Jumat, November 22, 2024
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Tujuh Oktober Hari Mendongeng Wiralodra Bagi Indramayu

Setiap Tujuh Oktober merupakan hari peringatan sejarah lahirnya Indramayu, begitu dikatakannya. Konon  hingga tanggal 7/10/2023 merupakan Hari Jadi Indramayu yang ke-496. Sesungguhnya, setiap Tujuh Oktober tersebut adalah merupakan Hari Mendongeng Wiralodra  Bagi Indramayu. Tetapi, itu semua menjadi ketidakpedulian akan kebenaran sejarah yang sesungguhnya.

Tujuh Oktober, bagi Bupati dengan rangkaian kegiatan seremonial Kembang Gayong Wiralodra dan kegiatan intertainnya merupakan hari-hari yang happy. Hari-hari yang bisa bertik-tok ria. Menariknya, dari bupati ke bupati dan para pejabat publik lainnya tidak menunjukkan kemasygulan yang tersirat, bahwa Tujuh Oktober bukanlah Hari Jadi Indramayu berdasarkan kesejarahan dan sejarah yang otentik.

Tidak tercermin kemasygulan atas kengawuran-keblangsakan akan kebenaran sejarah Wiralodra dan Endang Darma. Semua itu yang penting bisa happy ending seperti dalam sinetron kejar tanyang. Empati atas kemasygulan tak pernah terbersit.

Bagi sebagian besar warga Indramayu, yang penting ada hiburan, intertain. Bagi UMKM yang penting bisa jualan dan dapat uang. Bagi para birokrat-birokrasi yang penting bisa menjadi proyek atau diproyekan setiap Tujuh Oktober. Bagi para akademisi kaleng yang penting ada peringatan hari jadi sebagai sebuah identitas daerah.

Bagi seniman dan budayawan salon yang penting pada Tujuh Oktober adalah ada order untuk bisa happy. Tidak penting lagi benar atau salah itu sejarah. Ini yang menarik bagi kita yang punya logika dan akal waras. Tradisi dan budaya ‘Pager Doyong Apa Gebrage’ memperkuat dongeng (saya adoh saya ngayeng-makin jauh makin ngawur dan ngelantur) Wiralodra yang harus dikatakan sebagai sejarah kelahiran Indramayu.

Bagi para politisi, sejarah Wiralodra dan Endang Darma yang blangsak bin ngawur bisa dijadikan media promosi dan status sosial. Dengan adanya sejarah Wiralodra dan Endang Darma bisa dipakai untuk banyak kepentingan politik dan mempolitiki, dan bahkan ada yang mengklaim dengan membuat silsiah biologis DNA ke-Wiralodra-an.

Menjadi keuntungan tersendiri bagi banyak pihak jika buku Sejarah Indramayu dan atau Sejarah Wiralodra dan Endang Darma dibiarkan seperti sekarang, karena jika dilakukan kajian ulang  sejarah untuk menguji kebenaran kesejarahannya dan atau harus dibongkar ulang, menjadi kerugian besar banyak pihak yang berkepentingan.

Sebab, tidak bisa lagi mengklaim sebagai titisan Wiralodra, tidak bisa lagi jualan Wiralodra, tidak bisa lagi untuk pencitraan religiositas politis, nyekar-ngalap barokah bersimpuh di hadapan batu nisa yang bernama Wiralodra yang dibangun dengan menelan APBD Rp1,2 miliar yang harus dinarasasikan sebagai situs, cagar budaya dan seterusnya.

Penetapan Hari Jadi Indramayu berdasarkan Perda Nomor 02 Tahun 1977, tertanggal 24 Juni 1977. Pada saat pleno penetapan Hari Jadi tersebut, Bupati Indramayu A. Djahari menggarisbawahi, bahwa dengan ditetapkan adanya Hari Jadi Indramayu, maka beresiko adanya anggaran (APBD) yang harus disiapkan setiap tahunnya.

Penetapan Hari Jadi Indramayu berdasarkan buku yang ditulis oleh mantan Bupati Indramayu H.A. Dasuki yang diberi titel Buku Sejarah Indramayu, dengan tokoh sentral Wiralodra dan Endang Darma.

Sejak saat itulah, Tujuh Oktober 1977 disepakati soal peringatan-perayaan Hari Jadi.  Oleh sebab itu, setiap tanggal Tujuh Oktober, Indramayu memperingatinya sebagai Hari Jadi-Kelahiran adanya Indramayu.

Celakanya, setelah buku yang ditulis H.A. Dasuki tersebut, kemudian terbit tiga buku berikutnya, yang mengukuhkan sebagai Sejarah Indramayu-Wiralodra dan Endang Darma sebagai kebenaran peristiwa fakta konkret sejarah yang ratusan tahun dan atau ribuan tahun yang lalu peristiwanya.

Konon (kata mereka) peristiwa sejarahnya, yaitu sejak tahun 1527 (O’ushj.dialambaqa: Meluruskan (Buku) Sejarah (Wiralodra)  Indramayu. O’ushj.dialambaqa: Sejarah Indramayu: Wiralodra DNA Bagelen, dan Endang Darma? O’ushj.dialambaqa: Sejarah Indramayu: Wiralodra Utusan Demak. O’ushj.dialambaqa: Wiralodranya AAG vs Monalisa Ldv. O’ushj.dialambaqa: Sejarah Indramayu dan Endang Darma (HAD-STKS-SK-DT Hingga AAG). O’ushj.dialambaqa: Sejarah Indramayu: Wiralodra DNA Banyuurip, dan Endang Darma?).

Celaka dua belas berikutnya adalah setelah buku yang ditulis HA. Dasuki, kemudian ada dua buku yang megklaim buku sejarah ditulis oleh yang mengklaim dirinya sebagai akademisi dan intelektual. Mengapa itu harus kita jelaskan, karena penuliasnya mencantumkan biodata dirinya berlatar belakang Sarjana-pasca Sarjana (Telah Sarjana-S-2).

Sangatlah susah dan atau bagi kita yang masih punya logika dan akal waras yang pernah sekolah untuk tidak mengatakan, kok bisa ya orang sekolahan asal-asalan menulis buku sejarah yang peristiwanya  sudah sangat lampau, dan usia penulis bukunya rata-rata, selain H.A. Dasuki adalah kelahiran sekitar 1965-an.

Bahkan disempurnakan dengan adanya wujud Wiralodra yang menggunakan kaos oblong cap Lombok, di mana kaos model cap Lombok tersebut baru memasyarakat di negeri ini setelah kita merdeka. Pelukisnya juga kelahiran yang tidak jauh dari dua penulis sejarah Wiralodra dan Endang Darma (Ibid). Konon wktu mau melukis Wiralodra, mengumpulkan paranormal, dan lahirlah wngsit wajah Wiralodra. Luar biasa.

Dalam dunia senia imaji liar itu bagus-bagus saja, tidak diharamkan. Tetapi, yang menarik lukisan tersebut harus dikatakan sebagai sosok Wiralodra. Padahal, Wiralodra dan Endang Darma jika dalam metodologi penulisan sejarah itu dikatakan sebagi makhluk astral.

Itulah mungkin yang sulit kita terima dengan logika dan akal waras sebagai orang sekolahan atau orang yang pernah makan banku sekolah, karena orang sekolahan pastilah akan paham metodologi, apalagi soal penulisan buku sejarah termasuk hal yang sangat rumit dan jelimet apalagi peristiwanya telah lampau. Sejarah G30S/PKI yang tahun 1965 puncaknya, ternyata banyak kontroversinya.

Penulis buku sejarah harus paham betul metodologi penulisan sejarah. Oleh karena itu, hanya bisa mengatakannya, kok bisa ya begitu. Ke-3 buku yang terbit setelah bukunya H.A. Dasuki, hanya berbasis pada buku H.A. Dasuki sebagai teks primer dan bahkan sekaligus dijadikan sumber skunder. Sumber lainnya, hanya untuk pelengkap penderita saja.

Sesungguhnya, H.A. Dasuki sebagai penulis buku yang bertitel Buku Sejarah Indramayu, sudah jujur dan benar adanya, bahwa buku yang ia tulisnya jangan dianggap sebagai kebenaran-peristiwa sejarah. Buku yang ditulisnya berangkat dari dongeng-Babad Dermayu yang dituturkan ulang oleh satu dua kerabatnya yang beranama Soemardjo seorang guru Bahasa Jawa dan Belanda  SMAN Indramayu (sekarang namanya SMAN 1 Sindang)  dan seorang pegawai P&K-Dikbud saat itu–Warnali (Ibid).  Itulah pengakuan dan penjelasan penulis buku pertamqa (H.A. Dasuki) kepada O’ushj.dialambaqa dalam dialog empat mata di rumah H.A. Dasuki semasa masih hidup.

Buku cerita dalam Babad, belum tentu mengandung kebenaran peristiwa sejarah. Jika membaca Babad Dermayu sama halnya orang yang tengah mendongen. Sayangnya cerita dalam babad tersebut tidak secerdas kita membaca novel sastra. Makanya, cerita dalam Babad Dermayu tidak perlu kita perdebatkan, karena akan kehilangan konteksnya, dan kita akan menjdi dungu dalam kedunguan untuk memperdebatkan soal-soal dongeng adanya.

Untuk itu, kenapa kita harus katakan bahwa setiap Tujuh Oktober itu merupakan Hari Mendongeng Wiralodra Bagi Indramayu, argumentasi akademiknya antara lain:

Pertama, buku yang ditulis oleh H.A. Dasuki yang bertitel Buku Sejarah Indramayu dan ketiga buku setelahnya, secara metodologi penulisan sejarah gugur, dan itu tak bisa terbantahkan lagi, karena mencampuradukan klenik dengan cerita yang tidak didukung fakta konkret atas peristiwa kesejarahannya.

Kedua, Wiralodra adalah anak Bupati Bagelen di satu sisi, tapi di sisi lain Wiralodra adalah utusan Kesultanan-Kerajaan Demak. Fakta konkret kesejarahannya adalah fiktif dan manipulatif. Wiralodra tidak ada tapak jejak kesejarahannya dengan Bagelen maupun Demak. Nama tersebut tidak dikenal, baik dalam sejarah Demak maupun dalam Babad Bagelen dan Banyuurip atau sejarah Purworejo. Hari Jadi Purworejo sendiri mengalami koreksi sejarah. Artinya, kebenaran sejarahnya menjadi teruji, kaji ulang. Itu yang waras kaum intelektual akademiknya. Tetapi itu tidak terjadi di Indramayu.

Ketiga, tokoh sentral sejarah, Endang Darma, juga tidak ada jejak kesejarahannya, tidak berelasi dan tak ada benang merahnya sama sekali dengan Palembang atau Kerajaan Sriwijaya, meski disebutkan sebuah nama: Pangeran Guru. Kedua tokoh tersebut tidak dikenal jejaknya dalam sejarah Palembang. Palembang dengan Kerajaan Campa di Kamboja memang ada benang merahnya, Endang Darma dan Pangeran Guru tidak ada di situ dalam jejak sejarahnya.

Keempat, Wiralodra dan Endang Darma dalam buku tersebut seperti cerita fiksi dalam novel maupun dalam film fiksi. Kedua tokoh tersebut akhirnya menjadi tokoh fiksi semata dalam cerita dongeng.

Unsur kesejarahannya gugur. Kedua tokoh tersebut dalam buku lebih dominan unsur klenik dan rainkarnasi. Hal itu seperti cerita fiksi, tidak menuntut kelogisan, baik peristiwa maupun runtutan peristiwa yang dipaksakan sebagai fakta peristiwa sejarah oleh penulisnya.

Kelima, penulisnya tidak paham dan atau tidak punya pengetahuan yang cukup tentang gender dan kontruks sosial yang mempengaruhi persoalan gender. Hal ini terbukti, mengutip  bukunya Alinafiah Lubis untuk menguatkan cerita Endang Darma yang gagah berani dan punya ilmu bela diri, bahkan  bisa berganti wujud (rainkarnasi sama halnya Wiralodra).

Padahal, Alinafiah Lubis bicara analisis gendernya adalah dalam persoalan dan problematika gender dalam konstruks sosial, sehingga tidak nyambung dengan Endang Darma yang pandai bela diri sebagai argumentasi akademik. Ini celaka dua belas orang sekolahan namanya.

Keenam, tokoh Ki Tinggil dan Ki Sidum untuk memperkuat cerita Wiralodra dan Endang Darma yang dipaksakan harus dikatakan sejarah, ternyata juga tidak dikenal dan tak ada benang merahnya dengan sejarah Kesultanan-Kerajaan Demak, Bagelen, Banyuurip dan atau Purworejo sendiri dalam sejarahnya.

Ketujuh, dikatakan Endang Darma pandai membatik dan mengajari batik. Ini lebih ngawur dan sesat lagi. Jika Endang Darma DNA Palembang dan atau Jawa, tradisi batik belum ada waktu  itu. Batik baru masuk di nusantara adalah di Solo yang diperkenalkan oleh seorang keturunan Tionghoa.  Purworejo-Bagelen-Banyuurip dan Palembang belum mengenal apa itu batik.

Catatan sejarah lainnya adalah Ponorogo sebagai sejarah batik tertua, sebelum abad ke-7. Pada cacatan lainnya pula, sejarah batik di Indonesia terkait erat dengan perkembangan Kerajaan Majapahit, dan pengembangannya banyak dilakukan pada zaman Kesultanan Mataram, Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Jogja. Masih ada banyak versi catatan sejarah soal batik, tetapi tidak ada jejak Endang Darma yang mengajari ketrampilan batik saat itu.

Kedelapan, pusaka Wiralodra yang bernama Cakra, juga tidak ada jejak sejarahnya di Bagelen-Banyuurip, Purworejo dan Demak. Begitu juga benda-benda pusaka lainnya yang ditulis penulisnya dalam bukunya.

Aneh bin ajaibnya, seharusnya sebagai penulis sejarah mengajukan pertanyaan pada dirinya untukj menyangsikan fakta peninggalan pusaka Wiralodra tersebut. Lantas sebagai sejarahwan, tentu akan berupaya menguji kebenarannya secara saintifik. Itu tidak dilakukan, dan percaya begitu saja.

Kesempilan, jika Endang Darma DNA Jawa, pastilah namanya akan ditulis: Endang Dharma, karena Dharma adalah pengaruh budaya Hindu-Budha atau Sanksakerta. Jika ditulis dengaan  seperti: Endang Darma, akan merujuk DNA Sunda.

Dengan beberapa fakta tersebut, Sejarah Indramayu: Wiralodra dan Endang Darma merupakan tokoh fiksi dalam cerita  dongeng  yang fiksi pula, yang kental dengan klenik dan raikarnasi, sehingga gugur dalam metodologi penulisan sejarah.

Maka benarlah apa yang dijelaskan H.A. Dasuki kepada O’ushj.dialambaqa, bahwa buku Sejarah Indramayu: Wiralodra dan Endang Darma jangan dikaitkan dengan kebenaran sejarah, karena itu hanya cerita ulang dari Babad Dermayu yang diceritakan ulang oleh satu dua orang kerabat saja. Kepentingan buku tersebut adalah sebagai dasar untuk menetapkan Hari Jadi Indramayu, karena kita malu tidak punya Hari Jadi.

Sesungguhnya, tidak  menjadi masalah, tidak perlu harus malu, jika hari Jadi diangkat dari cerita babad, sekalipun tidak mengandung sejarah, hanya sebuah dongeng fiksi semata, daripada kita melestarikan dan memelihara kebohongan sejarah sepanjang masa, hal yang dongeng atau fiksi harus dikatakan “sejarah” termasuk tokoh fiksi sentralnya, yaitu Wiralodra dan Endang Darma.

Itu artinya, kita masih punya kejujuran, bukan kita memelihara kebohongan sejarah, dan yang lebih menyesatkan adalah kita mewariskan kebohongan pada anak cucu. Jika mempertahankan dan memelihara kebohongan, itu artinya jauh lebih munafik. Selamat Hari Mendongeng Wiralodra Bagi Indramayu. ***

Penulis adalah Penyair, Peneliti sekaligus  Direktur Pusat Kajian Strategis Pembangunan Daerah (PKSPD) dan Accountant Freelance, tinggal di Singaraja. Kontak: 0819 3116 4563. Email: jurnalepkspd@gmail.com

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Latest Articles