Kamis, Mei 15, 2025
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tindak Lanjut Putusan MK, Pasal Penghinaan terhadap Presiden-Wapres dan Pemerintah Harus Dihapuskan

Jakarta, Demokratis

Pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyebut substansi Pasal 218 dan 219 KUHP tentang tindak pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden serta Pasal 240 dan 241 KUHP tentang penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara harus dihapus sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

“Penghapusan pasal-pasal tersebut merupakan adaptasi progesif terhadap putusan MK yang melarang institusi negara, korporasi, atau asosiasi profesi melaporkan dugaan pencemaran nama baik terhadap mereka,” ujarnya, Minggu (11/5/2025).

Seperti diketahui, Putusan MK No 105/PUU-XXII/2024 melarang lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi untuk mengadukan dugaan pencemaran nama baik terhadap mereka.

Putusan itu dikeluarkan atas permohonan uji materi Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dalam pertimbangannya, MK mengatakan perlindungan pribadi dan jaminan hak kebebasan berpendapat harus diberikan secara proporsional dan tidak menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan terhadap ruang kebebasan sipil.

Secara substansi, MK berpandangan pasal-pasal yang dipersoalkan pemohon punya kesamaan substansi dengan Pasal 433 ayat (1) KUHP.

Namun, Pasal 433 ayat (1) KUHP secara tegas menyatakan pencemaran nama baik itu hanya berlaku jika korbannya merupakan individu, bukan lembaga pemerintah atau sekelompok orang.

“Terdapat adanya ketidakjelasan batasan frasa ‘orang lain’ dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang diserang kehormatan atau nama baiknya, maka norma pasal a quo rentan untuk disalahgunakan,” tulis MK dalam pertimbangan putusan.

Pasal 27A UU ITE menyebutkan setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik, dapat dipidana penjara maksimal dua tahun dan/atau denda maksimal Rp 400 juta.

MK menyatakan, Pasal 27A UU ITE itu inkonstitusional secara bersyarat sepanjang frasa “orang lain” tidak dimaknai kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan. Dengan demikian, pasal itu hanya bisa dijadikan basis dugaan pencemaran nama baik jika korbannya adalah individu.

Menurut Fickar, putusan MK Nomor 105/PUU-XXII/2024 sudah tepat, karena pejabat negara atau siapa pun yang mewakili lembaga negara semestinya tidak bisa memperkarakan individu atau warga negara yang mengkritik kebijakan pemerintah.

“Lembaga itu tidak akan pernah dirugikan termasuk dicemarkan nama baiknya. Karena itu, masyarakat hanya bisa dituntut secara hukum jika mencemarkan pribadi pejabat sepanjang perbuatan dilakukan berkaitan tugas dan kewenangannya,” terangnya.

Dia mencontohkan, salah satu kasus yang paling kontroversial adalah dugaan pencemaran nama baik terhadap Presiden Joko Widodo oleh Rocky Gerung.

Pada 2024, Rocky dilaporkan ke polisi karena umpatan “bajingan yang tolol” saat mengomentari Jokowi yang bolak-balik ke China untuk mempromosikan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Dalam kasus itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan Rocky tidak bersalah karena Rocky bukan bentuk serangan terhadap personal Jokowi, namun terhadap kebijakan pemerintah,” imbuhnya. (EKB)

Related Articles

Latest Articles