Dengan maksud menghindarkan ancaman-ancaman ideologi dari kiri yaitu komunisme dan kanan yaitu Islam politik, serta strategi untuk melanggengkan kekuasaannya, maka pada 1978 pemerintah Orde Baru mengeluarkan instruksi yang mengharuskan dijadikannya Pancasila sebagai mata pelajaran wajib di departemen-departemen pemerintahan, sekolah-sekolah, tempat-tempat kerja, dan lainnya, sehingga mengundang kritik dan cemooh dari kaum intelektual.
Pada sebuah rapat umum dengan para pimpinan angkatan ABRI pada 27 Maret 1980 di Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Riau, Soeharto mengatakan bahwa ABRI telah berjanji untuk melindungi Pancasila maupun Undang-Undang Dasar 1945 dari kemungkinan-kemungkinan amendemen. Soeharto juga berkata bahwa sebagai sebuah kekuatan sosial-politik, ABRI harus memilih mitra-mitra politik yang benar yang telah terbukti bersedia mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, karena saat itu ada kekuatan-kekuatan sosial-politik yang meragu-ragukannya. Ia lalu mengulangi pikiran-pikirannya ini dalam sebuah pidato pada bulan berikutnya pada peringatan hari jadi Kopasus. Pidato-pidatonya ini mengundang tanggapan-tanggapan yang keras sehingga muncullah Petisi 50. Nama ini muncul karena petisi ini ditandatangani oleh 50 orang tokoh terkemuka Indonesia.
Melakukan ikrar “UNGKAPAN KEPRIHATINAN”. Dengan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, KAMI yang bertandatangan di bawah ini, yakni sekelompok pemilih dalam pemilu-pemilu yang lalu, mengungkapkan keprihatinan rakyat yang mendalam atas pernyataan-pernyataan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya di hadapan rapat panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) di Pekanbaru pada tanggal 27 Maret 1980 dan pada peringatan hari ulang tahun Kopasandha di Cijantung pada tanggal 16 April 1980.
Kami sangat prihatin akan pidato-pidato Presiden Soeharto yang:
Mengungkapkan prasangka, bahwa di antara rakyat kita yang telah bekerja keras untuk membangun, walau mereka mengalami beban sosial ekonomi dan politik yang semakin berat, dengan mengalami polarisasi di antara mereka, yang ingin “melestarikan Pancasila” di satu pihak, dengan mereka yang ingin “mengganti Pancasila” di pihak lain.
Sehingga muncullah keprihatinan-keprihatinan, bahwa konflik-konflik baru dapat muncul di antara unsur-unsur masyarakat, yang keliru menafsirkan Pancasila. Sehingga dapat digunakan sebagai suatu pembelahan Sila ke-3 dan ancaman terhadap lawan-lawan politik.
Pada perumusan dan tujuan, Pancasila secara filosofis, dimaksudkan oleh para pendiri Republik Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa dan tidak membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana membatalkan Undang-Undang Dasar 1945, sambil menggunakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit sebagai alasannya.
Meskipun kenyataannya ini hal yang tidak mungkin, karena kedua sumpah ini berada di bawah UUD 1945. Serta dasar meyakinkan ABRI untuk tidak memihak, dan harus berdiri di atas seluruh golongan masyarakat. Melainkan ABRI telah “dianjurkan” agar memilih-milih teman-temannya, berdasarkan pertimbangan pihak yang berkuasa. Sehingga memberikan kesan bahwa dia adalah personifikasi Pancasila. Kemudian bila ada desas-desus apapun tentang dirinya, akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila.
Dengan arogan dan sadisnya rezim melontarkan tuduhan-tuduhan, bahwa ada usaha-usaha pihak lain untuk mengangkat senjata, lalu mensubversi, menginfiltrasi, dan perbuatan-perbuatan jahat lainnya, dalam menghadapi pemilu yang akan datang.
Mengingat pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam pidato-pidato Presiden Soeharto adalah, unsur yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pemerintahan negara ini, dan pemilihan umum yang segera akan berlangsung. KAMI mendesak para wakil rakyat di DPRI dan MPRI, untuk menanggapi pidato-pidato Presiden pada tanggal 27 Maret dan 16 April 1980.
Petisi ini dibacakan di depan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPRI) pada tanggal 13 Mei 1980, dengan maksud untuk meyakinkan para wakil rakyat agar meminta penjelasan dari Presiden tentang apa maksud yang sesungguhnya dengan kedua pidatonya itu.
Delegasi yang menghadap para wakil rakyat ini dipimpin oleh Mayjen. Purn Dr. Azis Saleh. Pada 3 Juli 1980. Lalu 19 anggota DPRI mengajukan sebuah dokumen yang memuat dua buah pertanyaan kepada Presiden. Mereka bertanya, apakah presiden setuju bahwa Ungkapan Keprihatinan itu, yang memuat masalah-masalah penting dan patut mendapatkan perhatian dari semua pihak, khususnya dari DPRI dan pemerintah.
Kemudian apakah rakyat Indonesia patut juga mendapatkan penjelasan yang menyeluruh dan terinci tentang masalah-masalah yang diangkat. Pertanyaan-pertanyaan ini, yang diajukan DPRI kepada Presiden dalam sebuah surat tertanggal 14 Juli.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengundang berbagai reaksi di lingkungan internal DPRI. Seorang anggota DPRI bernama Soedardji, tidak setuju bahwa Presiden harus menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun, rekan separtainya, Anwar Nuris, mengatakan bahwa hal itu adalah bagian yang normal dari proses berkonstitusi.
Pada 1 Agustus 1980, Presiden Soeharto menyampaikan jawabannya kepada Ketua DPRI Daryatmo, dengan melampirkan salinan dari kedua pidatonya yang mendorong lahirnya “Ungkapan Keprihatinan”. Soeharto menulis bahwa ia yakin para anggota DPRI yang telah berpengalaman akan memahami makna dari pidato-pidatonya itu, namun apabila mereka masih belum puas, ia mengusulkan agar para anggota DPRI mengajukan pertanyaan-pertanyaan mereka kepada anggota-anggota dari Komisi-Komisi DPRI terkait, sesuai dengan prosedur tata cara DPRI.
Pemerintah lalu dengan senang hati akan memberikan penjelasan-penjelasan tambahan, melalui Menteri Pertahanan dan atau para panglima militer, khususnya tentang hal-hal yang diangkat oleh “Petisi 50” berdasarkan kutipan yang sesuai aslinya. Ketua DPRI pun menyampaikan kepada wartawan bahwa menurut pendapatnya, tanggapan ini telah cukup memberikan perhatian kepada ke-19 anggota DPRI itu, dan telah memperlihatkan rasa hormat kepada Lembaga DPRI.
Karena pemerintah menguasai semua komisi, wacana publik yang sungguh-sungguh pun ditutup begitu saja dan status quo bagi “Orde Baru”, yaitu dengan konsep dwifungsi, kesatuan Golkar dan ABRI, serta keutamaan Pancasila ditegaskan kembali. Dalam pidato 17 Agustusnya pada tahun yang sama, Soeharto menyatakan kembali bahwa, “Satu-satunya cara bagi kita untuk melaksanakannya ialah dengan menerapkan pembangunan, dan untuk maksud tersebut kita semua harus mampu menjaga kestabilan dinamika politik regional.”
Soeharto kemudian mencabut hak-hak perjalanan para kritikusnya, dan melarang koran-koran menerbitkan foto-foto mereka, ataupun mengutip pernyataan-pernyataan mereka. Para anggota kelompok ini tidak dapat memperoleh pinjaman bank dan kontrak-kontrak usaha.
Soeharto menyatakan: “Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot.” Dari sikap dan ungkapan keprihatinan Petisi 50 inilah, yang 18 tahun kemudian melahirkan cikal bakal peradaban anti klimak bernama Reformasi 98, yang di antaranya mengamanatkan berantas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN), serta hapuskan Dwi Fungsi ABRI. (Dari berbagai sumber)