Yogyakarta, Demokratis
Tingkat pemesanan hotel di Yogyakarta yang pada awal Desember yang mampu menyentuh angka 40% dari total kapasitas perhotel untuk masa liburan Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, mendadak turun kembali akibat kebijakan yang mewajibkan rapid test antigen yang diterapkan pemerintah kepada para pengunjung.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY Deddy Pranowo Eryono menyatakan, beberapa hotel di ring 1 Kota Yogya mulai melaporkan adanya pembatalan reservasi.
Awalnya, masih stagnan di angka sekitar 42%. Namun, kemudian drop menjadi 25% untuk periode 25 Desember 2020 sampai 2 Januari 2021.
“Ya tentunya kondisi ini sangat tidak menguntungkan pelaku wisata di Yogya, meskipun kami sudah serius menerapkan disiplin protokol kesehatan, kebijakan rapid test antigen itu menjadi kendala tersendiri,” katanya, Selasa (22/12).
Deddy mengatakan, momentum libur Natal dan Tahun Baru sesungguhnya sangat diharapkan sebagai penggerak ekonomi, meningkatkan okupansi, serta kembali menghidupi ekonomi daerah. Namun kondisi penyebaran Covid-19 yang belum terkendali juga menjadi catatan khusus bahwa kebijakan pemerintah seharusnya juga berpihak pada pergerakan ekonomi masyarakat.
“Saat ini semua jadi terpuruk, yang dulunya kuat menahan agar tidak mem-PHK karyawan, saat ini mulai mengeluh menuju ‘pingsan’. Makanya, kita berharap kebijakan yang lebih baik, supaya tidak ada pihak yang dikorbankan,” katanya.
Menurutnya, kebijakan surat sehat yang merujuk hasil rapid test antigen tersebut, beda dengan rapid test antibodi yang sebelumnya diterapkan. Pasalnya, dengan harga yang jauh lebih tinggi, wisatawan menjadi berpikir dua kali untuk berwisata di tengah pandemi Covid-19. Hotel-hotel bintang tiga ke bawah sampai nonbintang butuh perhatian dan tetap harus dipikirkan.
“Tes mandiri antigen itu mencapai Rp 250.000 dan berlaku hanya tiga hari. Jika ingin berwisata ke Yogya lebih dari tiga hari, maka wisatawan wajib melakukan tes dua kali. Dan berwisata ini pun tidak mungkin sendiri, pasti dengan keluarga, jadi biayanya membengkak. Ini alasannya wisatawan cancel perjananan,” ujarnya.
Deddy menyatakan, verifikasi protokol kesehatan Covid -19 dan sertifikasi CHSE (Clean, Health, Safety, and Environment) yang sudah ditempuh anggotanya menjadi sia-sia.
“PHRI berupaya keras untuk mengubah perilaku dan mampu memenuhi CHSE, namun ternyata tidak mendukung perbaikan nasib pelaku wisata. Seolah-olah terpotong kebijakan. Jadi, apa yang telah diusahakan selama ini, terbilang sia-sia,” katanya. (Red/Dem)