Jakarta, Demokratis
Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil dua mantan Direktur Pelaksana Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (2/5/2025).
Kedua pejabat tersebut adalah Kukuh Wirawan (KW) dan Dwi Wahyudi (DW).
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK, atas nama, KW (Mantan Plt Direktur Analisa Risiko Bisnis / Direktur Pelaksana IV LPEI tahun 2019–2020) dan DW (Direktur Pelaksana I pada LPEI periode tahun 2009-2018),” kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, melalui keterangan tertulis kepada wartawan, Jumat (2/5/2025).
Keduanya diperiksa dalam kapasitas sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit fiktif di LPEI. Materi pemeriksaan akan disampaikan oleh Tessa setelah proses pemeriksaan selesai.
“Pemeriksaan saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI),” ucap Tessa.
KPK Tetapkan Tersangka
Sebelumnya, KPK telah menetapkan tiga tersangka dari pihak PT Petro Energy (PE), yakni Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT PE, Jimmy Masrin (JM); Direktur Keuangan PT PE, Susy Mira Dewi Sugiarta (SMD); dan Direktur Utama PT PE, Newin Nugroho (NN). Ketiganya telah ditahan sejak Maret 2025.
Sementara itu, dua tersangka dari internal LPEI—Direktur Pelaksana I, Dwi Wahyudi (DW), dan Direktur Pelaksana IV, Arif Setiawan (AS)—hingga kini belum ditahan.
Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, mengungkapkan bahwa dalam konstruksi perkara ini terdapat dugaan konflik kepentingan antara direksi LPEI dan debitur PT PE. Sejak awal, diduga telah terjadi kesepakatan yang mempermudah proses pemberian kredit.
Pihak direksi LPEI disebut tidak menjalankan fungsi pengawasan terhadap penggunaan dana kredit sesuai ketentuan Manajemen Aset dan Piutang (MAP), bahkan memerintahkan pencairan dana meskipun tidak memenuhi syarat kelayakan.
PT PE juga diduga memalsukan dokumen purchase order dan invoice sebagai dasar pencairan kredit yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Selain itu, perusahaan tersebut melakukan manipulasi (window dressing) dalam laporan keuangan.
Dana kredit yang diterima PT PE tidak digunakan sesuai peruntukannya sebagaimana tercantum dalam perjanjian dengan LPEI.
KPK mencatat bahwa pemberian fasilitas kredit fiktif oleh LPEI kepada PT PE telah menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp846.956.205.027 (Rp846,9 miliar).
Selain PT PE, terdapat sepuluh debitur lain yang juga diduga terlibat dalam skema kredit fiktif. Namun, mereka belum ditetapkan sebagai tersangka. Total kerugian negara akibat kredit fiktif dari 11 debitur tersebut diperkirakan mencapai Rp11,7 triliun. (Dasuki)