Tradisi mudik menjelang hari Raya Idul Fitri, tak mudah dilepaskan dari tradisi kaum perantau yang mengadu nasib nun jauh dari kampung halamannya.
Suasana hari Raya Idul Fitri bagi kaum perantau nampaknya menjadi sebuah kebahagiaan dan kepuasan yang tak terhingga nilainya, manakala bisa dirayakan di kampung halamannya.
Banyak aspek yang mendorong kaum perantau ingin mudik. Bila hanya sekedar ingin bersilaturahmi, bertatap muka dan bercakap-cakap mungkin cukup dengan menggunakan teknologi canggih, seperti telepon seluler (ponsel) yang dilengkapi dengan revolusi teknologi 4,0 G (telepon plus visual), internet, faximile dan layanan pos yang sudah tersedia secara lengkap.
Teknologi canggih seakan lumpuh dan tidak berfungsi untuk menyambungkan kebutuhan kultural. Dia seakan menjadi barang rongsokan, tidak punya makna sama sekali dan dianggap belum cukup memadai sebagai alat komunikasi yang sesuai dengan nilai budaya mudik.
Hubungan yang bersifat impersonal dan berbentuk bantuan teknologi itu, terasa tidak mampu memuaskan dahaga budaya mudik. Masyarakat umumnya masih membutuhkan komunikasi yang bersifat personal dan emosional.
Jadi benda-benda teknologi itu dirasakan tidak pas untuk memenuhi fenomena mudik, lantaran memang subtansi mudik persoalannya bukan hanya di tataran itu.
Maka tak heran bila persiapan mudik nyaris diperjuangkan tanpa reserve. Tidak terbersit secuilpun bagi pemudik untuk mengurungkannya, meski harus menempuh perjalanan yang cukup melelahkan dan bahkan penuh resiko.
Suasana hari raya Idul Fitri merupakan momen yang dianggap sebagai kesempatan yang paling membahagiakan, manakala mereka bisa betemu langsung dengan kerabat dan handaitolan untuk berjabat tangan, berpelukan, saling berkunjung, saling maaf memaafkan satu sama lain, meskipun sebelumnya tidak ada yang menjelaskan secara konkrit kesalahan apa yang telah diperbuat antara mereka.
Tapi hal itu merupakan implementasi dari keyakinan bagi pemeluk agama Islam, di mana hari raya Idul Fitri dimaknai sebagai hari pembebasan (hari kemenangan-red) dari segala dosa-dosa yang telah diperbuat, karena diyakini bahwa manusia seakan terlahir kembali layaknya bayi yang belum ternoda oleh lumuran dosa.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda Rasulullah Muhammad SAW “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dan mengerjakan amal ibadah karena iman dan mencari ridha Allah, maka Allah SWT akan membebaskan dari segala dosa-dosanya, sehingga kembali suci, bersih, seperti bayi yang baru dilahirkan” (HR. Ahmad).
Momen hari raya Idul Fitri itulah yang rupanya membuat dorongan maha dahsyat orang kepingin mudik. Mengapa mudik? Fenomena mudik adalah fenomena sosio-kultural. Berbagai alasan rasional seolah tak mampu mengurai fenomena yang satu ini.
Teknologi secanggih apapun, belum cukup mampu menjembatani tradisi budaya mudik
Pulang mudik setahun sekali bagi kaum perantau, tidak hanya sekedar melepas kerinduan pada kampung halaman, tetapi mengandung makna yang jauh lebih mendalam. Jika hanya sekadar mengobati kerinduan pada sanak famili dan kampung halaman, tentu dapat dilakukan di lain waktu. Tidak di waktu suasana lebaran Idul Fitri. Dan hal demikian tidak perlu berpayah-payah mencucurkan peluh selama di perjalanan.
Mudik bukan hanya milik kaum jelata saja. Fenomena sosial ini adalah nyaris diklaim semua lapisan dan tak mengenal kasta/kelas.
Yang membedakan bila kaum jelata pulang mudik harus berdesak-desakan, berhimpitan menggunakan fasilitas umum. Karena memang di negeri ini belum bisa menikmati lezatnya fasilitas umum gratis, tidak seperti bagi warga Negara Denmark. Di negeri ini warganya bila hendak bepergian kemanapun asal masih dalam wilayah negaranya tak harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk membayar sarana transportasi. Lantaran memang sarana transportasi di sana serba gratis. Nikmat bukan?
Akan halnya drama mudik di musim lebaran tahun ini, pemerintah membolehkan kaum perantau mudik dengan syarat sudah divaksin booster seiring masih dalam kondisi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dalam upaya pencegahan wabah Covid-19 di negeri ini.
Drama mudik lebaran tahun ini sepertinya akan dipertontonkan kembali dan diprediksi tak akan jauh berbeda kondisinya dengan musim lebaran dua tahun sebelumnya di mana saat itu tidak ada larangan mudik dari pemerintah.
Biasanya terjadi antrean panjang di loket-loket terminal bis dan stasiun kereta api, belum lagi diwarnai tangisan anak-anak yang kepanasan, kehausan, jalan-jalan yang macet, kendaraan umum yang padat penumpang saling berhimpitan, kendaraan roda dua (pengendara motor-red) bagi pemudik yang kerap mewarnai jalanan.
Alternatif perjalanan menggunakan kendaraan roda dua ini menjadi pilihan utama bagi pemudik, lantaran mereka menganggap sarana yang paling cepat untuk sampai ke kampung halaman, meski resiko kecelakaan dan gangguan cuaca selalu mengintai keselamatan jiwanya dan itu merupakan drama tahunan, ketika tradisi mudik kembali dipentaskan.
Sebenarnya kebutuhan ritual tahunan ini dapat saja dilakukan selain dalam suasana lebaran hari raya Idul Fitri. Namun kebutuhan kultural untuk mudik ini, setidaknya ada tiga alasan yang memotivasinya.
Yaitu pertama, mengunjungi orang tua atau sanak famili (silaturahmi). Kedua, berziarah ke makam keluarga. Ketiga, bernostalgia di kampung halaman.
Namun yang paling krusial menurut hemat penulis dari ketiga alasan tadi adalah berkunjung kepada orang tua atau sanak famili. Tetapi bernostalgia di kampung halaman pun cukup kuat bagi kaum perantau untuk mudik.
Seperti dirasakan penulis sehubungan sebagai perantau, merasa hidup ini terasa menemukan kembali sesuatu yang hilang bila sudah berada di kampung halaman. Kebahagiaan mudik rasanya telah melengkapi perjalanan dari waktu ke waktu. Bisa dibayangkan bernostalgia di waktu kecil saat menanti dan menyantap kue apem dan opor ayam buatan ibu sendiri (Yarkhamhumallah) di ruang, waktu dan tempat yang sama. Kemudian bisa dilihat dan disaksikan kembali di waktu berbeda saat pulang kampung/mudik adalah menggugah memori kebahagiaan yang tiada tara.
Sementara itu alasan lain yang mendorong kaum perantau mudik, adalah sepertinya ingin pamer atas kesuksesan hidup di perantauan kepada sanak famili dan orang sekampungnya.
Untuk ukuran kelas menengah ke bawah, kadang mereka membawa dan menunjukkan mobil atau kendaraan tertentu walau kendaraan jenis rental atau berbusana jenis tertentu dengan aksesoris norak, mungkin ingin tampil beda. Hal itu sudah barang tentu sah-sah saja dan tidak ada larangan.
Tetapi yang memprihatinkan bila mereka (umumnya yang merantau di kota-kota besar) membawa kehidupan keseharian di perantauan ke kampung halaman yang notabene masih tradisional. Semisal menenggak minum-minuman keras (miras) sambil memperlihatkan badannya yang bertato atau mungkin berpakaian mini dengan memperlihatkan pahanya yang mulus dan rambut pirangnya, agar kelihatan modern? Bukan tidak mustahil bila dulunya mereka pernah mengenyam ilmu pengetahuan agama di khaflah bernuansa religius, tetapi karena pengaruh budaya yang berkonotasi buruk di tempat perantauan maka bisa jadi terkontaminasi.
Hal ini yang dikhawatirkan sohib penulis Drs. Obay Subarkah saat dimintai tanggapannya seputar ekses pemudik. Obay sebagai pemerhati masalah sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang pernah berdinas sebagai Petugas Sosial pada Kemensos RI di daerah terpencil Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara beberapa waktu lampau memaparkan, bila pemudik yang lazimnya membawa serta keluarganya pulang kampung sebenarnya membawa implikasi sosio – kultur yang lebih jauh dari fenomena mudik itu sendiri, bahkan telah terjadi enkulturasi (perubahan budaya baru) atau menjadi agent of change.
Karena selain mengenali budaya tradisional di kampungnya, acapkali mereka membawa kebiasaan buruk (negatif) yang biasa mengelilingi kehidupan kesehariaan di perantauan, semisal sebagai pekerja sopir yang dimungkinkan terpengaruh kehidupan di terminal yang dikonotasikan bagai kaum bar-bar, seperti berkelahi, palak-memalak, menenggak miras dsb, lalu dipertontonkan di kampung halamannya lantaran ingin menunjukkan jati dirinya, boleh jadi akan berpengaruh buruk terhadap orang sekampungnya.
Contoh kasus lain, berdasarkan pengamatannya, bagi perantau yang profesinya sebagai pramunikmat, saat mudik memperlihatkan kesuksesannya dengan pamer benda-benda serba gemerlap.
“Sehingga tak sedikit tetangga dan orang sekampungnya kepincut ingin mengikuti jejaknya. Ini yang sungguh sulit membendungnya,” pungkasnya.
Namun di tengah tantangan global yang mulai merasuk di denyut nadi kehidupan masyarakat tradisional, ekses budaya mudik tak bisa dielakan, karena tanpa disadari aktivitas mudik itu telah menjadi arena proses enkulturasi dan revitalisasi identitas diri para perantau.
Terlepas dari ekses itu semua, fenomena budaya mudik ini paling tidak memberikan isyarat bahwa masyarakat Indonesia masih belum mampu meninggalkan hubungan-hubungan yang bersifat tradisional, yang menuntut pelakunya untuk bertemu secara impersonal. Ini semua adalah cerminan dari masih mantapnya masyarakat Indonesia untuk hidup dalam kehangatan hubungan kekrabatan. Lalu merakapun pulang mudik minimal setahun sekali menjelang lebaran dengan melupakan beratnya beban dan tantangan di perjalanan yang akan mereka hadapi.
Memang nilai budaya mudik ini telah merasuk kuat di denyut nadi kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga memaksa orang untuk taat dan mematuhi nilai-nilai itu dengan setia. Teknologi secanggih apapun dipandang belum cukup mampu menjembatani kebutuhan mudik. Selamat mudik perantau. ***
Subang, 16 April 2022
*) Penulis adalah Wartawan SKU Demokratis Biro Kabupaten Subang