Semua mata mengarah pada peradilan kasus penganiayaan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan. Babak demi babak peradilan perkara ini telah terlewati. Tahap pembuktian telah dilalui. Surat tuntutan pidana (requisitoir) Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah dibacakan. Pledoi sebagai hak hukum terdakwa pun telah diajukan. Memang, babak hukum ini belum berakhir. Kita masih menunggu putusan pengadilan. Namun demikian, penalaran hukum JPU dalam perkara ini terlanjur mengundang polemik. Kesimpulan hukum JPU, terdakwa tidak sengaja melukai mata penyidik KPK dengan air keras dinilai ganjil. Publik berkesimpulan, argumentasi yuridis JPU tidak dapat diterima akal sehat. Mengapa demikian?
Tentang Sengaja
Tidak ada orang-orang di negara demokratis yang tidak mengkritik keadaan hukum di negara mereka, termasuk di Indonesia. Apa sebabnya? Ya, karena acap kali penegakan hukum menabrak akal sehat. Requisitoir JPU dalam peradilan kasus penganiayaan terhadap Novel Baswedan adalah salah satu contohnya. Tidaklah terlalu sulit untuk menunjukkan logical fallacy tentang “tak sengaja” yang disimpulkan oleh JPU. Untuk membuktikan ini, dapat dirumuskan dengan pertanyaan sederhana, apakah perbuatan terdakwa penganiayaan terhadap Novel Baswedan itu termasuk dalam kriteria sengaja atau tidak sengaja?
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut, jalan terbaik adalah memahami terlebih dahulu konsep hukum tentang sengaja (opzet). Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk) merupakan salah satu bentuk sengaja yang dikenal dalam hukum pidana. Dikatakan sebagai sebagai maksud apabila pelaku menghendaki akibat perbuatannya. Dalam praktek, bentuk sengaja inilah paling mudah untuk dibuktikan, dengan melihat keadaan objektif yang terjadi. Pandangan ini dapat ditarik kebelakang ke pemikiran teori kehendak (eilstheorie) yang dikemukakan oleh von Hippel. Dalam sebuah karyanya Die Grenze von Vorsatz und Fahrlassigkeit, 1903, von Hippel mengatakan kehendak merupakan hakekat sengaja itu.
Adalah sengaja jika akibat suatu perbuatan itu dikehendaki. Sebagai contoh, apabila pelaku memukul mata sebalah kiri dan mata kanan korban hingga memar sehingga berakibat merusak kesehatan korban maka dapat disimpulkan bahwa pelaku telah sengaja (dengan maksud) melakukan penganiayaan terhadap korban. Pasalnya, dengan dipukulnya korban pada bagian tubuh yang membahayakan, yaitu mata kiri dan mata kanan maka perbuatan pelaku dapat dikualifikasi sebagai kesengajaan untuk merusak kesehatan. Ini berarti, sekalipun sengaja merupakan sikap batin berupa kehendak atau maksud hati, tapi sengaja sebagai maksud itu sendiri dapat dianalisis dengan berpijak pada akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan.
Amatilah tindakan dan akibat perbuatan yang diperbuat oleh terdakwa penganiayaan terhadap bekas Kasat Reskrim Polres Bengkulu. Dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi, mata kiri pria yang telah bekerja sebagai penyidik KPK sejak tahun 2007 itu mengalami buta permanen. Dengan disiramnya air keras pada bagian tubuh yang membahayakan, yaitu mata kiri yang telah mengakibatkan hilangnnya penglihatan mata kiri Novel Baswedan maka perbuatan pelaku sejatinya dapat dikualifikasi sebagai kesengajaan untuk merusak kesehatan. Dengan begitu, nalar hukum JPU yang menarik konklusi hukum, terdakwa tidak sengaja merusak kesehatan mata Novel Baswedan patut dikritisi karena irasional. Terlebih, pendapat hukum tersebut hanya didasarkan pada keterangan terdakwa semata. Cara berhukum demikian tentu tidak akan dterima oleh akal sehat.
Tentang Keadilan
Ternyata, tak hanya logika hukum tentang unsur kesengajaan semata yang dipersoalkan oleh publik. Naluri keadilan JPU pun kini dipertanyakan. Pasalnya, para terdakwa penyerangan terhadap bekas Kasat Reskrim Polres Bengkulu itu hanya dituntut 1 tahun penjara. Akibatnya naluri keadilan publik kembali terusik. Imbasnya, marah, kecewa, dan rasa jengkel pun melanda publik atas tuntutan ringan itu. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan, adilkah tuntutan 1 tahun terhadap terdakwa penganiayaan penyidik KPK itu?
Memang, tuntutan pidana terhadap terdakwa adalah hak JPU. Begitulah kewenangan secara normatif yang diberikan oleh hukum positif. Namun demikian, berhukum secara akal sehat mengharuskan pula mengunakan nalar etis yang berperan sebagai penjaga naluri keadilan sebab tujuan akhir dari penegakan hukum adalah keadilan. Sepakat, terdakwa juga memiliki hak akan keadilan, sebab keadilan itu bukan semata hak korban. Namun begitu, bila terjadi konflik keadilan diantara keadilan bagi pelaku dan keadilan bagi korban maka keadilan bagi korban dan masyarakatlah yang harus dipriotitaskan, begitu nalar etisnya. Lantaran itu, nalar etis akan memprotes keras bila mana pelaku kriminal yang dengan sengaja melakukan kejahatan mengakibatkan kebutaan bagi seseorang hanya di tuntut 1 tahun. Bukan saja tak adil dari sisi korban dan bagi masyarakat tapi juga tak etis menunutut terdakwa atas kejahatan yang telah menghilangkan fungsi mata hanya satu tahun bui.
Orang yang dikendalikan naluri keadilan, nyaris berujar orang yang melakukan kejahatan tampa ada motif dan rencana serta terjadi karena culpa, lebih pantas mendapat belas kasihan dan pembebasan dari pada hukuman. Sebaliknya, jika pelaku tersebut melakukan kriminal dengan sengaja dan direncanakan bahkan hingga mengakibatkan kebutaan bagi korban maka lebih pantas dipersalahkan dan mendapat ganjaran hukuman yang berat. Begitulah secara umum, naluri keadilan orang bekerja.
Kenyataan berbicara, terdakwa melakukan kejahatan dengan dengan niat (voornemen) dan rencana lebih dahulu (met voorberachterade). Ini berarti perbuatan pidana yang terjadi bukanlah kebetulan yang dapat dapat dipandang sebagai suatu kelalaian (culpa). Parahnya lagi, akibat perbuatan terdakwa, Novel Baswedan, simbol KPK itu, mengalami kebutaan permanen pada mata kirinya. Sebenarnya, mata Novel Baswedan tidaklah dapat dipandang hanya sebagai indra penglihatan semata. Pada hakekatnya, selaku penyidik KPK, di mata Novel Baswedan itu, dititipkan amanah untuk melakukan pemberantasan korupsi. Jadi, membutakan penglihatan penyidik KPK itu haruslah dilihat sebagai perbuatan yang menghambat jalannya pemberantasan korupsi. Itulah sebabnya, nalar etis seseorang akan menggugat tuntutan 1 tahun pidana terhadap terdakwa sebab tuntutan ringan atas kejahatan yang direncanakan memanglah memilukan dan gagal menyerap aspirasi keadilan. Cara berhukum yang irasional seperti ini, hanya akan mengundang kritik keras dan ketidakpuasaan terhadap lembaga penegak hukum. Konsekuensinya, ketidakpuasan tersebut dapat membawa dampak merugikan terhadap simbolisme dan efektifitas hukum itu sendiri dan menurunkan kredibilitas penegakan hukum tersebut.
Cara berhukum yang tidak dapat diterima akal sehat ini, sesungguhnya dapat melahirkan sentimen negatif. Hal ini mudah dipahami. Karena setiap argumentasi hukum yang tidak mengandung kebenaran logis dan menyerap rasa keadilan, pasti ditentang oleh akal sehat. Itulah pentingnya berhukum dengan akal sehat. Kini, tentu kita berharap, dalam peradilan kasus penganiayaan terhadap Novel Baswedan, putusan peradilan tidak copy paste tuntutan JPU. Cara berhukum dengan akal sehat dari majelis hakim sangat dinanti publik. Tak hanya nalar hukum yang harus mengandung kebenaran logis, namun majelis hakim, sebagai ujung tombak keadilan juga diharapkan melahirkan keadilan dengan nalar etisnya.
Penulis adalah Praktisi Hukum Indonesia & Penggiat Sosial