- Pandangan Aktivis NU Terhadap Aqidah, Praktek Ibadah Serta Muamalah Dari Islam Muhamadiyyah
Muhamadiyyah adalah sebagai organisasimasyarakat Islam yang dikenal sebagai tajdidul Islam atau biasa disebut pembaharu Islam. Zaenal menerangkan, “gerakan Muhamadiyyah adalah bagaimana melakukan pembaharuan dalam pemikiran Islam. Dari segi aqidah Muhamadiyyah sama dengan NU. Dalam praktek ibadahnya ada beberapa perbedaan antara NU dan
Muhamadiyyahdan itu hanya dalam furu‟iah seperti tidak memakai doa qunut dalam shalat subuh, begitupun seperti tahlil atau tawasul, ziarah kubur, danlain-lain, beberapa praktek ibadah diatas jarang bahkan tidak dilaksanakan oleh orang-orang Muhamadiyyah.
Dalam pemikiran Muhamadiyyah sebagai pembaharu Islam itu bisa dapat kita lihat salah satunya dari tradisi mereka yang memperbaharui tradisi belajar terdahulu seperti, belajar tidak menggunakan kursi maka sekarang menggunakan kursi, seperti tidak menggunakan kitab kuning dan banyak lain sebagainya.
Namun dari segi cita-cita NU dan Muhamadiyyah sama, memperjuangkan kutuhan NKRI. Pendiri NU dan Muhamadiyyah pun
satu pendidikan dahulunya. Maka sedikitnya perbedaan di antara keduanya tapi tetap dalam visi misi yang sama. Selain itu sebagai pembaharuan, Muhamadiyyah dikenal dalam segi perkembangan pendidikan dan kesehatan. Berikut penegasannya Maskur Wahid, “ Karakteristik Muhamadiyyah lebih kepada bidang pendidikan dan kesehatan.” Dilihat dari beberapa pengutaraan aktivis NU, Muhamadiyyah lebih fokus pada pembaharuan yang tradisi lokal dikemas semenarik mungkin untuk menjadi sesuatu yang modern, namun tetap pada batasan syariah.
- Pandangan Aktivis NU Terhadap Aqidah, Praktek Ibadah, Serta Muamalah Dari Islam HTI.
Islam HTI adalah Islam yang gerakannya memperjuangkan Khilafah Islamiah, yang mana mereka ingin sistem demokrasi digantikan oleh khilafah, “Sebenarnya semua dalam ranah politik, dan itu sudah menjadi sebuah ijtihad siapapun yang memperjuangkannya.
Dalam pembuatan Pancasila, NU ikut andil dalam pembuatan dan memplomakirkannya, maka sudah jelas NKRI adalah harga mati. Beda lagi dengan HTI yang malah menentang Pancasila. Aktivis NU menjelaskan bahwa sistem di Indonesia diganti dengan kekhilafahan maka Indonesia akan hancur dan terjadi perang dimana-mana.
Aktivis NU menolak keras gagasan yang dibuat oleh HTI yaitu sistem khilafah Islam. HTI bukan lah produk murni Indonesia tetapi produk Timur Tengah. Karena menurut aktivis NU Islam Indonesia adalah Islam yang memperhitungkan aspek kultural sosiologis yang ada di wilayahnya. Selain itu menurut aktivis NU Indonesia dalah negara yang multikultural yang tidak mungkin jadi homogen.
Zaenal menegaskan, “Tentu saya tidak sepakat dengan sistem khilafah yang digagas, karena bagi saya konsep Pancasila sebagai falsafah bangsa , dan demokrasi sebagai sistem Negara adalah gagasan final, terutama Pancasila yang digagas oleh founding father yang terdiri dari tokoh ulama,tokoh pemuda, tokoh bagsa ini tidak bisa diganggu gugat. Semua konsep yang digagas oleh Pancasila sudah menawarkan bagaimana konsep kemanusiaan, keberadaban, ke Tuhanan dan sebagainya mencakup semua kaum dan golongan tanpa mendiskriminasi satu kaum dengan catatan Pancasila itu dijalankan dengan semestinya.
Hal yang membuat gelisah aktivis NU terkait gagasan HTI adalah bagaiman propoganda yang ditawarkan kepada masyarakat awam tentang pemahaman Islam mereka, yang pada mestinya HTI harus bisa memahami konsep kebangsaan mereka dahulu agar menjadi warga Indonesia yang baik, tanpa melupakan perjuangan Indonesia. Karena berbicara Islam, rasul sendiri tidak mendirikan Negara Islam tapi mendirikan Negara Madinah dengan piagam yang mana menyatukan semua kalangan tanpa membedakannya, dan itu tidak jauh dari konsep Pancasila Indonesia. Maka sebagai perjuangan NKRI adalah sebuah keharusan. Menurut Zaenal sebagai aktivis NU mengenai konsep muamalahnya HTI terhitung eklusif atau lebih tertutup.
- Pandangan Aktivis NU Terhadap Aqidah, Praktek Ibadah Seerta Muamalah Dari Islam Wahabi.
Wahabi merupakan suatu mazhab keagamaan Islam di dunia, yang mana pendirinya adalah Muhamad Bin Abi Wahab. Ada perbedaan idiologi yang berbeda dengan NU yaitu tentang pemurnian akidah Islam tidak hanya kembali pada AlQur‟an dan hadist tapi aktivis NU henegaskan harus lihat dari Ijma‟ dan Qias pula.
Kultur keagamaan Wahabi dengan NU ada perbedaan dari segi prakteknya, seperti pembacaan qunut, ziarah kubur dan lainnya, Zaenal menjelaskan bahwa, “Apapun perbedaan yang ada pada golongan Wahabi bukan permasalahan bagi NU atau saya pribadi, namun dari beberapa golongan mendiskriminasi golongan NU sampai membid‟ah bid‟ah kan ibadah yang dilakukan orang NU dan itu sampai digemborkan ke publik, menurut saya itu sudah tidak bersikap toleran sekali.
- Toleransi Antar Umat Beragama
- Toleransi Dalam Prespektif Aktivis NU Toleransi adalah membiarkan orang lain berpendapat lain,melakukan hal yang tidak sependapat dengan kita, tanpa kita ganggu ataupun intimidasi. Istilah dalam konteks sosial, budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. “Toleransi itu adalah menghargai pandangan orang lain, dan tidak mengklaim pandangan orang lain.
Dalam ajaran yang ada di Nahdhatul Ulama, bersifat ideologi Asawaja, salah satunya aktivis NU pun diajarkan untu bersikap tassamuh yaitu toleran. Dalam ideologi faham aswaja terkandung ajaran prinsip-prinsip tawassuth (Moderat) dan i’tidal (kesahajaan), tawaazun (keseimbangan), tasammuh (toleransi).
Sudah dijelaskan oleh Aktivis NU bahwa Toleransi dalam beragama bukan berarti kita hari ini boleh bebas menganut agama tertentu dan esok hari kita menganut agama yang lain atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, aktivis Nahdhatul Ulama menjelaskan pula toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk sistem, dan tata cara peribadatannya dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Aktivis NU mengatakan Sikap toleransi antar umat beragama biasa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memuliakan dan saling tolong-menolong.
Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, didalam al-Qur‟an ayat terakhir dari surah al-Kafirun sudah dijelaskan : “untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.“
Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut beberapa agama dalam waktu yang sama; atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan. Oleh sebab itu, alQur‟an menegaskan bahwa umat islam tetap berpegang teguh pada sistem keEsaan Allah secara mutlak; sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah juga menjelaskan tentang prinsip dimana setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling hujat menghujat.
Penulis adalah Guru Besar Fakultas Syari’ah UIN IB Padang, Ketua Wantim MUI Sumbar, Anggota Wantim MUI Pusat, Penasehat ICMI Sumbar, A’wan PB NU