Titian bisa lapuk, janji bisa mungkir adalah ungkapan kuno. Walau kuno tapi masih terpakai, sering terjadi. Membuat malapetaka. Janji yang dinantikan tidak dipenuhi, gombal belaka.
Inilah yang terjadi pada seorang teman. Betapa kecewanya seorang teman. Kecewa karena ansuransi beasiswa anaknya gagal dibayar oleh Asuransi Bumi Putera. Alasannya karena masalah penyelewengan manajemen keuangan.
Padahal tahun ini adalah permulaan kuliah tahun akademik mahasiswa baru. Lagi pula ia tidak punya uang sama sekali untuk membayar kuliah anaknya tersebut. Sungguh kecewa sang anak yang cita-citanya tak tercapai jadi mahasiswa.
Kawan itu mengeluh dan marah bercampur aduk jadi satu. Dana yang ia kumpulkan rupiah demi rupiah dari hasil keringatnya hanya berhenti pada janji akan dibayar entah kapan.
Saya ikut bersedih dan tentu banyak orang bernasib sama dengan dia, karena asuransi itu sudah lama berdiri dan banyak kliennya. Respon terhadap hal itu apalah daya. Nasib tidak beruntung. Siapa bisa tolong?
Kita hanya dapat merespon dengan bergumam inilah masalah umat. Masalah bangsa. Masalah kita semua. Nasib malangnya tidak begitu saja tanpa sebab, sekali lagi bukan. Ada penyebabnya yaitu problem kepercayaan, problem jaminan sosial. Dalam hubungan konsep agama terkait perspektif sosial profetik yaitu pandangan yang memfokuskan tujuan berbasis keumatan dan kebangsaan. Pandangan ini adalah sesuatu yang ideal yang diperlukan saat ini.
Sebabnya jelas dan terang benderang. Hilangnya unsur kepemimpinan yang menepati janji, mencerahkan, memiliki sikap kebersamaan, senasib sepenanggungan. Maka dapat dibayangkan pada waktunya menjadi sumber malapetaka. Dengan kata lain, yang demikian model yang tidak dibutuhkan masa kini dan harus dibuang.
Jakarta, 5 September 2020
*) Penulis adalah Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta