Jakarta, Demokratis
Bendera Peta, bergambar matahari terbit, lambang Kekaisaran Jepang serta lambang bulan sabit dan bintang simbol kepercayaan Islam.
10 ulama disebut koran Asia Raya, pada 13 September 1943, sebagai pengusul pembentukan tentara sukarela untuk mempertahankan Pulau Jawa. Sekali lagi, mengusulkan pembentukan tentara sukarela bukan wajib militer.
Sepuluh ulama tersebut adalah KH Mas Mansyur, KH Adnan, Doktor Abdul Karim Amrullah (Hamka), Guru H Mansur, Guru H Cholid, KH Abdul Madjid, Guru H Jocob, KH Djunaedi, U Mochtar, dan H Mohammad Sadri.
Mereka meminta kepada komandan pemerintah militer Jepang di Indonesia untuk secepatnya membentuk milisi bersenjata. “Hal ini menunjukkan adanya peran golongan agama dalam rangka pembentukan Peta (Pembela Tanah Air),” kata sejarawan Rusdhi Hoesin di Bogor.
Tujuan pengusulan oleh golongan agama ini dianggap untuk menanamkan paham kebangsaan dan cinta Tanah Air yang berdasarkan pada ajaran agama.
Hal ini kemudian juga diperlihatkan dalam panji atau bendera tentara Peta yang disebut Dandanki. Bendera bergambar matahari terbit, lambang Kekaisaran Jepang dan lambang bulan sabit dan bintang, simbol kepercaan Islam.
Hal yang sama ternyata juga dilakukan Raden Gatot Mangkoepradja. Ia pun mengirim surat khusus kepada Gunseikan atau komandan pemerintah militer Jepang di Indonesia. Pada September 1943 itu, surat Gatot berisi permohonan agar bangsa Indonesia diperkenankan membantu Pemerintah Jepang di medan perang. Pendapat lainnya membuktikan, Ki Ageng Suryomentaram berupaya membentuk satuan tentara. Ia mengemukakan usulan itu kepada tokoh-tokoh pergerakan nasional, yakni Sukarno, Hatta, KH Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara.
Tentara Cadangan
Dalam suasana Perang Dunia Kedua, Jepang juga membutuhkan bela tentara cadangan dari negara-negara Asia yang dijajahnya, termasuk Indonesia. Pada pembentukannya, banyak anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) yang kemudian menjadi anggota senior dalam barisan Peta (Kyodo Bo-ei Giyugun).
Pada 1943 itu, kondisi tentara Jepang mulai melemah. Jepang memecah balah tentaranya untuk berperang di Pasifik. Begitu juga dengan pesawat tempur dan tank. Awalnya, Jepang telah merekrut Heiho, atau pembantu tentara Jepang di Indonesia. Namun, Heiho adalah prajurit rendahan membantu serdadu Jepang. Tugasnya, seperti menggali lubang pertahanan, mengangkut barang-barang, dan memasak.
Para pemimpin militer Jepang beranggapan harus ada tentara pertahanan Indonesia yang dipimpin perwira Indonesia. Mereka diharapkan ikut bertempur bersama Jepang melawan sekutu. Mereka pun mengubah strategi dengan mengizinkan bendera Indonesia berkibar di samping bendera Jepang. Begitu pula lagu Indonesia Raya tak haram lagi dinyanyikan di muka publik.
Jepang pun mendirikan pendidikan untuk perwira pribumi. Awalnya, dibentuk Seinan Dojo di Tangerang, Januari 1943 sekitar 50 pemuda diajarkan latihan militer dan intelijen. Baru pada Oktober 1943, Pusat Pendidikan Peta di Bogor diresmikan. Mereka memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para pemuda untuk mendaftar. Para pemuda yang sudah dilatih di Tangerang diangkat jadi asisten pelatih. Sementara itu, pelatih dari tentara Jepang adalah Letnan Yanagawa.
Pendidikan di Bogor ini dibagi tiga kelas. Pendidikan untuk daidancho atau komandan balalion, chudancho atau komandan kompi dan shodancho, komandan pleton. Latihan untuk daidancho yang paling ringan, sementara shodancho paling berat.
Pendidikan Peta hanya dalam hitungan tiga sampai enam bulan, Jepang mencetak perwira yang akan kemudian dikirim ke daerah untuk membangun tentara di wilayah masing-masing.
Saat melakukan pemeriksaan barisan Peta, Letnan Jenderal Inada Masazumi kecewa berat. Ia tidak puas saat meninjau pertahanan tentara Jepang di Jawa. Dalam perjalanan pada 13 Juni 1943 itu, Masazumi pesimistis kekuatan tentara Jepang di Jawa sanggup untuk mempertahankan wilayah ini jika tentara sekutu menyerang balik.
Jangankan untuk berperang, Wakil Kepala Staf Selatan Tentara Kekaisaran Jepang itu juga tak yakin tentara Jepang bisa menjaga ketertiban di Jawa. Jumlah tentara di Jawa diperkirakan tinggal 10 ribu orang.
Tolak Kolaborator
Kelak, tentara Peta berperan besar dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Veteran-veteran tentara Peta telah menentukan perkembangan dan evolusi militer Indonesia, antara lain setelah menjadi bagian penting dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Tentara Keselamatan Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI) hingga akhirnya Tentara Nasinal Indonesia (TNI). Karena hal ini, Peta banyak dianggap sebagai salah satu cikal bakal dari TNI.
Tentara Peta merupakan tentara kebangsaan. Tentara Peta memang disiapkan oleh para pemimpin kebangsaan untuk dijadikan tentara kebangsaan Negara Indonesia.
Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berdasarkan perjanjian kapitulasi Jepang dengan blok sekutu, tentara kekaisaran Jepang memerintahkan para daidan batalion Peta untuk menyerah dan memberikan senjata mereka. Presiden Republik Indonesia yang baru saja dilantik, Sukarno, mendukung pembubaran ini ketimbang mengubah Peta menjadi tentara nasional.
Ia beralasan, karena tuduhan blok sekutu bahwa Indonesia yang baru lahir adalah kolaborator Kekaisaran Jepang bila ia memperbolehkan milisi yang diciptakan Jepang ini untuk dilanjutkan. Sehari kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945, Panglima Tentara Ke-16 Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Nagano Yuichiro mengucapkan pidato perpisahan kepada para anggota kesatuan Peta.
Bekas tentara Peta, akhirnya memang menjadi mayoritas mengisi personel BKR hingga TNI, selain bekas tentara KNIL bentukan Belanda. (RA)