Subang, Demokratis
Program Sembako yang merupakan pengembangan dari program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) diharapkan akan mengurangi beban pengeluaran keluarga miskin melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan, sehingga dapat memastikan sebagian kebutuhan dasar keseharian keluarga miskin dapat terpenuhi.
Selain itu diharapkan manfaatnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah, terutama usaha mikro dan kecil di bidang perdagangan.
Namun alih-alih bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah, jika saja prinsip-prinsip pelaksanaan program dikotori oleh oknum tenaga pendamping pelaksana Bansos Pangan itu sendiri.
Dari berbagai sumber yang dihimpun dan hasil investigasi menyebutkan bila petugas TKSK Kecamatan Binong berinisial Tar selaku pendamping sosial Bansos Pangan diduga malah meminta success fee (Japrem-Red) ke setiap suplayer pemasok beras dengan besaran kisaran Rp 200 – Rp 400/kg.
“Bila saja kebutuhan beras yang akan disalurkan terhadap KPM sebanyak kurang lebih 15 ton atau 15.000 kg/bulan, maka uang haram yang terhimpun bisa untuk menutupi angsuran/cicilan bulanan kredit motor N-Max,” ujar sumber.
Dengan adanya dugaan Pungli yang dilakukan oknum TKSK Tar itu, lanjut sumber, dimungkinkan akan berpengaruh terhadap kualitas beras yang akan dikirim ke e-Warong.
Petugas TKSK Kecamatan Binong Tarma saat dikonfirmasi di halaman kantor Kecamatan Binong (16/6/2021) membantah bila dirinya meminta jatah dari suplayer. “Tidak.. tidak saya tidak meminta uang fee dari para suplayer beras, memang jumlah kebutuhan beras yang dibutuhkan KPM tiap bulannya mencapai 15 ton,” ujarnya.
Aktivis Gerakan Nasional Pencegahan Korupasi-RI (GNPK-RI) Kabupaten Subang Udin Syamsudin SSos ketika dihubungi di kantornya (19/6/2021) atas kasus ini, pihaknya mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) segera turun tangan untuk menyelidiki terendusnya dugaan tindakan pungutan liar (Pungli) itu.
“APH harus segara bergerak melakukan penyelidikan, tanpa harus menunggu laporan, karena ini kasusnya bukan delik aduan melainkan pristiwa pidana,” tegasnya.
Menurut Udin, Pungli merupakan bagian dari korupsi, maka pelakunya bisa dijerat dengan Pasal 368 KUHP, dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Namun jika pelakunya Pegawai Negeri Sipil, akan dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun. Tetapi ada ketentuan pidana yang ancaman hukumannya lebih besar dari itu, yakni Pasal 12 e UU Tipikor, ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun.
Dirinya berjanji akan menelusuri ke lapangan guna menghimpun data dan fakta yuridis, apabila sudah diperoleh data yang valid akan membawanya ke ranah hukum. “Kami juga meminta kepada APH apabila di kemudian hari kedapatan oknum-oknum yang terlibat terbukti, beri hukuman yang setimpal agar ada efek jera,” pungkasnya. (Abh)