Tapteng, Demokratis
Puluhan karyawan perusaan perkebunan sawit PT SGSR di Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), terancam kehilangan pekerjaan. Pihak perusahaan diketahui berencana akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan akibat produksi buah sawit yang menurun.
Menurunnya produksi Tandan Buah Segar TBS) ini disebabkan banyaknya lahan dan pohon sawit yang dirusak ternak masyarakat. Di samping membuat produksi berkurang dan pohon sawit banyak yang mati, ribuan ekor kerbau dan sapi masyarakat yang digembalakan di areal perkebunan PT SGSR Manduamas, membuat aktivitas pemanenan terhambat.
Tidak hanya itu saja, keberadaan ternak yang dibiarkan berkeliaran di malam hari tanpa dihalau kembali ke kandang, merusak sarana dan prasarana milik perusahaan. Kubangan yang timbul juga berpotensi menghadirkan berbagai macam penyakit bagi keberlangsungan pohon sawit.
“Banyak pohon sawit yang terserang ganoderma. Genangan air juga membuat tanaman menjadi kerdil. Belum lagi sarana dan prasarana yang rusak, seperti titi panen dan gorong-gorong,” tutur Menager Produksi Rayon I dan Rayon II, Immanuel Saragih SP, Rabu (2/6/2021).
Terkait kondisi ini, Menager Umum PT SGSR, Bokkare Tua Sihotang, mengaku jika prosuksi panen perusahaan menurun setiap tahunnya, terutama di Afdeling 5, 6, 7 dan 8. Bebasnya ternak kerbau dan sapi menjadi penyebab utama. Ia mengaku telah berulang kali meminta masyarakat menertibkan ternaknya masing-masing, namun sepertinya dibaikan.
“Sejak tahun 2016, pihak perusahaan telah berulangkali menyampaikan baik secara lisan maupun tulisan, agar ternak mereka dijaga dan dikandangkan. Namun sepertinya mereka tidak peduli dengan imbauan yang kita sampaikan” jelas Bokkare.
Jika imbauan ini tetap tidak diindahkan pemilik ternak, Bokkare menyebutkan perusahaan telah berencana mengambil sebuah kebijakan, yakni PHK. Walaupun nantinya kebijakan tersebut akan tidak berpihak kepada karyawan maupun buruh, Bokkare menegaskan jika keputusan tersebut adalah jalan satu-satunya menyelamatkan perusahaan agar tidak pailit.
“Di perusahaan ini 75 sampai 80 persen karyawannya adalah putra daerah Tapteng. Bagaimanalah nasib mereka apabila terkena PHK. Namun apabila kita pertahankan, darimana nantinya kita menggaji mereka. Inilah efek yang tidak dipikirkan pemilik ternak. Mereka hanya memikirkan diri sendiri, tanpa memikirkan keberlangsungan hidup orang lain,” tukas Bokkare.
Rencana kebijakan PHK yang akan diterapkan pihak PT SGSR, membuat puluhan pekerja yang menggantungkan hidupnya di perusahaan budidaya sawit itu menjadi was-was. Kehilangan mata pencaharian menjadi momok yang menghantui hari-hari mereka belakangan ini.
“Kita tidak tau lagi mau bagaimana. Harapan satu-satunya adalah agar bagaimana masyarakat pemilik ternak mau menertibkan ternaknya. Hanya itu yang bisa kita mohonkan. Mudah-mudahan keberkenanan pemilik ternak untuk menertibkan ternaknya, bisa menyelamatkan kita dari ancaman PHK,” ujar N Sitanggang, yang diamini karyawan lainnya Andeas Draha dan Delpin Tinambunan. (MH)