Jakarta, Demokratis
Sidang Dewan Eksekutif ke 209 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau Organisasi PBB untuk Bidang Pendidikan, Sains dan Budaya di Paris, Perancis, belum lamu ini, menetapkan Danau Toba, di Provinsi Sumatera Utara, sebagai Taman Bumi Dunia atau Global Geopark pada tanggal 7 Juli 2020 lalu.
“Kami bangga dengan penetapan Danau Toba sebagai Global Geopark, yang harus didukung oleh semua pihak dari mulai legislasi sampai kebijakan tingkat nasional, juga daerah, untuk implementasinya,” ujar Gusti Farid Hasan Aman, Ketua BKSP DPD RI di Jakarta (8/7/2020).
Definisi Taman Bumi UNESCO adalah wilayah yang di dalamnya terdapat situs atau bentang darat geologis istimewa dan dikelola dengan konsep terpadu untuk perlindungan lingkungan, pendidikan dan pembangunan berkelanjutan.
“Saya minta status TBD Danau Toba harus dipertahankan, karena status tersebut bisa ditarik kembali setelah berjalan beberapa waktu melalui proses revalidasi ulang dari UNESCO,” ujar Dr Richard Hamonangan Pasaribu, Wakil Ketua BKSP DPD RI dan senator dari Dapil Kepulauan Riau.
Masuknya Kaldera Toba menambah daftar TBD UNESCO di Indonesia menjadi lima, setelah Gunung Sewu DIY, Gunung Rinjani NTB, Gunung Batur Bali, dan Ciletuh Palabuhanratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Sejumlah daerah lain telah diusulkan sebagai TBD seperti Merangin Jambi, Pongkor Bogor, Silokek Sijunjung dan Sawahlunto di Sumatera Barat, Natuna Kepulauan Riau, Blue Fire Gunung Ijen Banyuwangi, Jawa Timur.
Dikatakan, DPD RI berharap para pemangku kepentingan di pusat dan daerah agar dapat merumuskan pengelolaan berbagai Taman Bumi di Indonesia dan segera membuat langkah-langkah kongkrit dan praktis untuk menjaga pencapaian status seperti yang sudah dicapai TBD Kaldera Danau Toba.
“Pengakuan dunia internasional melalui status TBD menunjukkan bahwa kita mampu mengelola keistimewaan alam Indonesia. Namun, pada saat yang sama kita juga harus menunjukkan kapasitas untuk mengelola dan mempertahankan pencapaian melalui status TBD yang sudah diraih,” tegas Gusti Farid senator asal Kalimantan Selatan.
Norwegia Bayar Karbon
Sebelumnya pemerintah Norwegia mulai memberikan pembayaran pertama perdagangan karbon (carbon trading) kepada Indonesia sebesar USD 56 juta atau sebesar Rp 813,3 miliar yang ditandantangani pada tanggal 3 Juli 2020 antara pemerintah Norwegia melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Iklim Norwegia.
Atas basis pembayaran berbasis hasil dari skema kerja sama REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation) atau Pengurangan Emisi dari Penggundulan Hutan dan Penurunan Fungsi Hutan yang telah ditandatangani kedua negara pada tanggal 26 Mei 2010 di Oslo, Norwegia.
Prestasi ini, kata Gusti, kembali membuktikan bahwa kerja sama internasional kedua negara memiliki manfaat konkrit kepada negara dan daerah.
Di dalam nota kerja sama perdagangan karbon tahun 2010, diatur Indonesia akan mendapat USD 1 miliar atau 6 miliar Krona Norwegia (NOK) apabila berhasil mengurangi emisi melalui skema REDD+.
Semula kesepakatan perdagangan karbon awal yang diharapkan adalah sebesar 4,8 juta ton CO2e, karbondioksida, untuk periode 2016 – 2017.
Namun setelah dilakukan penilai independen oleh pihak Norwegia ternyata Indonesia menghasilkan 11,2 juta ton CO2e lebih besar.
Untuk diketahui saat ini harga per ton perdagangan karbon adalah USD 5 atau Rp 72.617/ton.
“Isu kehutanan memang sangat kompleks, namun Indonesia menunjukkan mampu untuk membuat kebijakan pro-lingkungan. Dukungan dunia internasional ternyata bukan cuma komitmen sepihak saja dari sebuah negara,” ujar Richard Hamonangan Pasaribu, Wakil Ketua BKSP DPD.
Dana Norwegia tersebut akan dimasukkan ke sebuah badan yang telah dibentuk oleh Indonesia pada bulan Oktober 2019 yang lalu, yaitu Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), yang khusus dibentuk untuk mengelola dana-dana lingkungan (environmental funds).
“Sebagai negara kepulauan terbesar dan memiliki hutan tropis yang luas, Indonesia memiliki cadangan karbon yang penting untuk menghadapi perubahan iklim,” timpal Tubagus Ali Ridho Azhari, Wakil Ketua BKSP DPD RI dari Dapil Banten.
Sebagai salah satu penandatangan Perjanjian Paris mengenai Perubahan Iklim, Indonesia sudah menandatangani untuk menurunkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
“Kami berharap komitmen negara sahabat seperti Norwegia ini dapat diikuti oleh negara-negara lain. Degradasi hutan, perubahan iklim, perlu komitmen global, pembiayaan dan pengembangan teknologi ramah lingkungan yang berkelanjutan,” kata Wa Ode Rabiah Al Adawiyah anggota DPD dari Dapil Sulawesi Tenggara.
Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim telah disahkan melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016, yang berarti komitmen Indonesia terkait penurunan emisi, pengendalian hutan, dan perubahan iklim telah berada pada level undang-undang yang akan menjadi subyek pengawasan oleh parlemen.
“Kami berharap dana-dana lingkungan hidup tersebut dapat dikelola untuk mengembangkan sektor kehutanan berkelanjutan. Di sektor kayu misalnya, kita berhasil mengembangkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) sebelum diekspor ke Uni Eropa. Jadi, kita mampu melakukan pembangunan berbasis lingkungan, dan akan tercapai lebih cepat apabila ada komitmen bilateral dan multilateral mengenai perubahan iklim,” kata Gusti Farid Hasan Aman. (Erwin Kurai)