaupun berbeda istilah merumuskan tiga teori/metode penemuan hukum Islam, pertama teoro/metode interpretasi kebahasaan, Metode Kausasi (at ta’lili/istislahiah) adalah upaya penggalian hukum terhadap masalah masalah yang tidak ditujukkn hukumnya dalam nash secara khusus atau tidak ada nash pada masalah yang serupa alasannyakedua metode metode interpretasi yang di dasarkan pada kesamaan (illat) hukum dan terakhir metode penyelarasan/sinkronisasi.(Zaidah, 2017)

IV.

Metode Penemuan Hukum Islam

  1. Metode Interpretasi Literal.

Metode interpretasi literal merupakan metode penemuan hukum yang dilakukan dengan cara menjelaskan teks-teks hukum Islam yang ada dalam al-Qur’an dan hadis.

Jadi, persoalan yang dihadapi sebenarnya sudah ada teks hukumnya, hanya saja teks hukum tersebut tidak jelas atau tidak lengkap. Obyek metode ini adalah teks hukum alQur’an dan hadis dengan melihatnya dari beberapa segi. Pertama segi terang dan samarnya makna atau pernyataan hukum, sehingga ditemukan pernyataan hukum yang jelas (zahir ad-dalalah) dan tidakjelas (khafi ad-dalalah). Kedua, dari segi penunjukan kepada makna yang dimaksud. Ketiga, dilihat dari luas sempitnya cakupan makna dalam suatu pernyataan hukum Keempat, dari segi bentuk-bentuk taklif meliputi amor (perintah) dan nahi (larangan).(Riyanta, 2008

  1. MetodeTa’lili

Metode ta ‘lili adalah meneliti secara seksama fondasi yang menjadi dasar konsepsi hukum. Pondasi ini merupakan sebab adanya hukum baik berupa ”Mat hukum maupun tujuan-tujuan hukum. Oleh karena itu metode ini terbagi menjadi dua, yaitu metode qiyasi dan teleologis.(Riyanta, 2008)

  1. Metode qiyasi Metode ini dilakukan karena tidak adanya nas yang secara langsung mengatur persoalan yang dihadapi. Karenanya, dalam rangka memperluas ketentuan syari’ah yang telah ada kepada kasus-kasus serupa, maka mujtahid harus menentukan ‘illat yang sama antara kasus asal dan kasus baru. Tanpa menentukan ‘illat yang sama antara kedua kasus itu, maka tidak ada analogi yang bisa dibangun.

Dengan ditemukannya ‘illat, hukum tersebut bisa diperluas sehingga mencakup persoalan lain yang secara lahiriyah tidak tercakup dalam teks hukum yang ada. Apa yang dilakukan ahli hukum pada metode ini merupakan bina’ al-ahkam ‘ala al- ‘illah.

  1. Metode Teleologis Telah dikemukan bahwa metode ta ‘lili dilakukan, di samping dengan mengkaji pondasi yang menjadi alasan keberadaan hukum berupa ‘illat, juga mengkaji pondasi yang menjadi alasan keberadaan hukum berupa tujuan-tujuan hukum (maqasidal-syari ‘ah). Langkah kedua ini dilakukan jika tidak diketemukan kasus paralel yang bisa diketemukan ‘illat-nya.
  2. Metode Sinkronisasi

Harus diakui, meskipun hanya secara lahiriyah, seringkali terjadi pertentangan (to ‘arud) antara kandungan salah satu dalil dengan kandungan dalil lain yang sama derajatnya. Pertentangan itu dapat terjadi antara ayat al-Qur’an dengan ayat alQur’an, hadis mutawwatir dengan hadis mutawwatir, antara qiyas dengan qiyas yang lain dan sebagainya. Dianggap tidak terjadi pertentangan (ta ‘arud) apabila antara dua dalil itu tidak sama derajatnya, misal, yang satu berupa ayat al-Qur’an yang lain berupa hadis. Demikian juga ta ‘arud tidak akan terjadi kalau tidak berkumpul dua dalil yang berlawanan pada tempat dan waktu yang sama. (Riyanta, 2008)

Metode Penemuan Hukum (Studi Komparatif antara Hukum Islam dengan Hukum Positif). Jurnal Penelitian Agama, XVII(2).

Zaidah, Y. (2017). Model Hukum Islam : Suatu Konsep Metode Penemuan Hukum melalui Pendekatan Ushuliyyah. Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran, 17(2).

Penulis adalah Guru Besar fakultas Syari’ah UIN IB Padang, Ketua Wantim MUI Sumbar, Anggota Wantim MUI Pusat, A’wan PB NU

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles