Subang, Demokratis
Gelaran Pilpres dan Pileg Pemilu 2024 baru saja berlalu, namun masih menyisakan noktah hitam yang mencoreng nama lembaga Panitia Pemilu Kecamatan (PPK) di sejumlah Dapil di Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, di antaranya terjadi di salah satu kecamatan Dapil 7.
Dihimpun dari berbagai sumber diketemukan adanya indikasi jual-beli suara yang melibatkan oknum Komisioner PPK Tambakdahan berinisial MW yang diduga Mochamad Warlan, Senin (8/4/2024).
Terbaca jelas dalam kwitansi, bila oknum MW membubuhkan tanda tangan penerimaan sejumlah uang dari Caleg DPR-RI tertentu untuk mendulang 1.500 suara yang tersebar di delapan desa (Desa Bojonegara, Bjongkeding, Gardumukti, Mariuk, Rancaudik, Tambakdahan, Tanjungrasa dan Wanajaya).
Dalam prakteknya pembayaran jual-beli suara dengan cara memberikan down payment (DP) sebesar Rp25 juta dari sebesar target Rp97.5 juta, sementara sisanya Rp72,5 juta dilunasi kemudian.
Oknum MW itu diduga kuat terlibat cawe-cawe melakukan jual beli suara (baca : praktek money politik) dan menjanjikan untuk kemenangan salah satu calon legisatif (Caleg DPR-RI) di Dapil-7 dari Partai tertentu. Ujar sumber
“Oknum MW itu meminta dan menyanggupi mendulang suara sebanyak 1.500 suara, asalkan Caleg DPR-RI tersebut sanggup memberikan sejumlah uangyang nilainya mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah, baik itu untuk alasan beli baso atau DP untuk jual-beli suara,” tandas sumber.
Untuk mengkorfirmasi dan mempertanyakan adanya indikasi jual-beli suara, awak media mencoba untuk menemui MW, namun hingga kini MW terkesan enggan menemui awak media secara tatap muka dan selalu menghindar untuk dimintai keterangan.
Namun melaui pesan WhatsApp MW membantah keras bila dirinya terlibat cawe-cawe jual-beli suara dan menerima sejumlah uang. MW tidak merasa menandatangani kwitansi tersebut sebagai transaksi jual-beli suara.
“Saya tidak merasa membuat kwitansi tersebut yang sekarang ramai kemana-mana kwitansi, begitupun rekan-rekan PPK yang lain, serupa kwitansinya seperti itu. Coba saja pak, konfirmasi ke PPK yang lain,” ujar MW membantah.
Lebih ironisnya lagi, MW malah mengarahkan awak media agar konfirmasi dengan caleg yang bersangkutan yan dituding cawe-cawe dengan dirinya. Seharusnya awak media konfirmasi ke caleg yang bersangkutan, benar atau tidak itu tanda tangan dirinya.
“Ijin pak, seharusnya konfirmasi ke caleg yang bersangkutan, bener atau tidak itu saya pak, dan banyak PPK lain juga yang sama hal demikian,” ujarnya membantah.
Aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi–RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang U Syamsudin, S.Sos saat dimintai tanggapannya (18/4) menyesalkan bila benar tindakan oknum Komisioner PPK berinisial MW yang dituding terlibat politik uang dalam Pemilu 2024 lalu. Perbuatan MW, lanjut Usam biasa dia dipanggil selain melanggar UU Kepemiluan juga berpotensi melanggar UU Tipikor yakni UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Permberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jo Pasal 12 Point a.
Pihaknya mendesak kepada APH segera menyeret oknum ybs bila telah cukup bukti ke meja hijau untuk diadili dan diberikan sanksi setimpal agar ada efek jera.
Menurutnya, tindakan oknum MW merupakan peristiwa pidana, jadi tidak usah menunggu adanya pelaporan, jadi APH segera mencokok oknum tsb untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Sementara, tindakan politik uang telah tertuang dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, jo Pasal 280, ayat (1) huruf J disebutkan bahwa “Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kamanye Pemilu”.
Jika terdapat Penyelenggara Pemilu terbukti melakukan politik uang akan dikenakan sanksi berupa pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24 juta (Pasal 523, ayat 1) yang menyabut bahwa “Setiap pelaksana, peserta dan/atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya sebagai imbalan baik secara langsung ataupun tidak langsung sebagai dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dapat dikenakan pidana penjara 2 (dua) tahun dan denda hingga Rp24 juta”.
Sedangkan Pasal 523, ayat (3) disebutkan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta Pemilu tertentu dipadana dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36 juta”. Pungkasnya. (ABH)