Jika rakyat adalah fundamental demokrasi, seyogyanya pemilihan kepala daerah (Pilkada) adalah manifestasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Karena itu, Pilkada yang akan dilaksanakan di beberapa daerah pada 9 Desember nanti tentu mengandung persoalan yang beragam pula. Tapi kita tunggu dan lihat saja.
Ya, selain penting ternyata berdimensi banyak. Dimensi seperti dimensi berbenteng di hati rakyat merebut hati pemilih, dimensi peluru emas atau politik uang. Bahkan sangat disayangkan karena diiringi dimensi pertikain dan kebencian. Semoga suasana pertikaian itu tak berulang lagi.
Sekedar info, pada tahun 2015 saya mudik ke kampung halaman. Biasanya saya lakukan melepas rindu. Meninggalkan kesibukan kerja di Jakarta. Ya, itulah kebiasaan saya anak kampung. Rindu dusun di mana dilahirkan.
Namun kehadiran saya kebetulan musim Pilkada untuk Bupati karena masa jabatan sudah habis sehingga dilakukan pemilihan kepala daerah untuk melanjutkan kepemimpinan selanjutnya. Itupun lazim dan harus. Termasuk kampanye kandidat yang berlaga berusaha merebut suara pemilih agar menjadi kepala daerah. Bertaut kondisi itu, saya menghadapi dua hal. Yaitu (1) rindu dan (2) risau.
Rindu menikmati alam, suasana masyarakat yang dengan adat istiadat yang usually, dan risau karena kenyataan laga Pilkada yang ditawarkan jauh berbeda dengan orisinalitas kampung saya dulu.
Rindu dan risau berpadu jadi satu. Berwujud tiada menentu. Saya tidak bisa menolaknya. Ini harus. Sementara ini kekuatan tidak memadai dalam memberi solusinya. Suasana unpredictable dan uncertainty. Tak dapat diperkirakan dan tidak ada kepastian. No answer yet. Tidak ada yang bisa menjawab persoalan.
Memang itulah realitas namun uncertainty, unpredictable. Yang harus kita tanggapi secara bertanggung jawab dengan semangat. Meminjam ungkapan optimistis: “Jangan berhenti tangan berkayuh.”
Berbenteng di hati rakyat adalah perbuatan baik, makruf. Sementara peluru emas metaforanya adalah uang sogok, money politics. Hal ini menjadi unggulan dalam Pilkada yang sekarang. Intinya unggul dengan kebaikan atau unggul dengan sogokan.
Saya mencoba mengingat lagi kajian sosiologi. Memang ada teori individu dan kelompok mengangkat phrase vote, suara dan elect, pemilih. Yang coba kita maknai pendukung satu calon. Figur yang banyak suara pendukungnya menjadi pemenang.
Yang lain dari itu ada pula persaingan atau competition. Pilkada tidak bisa dilaksanakan jika tidak ada persaingan. Perlombaan, adu gagasan, adu kecerdasan. Ini menjadi indikator pesta demokrasi yang sengit, ramai dan termasuk demokrasi yang partisipatif.
Suasana laga, tarung atau tanding terasa menyertai pulang kampung kali ini. Sekali lagi suasana perang dan tanding memunculkan strategi. Berbenteng di hati rakyat dan siapkan peluru emas (baca: politik uang). Strategi dengan fungsi software dan hardware atau perangkat lunak dan perangkat keras.
Orang Melayu ternyata mulai berubah bawaannya dengan mengadopsi demokrasi, belajar dari negeri orang putih. Padahal aslinya hanya ada musyawarah dan mufakat. Cara yang itu tidak terpakai lagi. Tiada kampanye tanpa spanduk dan baliho. Lain dulu lain sekarang. Sekarang memasang foto, memajang gambar yang berukuran besar.
Itulah berebut pendukung berbenteng di hati rakyat. Berpidato janji-janji surga. Mendekat, merapat. Bermulut manis disertai kucindan murah. Pokoknya sesuatu yang menyenangkan dan enak didengar.
Saya mencoba mengandaikan ungkapan berbentenglah di hati rakyat dan siapkan peluru emas sebagai ungkapan paradoks. Berbenteng di hati rakyat adalah perbuatan baik, makruf. Sementara peluru emas metaforanya adalah uang sogok, money politics. Hal ini menjadi unggulan dalam Pilkada yang sekarang. Intinya unggul dengan kebaikan atau unggul dengan sogokan.
Memang Pilkada ada dengan phrase paradoks. Berbenteng di hati rakyat satu esensi pro rakyat dan peluru emas alias uang beresensi janji. Itu realitas. Rakyatlah yang memilih akan menentukan dua tawaran yang paradoks atau bertentangan.
Jakarta, 10 Agustus 2020
*) Mas ud HMN adalah Doktor Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadaiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta