Jakarta, Demokratis
Menteri Agraria tidak akan bisa menyelesaikan konfik agraria sendirian karena kementerian sektor juga memiliki kewenangan izin untuk peruntukan lain.
“Saya mendesak kepada Menteri Sekretaris Negara, Menteri Sekretaris Kabinet, dan Kepala Staf Presiden (KSP), sebagai lembaga negara yang dekat dengan Presiden untuk dapat menerobos persoalan-persoalan lintas kementerian itu.”
Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI di Komisi II Ir. H. Endro Suswantoro Yahman, M.Sc mengatakan dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Sekretaris Negara, Sekretaris Kabinet, dan KSP di Jakarta, Kamis (2/6/2022).
Endro mengatakan, banyak persoalan-persoalan seperti persoalan pertanahan lintas kementerian yang tidak bisa diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN. Karena itu perlu ada perintah dari Presiden kepada kementerian dan lembaga yang notabenenya merupakan pembantu Presiden.
“Banyak sekali persoalan-persoalan pertanahan yang akar masalahnya bukan di Kementerian ATR/BPN, tapi lintas kementerian. Dan itu juga dipahami kita bersama. Kami minta, baik Mensesneg, Setkab, maupun KSP, agar persoalan-persoalan lintas kementerian ini bisa diselesaikan,” tandas politisi PDI Perjuangan kelahiran Pringsewu, Lampung.
“Membiarkan suatu Kementerian ATR/BPN menyelesaikan persoalan pertanahan yang terkait kementerian-kementerian lain, adalah kesalahan metodologis yang fatal,” tegasnya.
“Sehingga apa pun yang dikaji oleh lembaga pemerintah itu dalam hal ini Menteri Agraria tidak akan bisa berjalan diimplementasikan di kementerian-kementerian yang ada,” ujar dia.
Terkait hal itu, Endro Suswantoro Yahman, meminta pada ketiga lembaga negara tersebut untuk dapat membicarakan, memberi masukan kepada Presiden. Dan Presiden agar bisa memerintahkan kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga negara terkait, dikarenakan para menteri merupakan pembantu Presiden supaya menyelesaikan persoalan-persoalan pertanahan pada lintas kementerian.
“Dalam hal ini memang ini tidak bisa diselesaikan di Komisi II sebagai mitra kerja Kementerian ATR/BPN. Ada persoalan pertanahan yang terkait dengan KLHK, ada yang terkait dengan Kementerian BUMN, Instansi-instansi TNI/Polri, dan lain sebagainya. Ini tidak bisa oleh ATR/BPN saja lalu memerintahkan Mendagri untuk menyelesaikan masalah pertanahan yang terkait dengan Kemendagri. Tidak bisa, karena kedudukannya setara,” urainya lagi.
“Walau BPIP juga sudah melakukan kajian-kajian dan memberikan rekomendasi-rekomendasi kepada kementerian-kementerian terkait, namun tidak berjalan karena hubungan kerja sama antar lembaga negara yang setara dalam struktur organisasi kenegaraan itu,” pungkasnya.
Perempuan Menangis
Secara terpisah seseorang perempuan asal Kalimantan Barat menangis di Parlemen karena tidak bisa bertemu Presiden Jokowi.
Wanita itu korban mafia tanah yang ingin berjumpa Presiden Joko Widodo tapi gagal meski telah bersurat kepada KSP.
Dirinya ingin dapat bertemu Presiden Jokowi sebab sebelumnya berkomitmen memberantas mafia tanah dan pembantunya telah membentuk Satgas Mafia Tanah di Mabes Polri, Kejaksaan Agung dan di Menteri Agraria.
Permasalahan muncul karena di atas tanah milik seorang perempuan itu yang terletak di Pontianak, Kalimantan Barat, yang sudah bersertifikat hak milik atas namanya, sekarang diterbitkan sertifikat baru oleh Menteri Agraria atas nama orang lain.
Terbitnya sertifikat ganda ini setelah dilangsungkan pembebasan lahan dan akan dibangun jalan tol di atas tanah hak miliknya. Tiba-tiba lalu diterbitkan sertifikat dengan hak pengelolaan atas nama orang lain yang akan dibangun untuk perluasan mall pertokaan modern terbesar di Pontianak.
“Penyelidikan sudah dilakukan oleh Polda Kalimantan Barat, Kapolri sudah disurati oleh pemilik sertifikat asal. Tapi pidananya tidak kunjung naik jadi penyidikan, sampai kini pegawai ATR/BPN bebas tidak tersentuh hukum. Mafia tanah ada di mana-mana. Bahwa korban ingin diterima Presiden untuk mengadukan mafia tanah itu. Kalau Presiden langsung yang menanganinya kami yakin masalah pidana cepat selesai,” kata pengacara Petrus didampingi anggota DPR RI Wayan Sudirta, bulan lalu. (Erwin Kurai Bogori)