Kota Tasikmalaya, Demokratis
Meskipun beberapa kali berpindah mukim namun tidak sidikit pun menyurutkan perjuangan para pengurus Pondok Pesantren Yatim dan Dhu’afa Yayasan Ma’had Bilal Bin Robah Al-Islami untuk tetap membina dan menggratiskan biaya santri. Perjuangan pimpinan pondok pesantren ingin memiliki pesantren permanen memang tidak mudah. Pada awal pendiriannya tahun 2019 yang lalu, pesantren ini sudah tiga kali pindah mukim karena keterbatasan biaya yang dimiliki dan semua santri di sini tidak dibebankan biaya apapun.
Sebelum Yayasan Yatim dan Dhu’afa Ma’had Bilal Bin Robah Al-Islami dibentuk, pesantren ini di bawah naungan Yayasan Jamitatul Abror Al-Gaza sekitar tahun 2020 lalu dengan diberikan SK tentang Pengangkatan Pengurus Ma’had Bilal Bin Robah Al-Islamy. Lalu ada usulan agar bisa mandiri dan akhirnya tahun 2021 terwujud dengan mendirikan yayasan bernama Yayasan Yatim dan Dhu’afa Ma’had Bilal Bin Robah Al-Islamy hingga sekarang.
“Awal datang ke Kota Tasikmalaya pada 20 Agustus 2919, lalu mengajar mengaji di wilayah Kecamatan Purbaratu dan mulai ada santri bahkan dari luar kota. Karena santri semakin banyak tentunya perlu bangunan. Dan akhirnya dipertemukan dengan H. Aas Hasbuna (alm) Ketua Yayasan Gaza (Gabungan Anak Jalanan), lalu kami diberikan fasilitas tempat di Desa Sukajadi Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya untuk bisa mengelola pesantren sekaligus diberikan SK oleh yayasan tersebut,” papar Ustad Mahmud Sidiq Pengelola Yayasan Yatim dan Dhu’afa Ma’had Bilal Bin Robah Ak-Islamy kepada awak media Selasa (12/4/2022) yang saat ini bermukim di Jl. Muhammad Su’jai No. 69 B Bojong Kidul-Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya.
Diceritakan Mahmud Sidiq, ketika aktifitas santri terus berjalan hingga ada seseorang yang aktif ikut mengaji di pesantren tersebut memberikan tanah seluas 530 M2/segi wakaf berupa kolam dan kebun, lalu tanah tersebut dikelola oleh santri diawali dengan memakai terpal untuk aktifitas sehari-hari santri hingga gotong royong siang malam berbenah membangun dulu asrama selama satu bulan. Maka terwujudlah asrama semi permanen dengan ukuran 13 × 7 M2.
“Fokus selanjutnya membangun kamar mandi 6 pintu, tempat wudhu 10 kran, dapur ukuran 7 × 4 M2, dilanjutkan membangun masjid permanen ukuran 13 × 13 M2. Dana pengelolaan pesantren kami dapat donatur yang disebar melalui website pesantren,” terangnya.
Dari website pesantren, lanjut dia, di-share dari media sosial dan pihaknya belum pernah mengedarkan proposal dan kotak amal. “Mencoba menghimpun donatur lewat online hingga ada orang Tasikmalaya yang bekerja di negara Australia memberikan bantuan untuk masjid,” ucap Mahmud Sidiq jebolan Pesantren Miftahul Huda Cabang Cilacap tahun 1994 ini.
Di pesantren ini, lanjut Mahmud lagi, ada 18 orang santri putri dan 33 orang santri putra, sementara untuk pengurusnya sendiri ada 5 orang di santri putra dan 3 orang di santri putri. Pola pembelajaranpun ada 3 tingkatan yakni pertama Hafalan Al-Quran dan Hafalan Matan Kitab Tajwid selama 1 tahun. Tingkat kedua belajar ilmu-ilmu dan Sorof hingga selesai 1 tahun dan tingkat ketiga fokus ke pendalaman kitab dari Kitab Fiqih, Tauhid dlsb.
“Pesantren kami juga tidak terlepas di pendidikan formal. Saat ini kami bekerja sama dengan Madrasah Aliyah di Tasikmalaya,” tuturnya.
Pesantren yang sudah lama dirintis dari tanah wakaf tersebut dan dibangun dari mulai tanah kolam dan kebun bahkan sudah ada bangunan masjid, asrama dan dapur. Namun pesantren tersebut kini harus rela ditinggalkan oleh para pengurus dan santrinya.
“Alhamdulillah patut disyukuri ada donatur yang meminjamkan tempat untuk para santri menimba ilmu. Pindahnya kami ke sini karena ada sedikit permasalahan, tapi saya enggan untuk mengungkapkannya,” tandasnya. (Eddinsyah)