Twitter kembali meluncurkan cara memerangi misinformasi dengan menghadirkan kebijakan informasi krisis. Hal ini guna memastikan setiap tweet yang menyesatkan tidak diperkuat atau direkomendasikan selama perselisihan atau perang berlangsung.
Namun bagaimana menentukan apakah sebuah tweet itu masuk ke dalam kategori menyesatkan? Di sini Twitter tidak sembarang mengambil langkah. Sebelum menetapkan aturannya, perusahaan akan melakukan verifikasi dari sumber publik yang kredibel, termasuk kelompok pemantau konflik, organisasi kemanusiaan, penyelidik open source, jurnalis, dan lainnya.
Jika platform menemukan tweet itu menyesatkan, maka mereka akan merilis pemberitahuan peringatan pada tweet, mematikan fitur like, retweet, share, dan menautkan ke detail lebih lanjut tentang kebijakan tersebut. Tweet ini juga akan berhenti muncul di timeline, search, atau explore.
“Saat kami memperluas pendekatan kami, kami akan menegakkan di sekitar krisis global yang muncul lainnya, yang diinformasikan oleh kerangka kerja tanggap darurat Komite Antar-Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (IASC), dan kerangka kerja kemanusiaan global lainnya,” kata Twitter dalam sebuah pernyataan resmi.
Tweet tersebut tidak akan dihapus, pengguna yang melihat tweet dengan peringatan hanya perlu mengkliknya untuk melihat tweet. Sebelumnya, beberapa peringatan tentang pemilu atau misinformasi Covid-19 hanyalah pemberitahuan yang muncul di baris di bawah tweet, daripada membuatnya tertutup sepenuhnya.
Melansir TechCrunch, beberapa contoh tweet yang mungkin ditandai di bawah kebijakan baru, termasuk pelaporan peristiwa di lapangan yang salah, tuduhan palsu atau menyesatkan tentang kejahatan perang, kekejaman massal, atau penggunaan senjata, dan informasi palsu tentang sanksi internasional, komunitas respon, atau operasi kemanusiaan.
Twitter juga mengatakan akan memprioritaskan dengan menambahkan pemberitahuan peringatan ke tweet viral atau unggahan dari akun yang memiliki banyak pengikut yang mungkin termasuk pengguna terverifikasi, media yang berafiliasi dengan negara, dan akun pemerintah.
Strategi itu sangat masuk akal, karena tweet dari tokoh terkemuka lebih mungkin menjadi viral daripada tweet dari orang biasa dengan 50 pengikut, tetapi mengherankan banyak platform belum mengambil pendekatan seperti ini.
Menurut Twitter, iterasi pertama dari kebijakan tersebut akan fokus pada misinformasi seputar perang di Ukraina, tetapi pembaruan yang direncanakan akan melihat kebijakan itu diperluas untuk mencakup bentuk-bentuk krisis tambahan. (Rio)