Jakarta, Demokratis
Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan, yang lebih dikenal dengan Noel, terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.
“Benar (Noel diamankan di) Jakarta,” ujar Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto di Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Noel saat ini sudah berada di Gedung Merah Putih KPK K4, Jakarta Selatan untuk menjalani pemeriksaan intensif selama 1×24 jam. Pemeriksaan ini akan menentukan status hukumnya, apakah ditetapkan sebagai tersangka atau hanya sebatas saksi. Noel diketahui diamankan sejak Rabu malam.
“(Noel) Sudah (di KPK). Rangkaiannya (OTT) dari semalam,” ucap Fitroh.
Adapun Noel diamankan terkait kasus dugaan pemerasan terhadap sejumlah perusahaan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
“Pemerasan terhadap perusahaan-perusahaan terkait pengurusan sertifikasi K3,” kata Fitroh.
Diketahui, Sertifikasi K3 merupakan proses memperoleh pengakuan resmi bahwa individu maupun perusahaan telah memenuhi standar keselamatan dan kesehatan kerja yang ditetapkan oleh lembaga berwenang, seperti Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) atau Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Adapun lisensi K3 dikeluarkan oleh Kemnaker sebagai dokumen resmi yang menegaskan pemenuhan syarat dan standar terkait aspek keselamatan kerja.
Lisensi K3 menjadi instrumen penting pemerintah dalam meningkatkan kesadaran dan kepatuhan terhadap standar K3. Dengan memiliki lisensi ini, perusahaan dapat menunjukkan komitmen mereka dalam melindungi tenaga kerja serta menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan aman.
Sementara itu, KPK sebelumnya tengah menyidik kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kemnaker. Dalam kasus tersebut, delapan tersangka sudah ditahan dengan nilai pemerasan sepanjang 2019–2024 mencapai Rp53,7 miliar.
Mereka adalah:
- Haryanto (HY) – Dirjen Binapenta dan PKK (2024–2025): Rp18 miliar
- Putri Citra Wahyoe (PCW) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp13,9 miliar
- Gatot Widiartono (GTW) – Koordinator Analisis dan Pengendalian TKA (2021–2025): Rp6,3 miliar
- Devi Anggraeni (DA) – Direktur PPTKA (2024–2025): Rp2,3 miliar
- Alfa Eshad (ALF) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,8 miliar
- Jamal Shodiqin (JMS) – Staf Direktorat PPTKA (2019–2024): Rp1,1 miliar
- Wisnu Pramono (WP) – Direktur PPTKA (2017–2019): Rp580 juta
- Suhartono (SH) – Dirjen Binapenta dan PKK (2020–2023): Rp460 juta
Selain itu, terdapat dana tambahan Rp8,94 miliar yang diduga dibagikan kepada sekitar 85 pegawai Direktorat PPTKA dalam bentuk uang “dua mingguan”. Dana tersebut juga dipakai untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset atas nama para tersangka dan keluarganya.
Berdasarkan konstruksi perkara, kasus ini mengungkap praktik korupsi sistematis dalam pengurusan RPTKA. Modus yang digunakan berupa pungutan liar berjenjang, di mana permohonan RPTKA hanya diproses jika pemohon menyetor sejumlah uang. Bila tidak membayar, permohonan diperlambat atau diabaikan. Bahkan, dalam sejumlah kasus, pemohon diminta datang langsung ke kantor Kemnaker dan baru dilayani setelah menyetor dana ke rekening tertentu.
Jadwal wawancara via Skype pun diatur secara manual dan hanya diberikan kepada pemohon yang membayar. Penundaan penerbitan RPTKA berisiko menimbulkan denda Rp1 juta per hari bagi perusahaan pemohon.
Pejabat tinggi seperti Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, dan Devi Anggraeni diduga memerintahkan verifikator—antara lain Putri Citra Wahyoe, Alfa Eshad, dan Jamal Shodiqin—untuk melakukan pungutan terhadap pemohon.
Dana hasil pungutan diduga dibagikan secara rutin kepada pegawai serta digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk jamuan makan malam. KPK mencatat, sebanyak 85 pegawai Direktorat PPTKA turut menerima aliran dana tersebut.
Dari total dugaan hasil korupsi Rp53,7 miliar, sekitar Rp8,61 miliar sudah berhasil dikembalikan ke negara melalui rekening penampungan. Penelusuran masih terus dilakukan, termasuk kemungkinan adanya praktik serupa sebelum 2019.
Para tersangka dijerat Pasal 12 huruf e atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. (Albert S)